Senin, Maret 10, 2008

Penggusuran dan Ketidakpastian Informasi


“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.” (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11/2005).

Rasanya hampir tiap hari kita dihadapkan dengan berita-berita tentang penggusuran. Baik itu penggusuran tempat tinggal maupun tempat untuk menjalankan usaha. Penggusuran, yang biasanya terjadi di daerah perkotaan, selalu diiringi dengan kekerasan. Warga seakan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan aparat dari satuan polisi sipil bentukan Pemerintah Daerah yang lazim disebut Polisi Pamong Praja. Belum lagi, aparat selalu dilengkapi dengan alat-alat berat yang siap meluluhlantakan hunian mereka.

Sudah pasti, penggusuran menimbulkan penderitaan mendalam. Bukan saja derita fisik, namun juga derita psikis berupa trauma berkepanjangan. Banyak warga terlunta-lunta, selebihnya tak sedikit yang kehilangan mata pencaharian. Akibatnya, warga tidak dapat melangsungkan kehidupannya secara wajar. Tindakan Pemerintah ini jelas bertentangan dengan UU No. 11/2005 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.

Selain kekerasan, dalam setiap penggusuran hampir selalu disertai dengan ketidakpastian informasi. Simak saja misalnya penggusuran yang terjadi belakangan ini di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Beberapa media memberitakan, sebelumnya warga tidak diberikan informasi tentang rencana penggusuran. Sementara Camat Cempaka Putih mengklaim bahwa pihaknya telah memberitahukan rencana tersebut.

Demikian juga dengan informasi yang berkaitan dengan uang pengganti atau lazim disebut uang kerohiman. Sampai menjelang dilakukannya penggusuran, warga menyatakan bahwa pihaknya belum memperoleh ganti rugi sepeserpun. Lagi-lagi, pernyataan warga ini dibantah oleh Camat yang menyatakan bahwa uang kerohiman sebesar Rp10 juta telah dibagikan. Lain pula pernyataan yang disampaikan anggota DPRD DKI. Menurutnya, dalam budget anggaran Pemprov DKI tidak ada item untuk membayar ganti rugi atas penggusuran di Rawasari.

Pentingnya Kepastian Informasi
Dalam konteks penggusuran semacam ini, kepastian informasi menjadi penting. Informasi tentang rencana penggusuran harus disampaikan jauh-jauh hari. Informasi ini dibutuhkan agar warga yang akan terkena dampak mempunyai banyak waktu untuk mencari alternatif tempat tinggal atau lokasi usahanya yang baru. Dengan waktu yang longgar pula, warga dengan leluasa dapat mengemas dan membenahi sendiri segala macam properti yang dimilikinya, sehingga tidak perlu dihancurkan secara paksa.

Termasuk yang penting untuk diinformasikan adalah tentang rencana tata ruang kota. Informasi ini dapat memberikan pengertian kepada warga, bahwa memang penggusuran itu dilakukan demi kepentingan publik yang lebih luas, bukan hanya kepentingan salah satu pihak tertentu. Singkatnya, informasi ini akan meredam kecurigaan. Informasi tata ruang juga dapat dijadikan rujukan bagi warga agar tidak begitu saja mengokupasi lahan yang bukan miliknya.

Adanya kesimpangsiuran informasi semacam ini menunjukkan betapa Pemerintah masih belum sadar sepenuhnya akan perubahan zaman yang sedang berlangsung saat ini. Barangkali Pemerintah masih memegang paradigma lama, bahwa birokrasi sajalah yang berhak menguasai informasi. Padahal di era demokrasi yang sedang kita bangun sekarang ini, informasi juga mutlak diperlukan oleh publik. Jika kepemilikan informasi timpang, maka saat itulah --meminjam istilah Joseph E Stiglitz- sedang terjadi asimetri informasi (asymmetric information). Gejala ini harus dihindari jika kita sepakat untuk mewujudkan substansi demokrasi.

Sebenarnya, negara sudah menjamin hak publik atas informasi. Pasal 28 F UUD 1945 secara jelas menjamin rangkaian hak setiap orang atas informasi mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah sampai dengan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan itu diperkuat dengan UU No. 12/2005 tentang ratifikasi atas Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Sipol). Dalam Pasal 19 (2) Kovenan Hak Sipol dinyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Jadi, selain hak atas pangan, sandang, dan perumahan, masyarakat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, yang seharusnya dijamin oleh Negara melalui Pemerintah.

Jaminan Kepastian Informasi
Berkaitan dengan jaminan kepastian informasi publik, saat ini tengah dibahas Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Jika tidak ada aral, RUU KIP akan disahkan pada Maret ini, untuk kemudian diberlakukan dua tahun ke depan. UU KIP ini nantinya diharapkan benar-benar akan menjadi perangkat yang dapat digunakan oleh publik untuk mendapatkan haknya atas informasi. Kekuatan pokok UU ini terletak pada ketentuan tentang sanksi bagi badan publik (lembaga Pemerintah) yang tidak menjalankan kewajibannya melayani informasi kepada publik.

Dalam ketentuan Pasal 50 RUU KIP dinyatakan bahwa setiap badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU ini dikenakan pidana kurungan setinggi-tingginya satu tahun dan/atau pidana denda sebesar-besarnya Rp 5 juta. Suka atau tidak, itulah klausul yang telah disepakati oleh para anggota legislator. Termasuk ke dalam informasi yang harus diberikan kepada publik adalah seluruh kebijakan yang dibuat berikut dokumen pendukungnya serta rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunannya.
Jika merujuk pada RUU KIP ini jelas, rencana penggusuran terhadap suatu lokasi tertentu wajib diinformasikan kepada publik secara luas. Pemerintah tidak bisa mengelak lagi. Sebab jika tidak, sanksi pidana siap menjerat mereka. Diharapkan UU KIP ini benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif, agar ke depan tidak dijumpai lagi kesimpangsiuran informasi seperti yang sering terjadi saat ini. Lebih penting lagi, UU KIP diharapkan dapat meminimalisir penderitaan rakyat akibat kebijakan penguasa yang tidak transparan.***