tag:blogger.com,1999:blog-67309601591178085542024-03-13T08:09:12.764-07:00GAGASAN BEBASOpini seputar kebebasan informasi dan kemerdekaan pers. Upaya kecil untuk mewujudkan kesejatian demokrasi.Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.comBlogger19125tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-56578132613043166172010-08-10T21:33:00.000-07:002010-08-10T21:36:32.608-07:00Jalan Sendat Keterbukaan InformasiProblem mendasar yang terjadi dalam tatapemerintahan Orde Baru adalah ketertutupan, dan faktor inilah yang diyakini sebagai penyebab terjadinya praktik korupsi, dan praktik-praktik manipulatif lainnya. Oleh karenanya agenda utama yang diusung bangsa ini begitu Orde Baru tumbang adalah mewujudkan keterbukaan. Berbagai kerangka regulasi kemudian disiapkan untuk mendukung agenda tersebut, salah satunya adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). <br /><br />UU KIP akhirnya disahkan pada April 2008 setelah melewati masa pembahasan selama kurang lebih delapan tahun. UU ini baru diberlakukan pada Mei tahun ini. Jeda waktu dua tahun sengaja disediakan agar ada kesempatan badan publik untuk mempersiapkan diri dalam mengimplementasikannya. Badan publik sendiri menurut UU KIP antara lain adalah seluruh lembaga negara dan pemerintahan, dari tingkat pusat hingga daerah tanpa kecuali. UU KIP memberikan mandat kepada badan publik untuk memberikan pelayanan informasi publik, yakni seluruh informasi yang berkaitan dengan kondisi internal dan aktivitas badan publik, kebijakan-kebijakan publik, termasuk anggarannya. Gagasan idealnya, UU KIP memberikan ruang kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik sehingga masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan, serta aktif melakukan kontrol dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Proses checks and balances ini diasumsikan efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik kotor dalam pengelolaan negara. <br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Kesiapan Badan Publik </span><br /><br />Namun kurun waktu dua tahun tampaknya kurang dimanfaatkan dengan baik oleh badan publik. Terbukti hingga kini sebagian besar badan publik masih belum menyiapkan sistem dan perangkat untuk melayani informasi publik. Fakta ini tergambar saat berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia mencoba melakukan permintaan informasi. <br />Hampir seluruh permintaan informasi yang diajukan tidak direspon dengan baik. Banyak dari pejabat di badan publik tidak dapat menunjukkan kemana semestinya surat permintaan ditujukan. Ini mengakibatkan peminta informasi seringkali di-pingpong dari satu meja ke meja lainnya. Pada akhirnya surat permintaan biasanya bermuara di bagian tata usaha atau Humas. Persoalan tidak berhenti sampai di sana. Meskipun surat permintaan sudah masuk, namun tidak diketahui apakah ditindaklanjuti atau tidak. Ketika peminta informasi kembali menanyakan status suratnya satu hingga dua minggu kemudian, jawaban yang diberikan hampir selalu tidak memuaskan. Bermacam-macam alasan yang diberikan, namun pada intinya, informasi yang diminta pada akhirnya tidak juga diberikan. <br /><br />Lalu bagaimana dengan badan publik di tingkat nasional? Ternyata kondisinya juga tidak jauh berbeda. Menurut data yang dilansir Komisi Informasi tingkat Pusat, dari ratusan badan publik yang ada, baru tujuh lembaga yang sudah siap. Siap dalam pengertian lembaga-lembaga ini telah menyusun standar perosedur operasional pelayanan informasi, menyediakan sumber daya manusia, serta mengalokasikan anggaran untuk mendukung pelayanan informasi. Komisi Informasi adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan mandat UU KIP, yang mempunyai kewenangan melakukan penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi antara peminta informasi dengan badan publik. <br />Di sisi lain, sepertinya masih ada keengganan dan kurangnya iktikad serius. Bahkan badan publik terkesan menerapkan standar ganda dalam mengimplementasikan UU KIP. Pernyataan ini tidak berlebihan jika kita perhatikan beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini. Lihat misalnya, pada saat menyikapi rekening mencurigakan beberapa perwira tinggi polisi, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang menyatakan bahwa kondisi rekening sebagaimana dimaksud merupakan informasi yang dikecualikan menurut UU KIP. Padahal sesungguhnya menurut UU tersebut, kondisi keuangan pribadi seseorang dikategorikan sebagai informasi publik sepanjang yang bersangkutan menempati posisi jabatan publik. <br /><br />Tidak berselang lama, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, yang tengah tersandung kasus Sisminbankum, menemui Ketua DPR Marzuki Alie untuk meminta dokumen tentang pembahasan UU Kejaksaan. Marzuki menyandarkan diri pada UU KIP sebagai alasan untuk memberikan dokumen yang diminta Yusril. Sampai di sini sepertinya tidak ada masalah. Namun sebenarnya ada problem tersendiri ketika pertemuan mereka dilakukan secara tertutup. Problem selanjutnya, jika DPR secara kelembagaan benar-benar hendak mengimplementasikan UU KIP, mengapa banyak anggota DPR yang bereaksi keras terhadap pengumuman daftar nama pembolos rapat. Bahkan ada yang menuduh Sekretaris Jenderal telah melakukan pembunuhan karakter. Bukankah jika mengacu UU KIP informasi semacam itu justru wajib diumumkan secara reguler? <br />Kondisi ini tentu saja akan menyebabkan implementasi UU KIP berjalan tersendat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka gagasan ideal UU KIP sebagaimana disebutkan di atas tidak akan tercapai. <br /><br />Dari segi waktu sesungguhnya tidak ada alasan bagi badan publik untuk tidak mempersiapkan diri. Penentuan masa jeda dua tahun oleh DPR pada saat pengesahan UU KIP dahulu tentu saja telah dipertimbangkan secara matang. Waktu dua tahun sudah lebih dari cukup bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi. Begitu juga dari sisi anggaran, waktu dua tahun juga sangat cukup bagi pemerintah untuk menyusun rencana pembiayaan dan nomenklatur. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Alternatif Solusi</span><br /><br />Tidak mudah untuk menemukan solusi atas problem tersebut. Namun beberapa hal mungkin dapat dilakukan dalam rangka mendorong akselerasi implementasi UU KIP. Langkah pertama adalah membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan permintaan informasi secara massif. Upaya ini dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil. Pengalaman dari negara lain yang telah memiliki UU KIP lebih dulu seperti Thailand dan India, menunjukkan bahwa permintaan informasi secara massif secara signifikan dapat mendorong badan publik untuk lebih maksimal melayani permintaan informasi. Tidak muluk-muluk, masyarakat di sana justru melakukan permintaan informasi yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. <br />Kedua, melakukan penguatan Komisi Informasi. Penguatan ini penting karena bisa jadi permintaan informasi masyarakat yang dilakukan secara massif menemui jalan buntu, akibat tidak ditanggapi secara serius oleh badan publik. Kendala semacam ini dapat diadukan kepada Komisi Informasi. Dengan Komisi Informasi yang kuat, dalam pengertian responsif terhadap pengaduan yang masuk, serta memahami secara komprehensif prinsip-prinsip penyelesaian sengketa, maka sengketa dapat diselesaikan secara maksimal. Hasil penyelesaiannya pun memuaskan dan adil, serta berpihak pada semangat keterbukaan informasi. <br /><br />Ketiga, tentu saja media harus terus memainkan perannya dalam mengusung isu-isu keterbukaan informasi. Tanpa kepedulian media mustahil wacana keterbukaan informasi akan mengemuka. Perhatian media terhadap isu-isu keterbukaan informasi diharapkan juga akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa informasi merupakan hak mutlak yang tidak bisa diabaikan. <br /><br />Ketiga langkah ini tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya, namun harus dilakukan secara sinergis. ***Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-89586956421377663752009-12-20T23:51:00.000-08:002009-12-20T23:53:01.303-08:00RPP Penyadapan Tak Perlu DipaksakanRancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tata cara intersepsi atau penyadapan menuai kritik publik. Bahkan hakim konstitusi Akil Mochtar telah memperingatkan agar RPP tersebut dibatalkan. Namun tampaknya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) bergeming. Pihaknya akan tetap membahas RPP tersebut dan mematok target pengesahan pada April tahun depan.<br /><br />Kritik masyarakat, termasuk peringatan Akil amat beralasan. Pengesahan RPP tersebut akan berimplikasi pada melemahnya kewenangan KPK. Berdasar pada muatan materi yang terkandung di dalam RPP, nantinya KPK tidak lagi dibenarkan melakukan penyadapan. Kewenangan penyadapan untuk kepentingan penegakkan hukum sepenuhnya berada di tangan Pusat Intersepsi Nasional (PIN). KPK hanya boleh mengajukan permohonan izin penyadapan kepada PIN, dengan prasyarat bahwa penyadapan yang hendak dilakukan tersebut telah mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Tahapan langkah mulai dari pengajuan izin, penetapan pengadilan, hingga pelaksanaan penyadapan, merupakan suatu prosedur berjenjang, yang akan memakan waktu lumayan lama. Padahal penanganan tindak pidana korupsi meniscayakan suatu langkah yang sangat cepat, praktis dan tidak melalui birokrasi yang rumit.<br /><br />Mencabut kewenangan penyadapan dari KPK, dapat diamsalkan dengan menanggalkan taring seekor macan. KPK nantinya hanya akan terdengar aumnya tetapi luput menerkam para penilap uang rakyat. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa penyadapan adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan KPK dalam menindak para koruptor. Tanpa kewenangan penyadapan, akan sulit bagi KPK untuk menjalankan tugasnya memberantas korupsi. <br /><br />RPP Penyadapan dan Dimensi Kebijakan Publik<br /><br />Pada tataran wacana, sedikitnya dikenal tiga dimensi yang melingkupi suatu kebijakan publik (Bridgeman dan Davis, 1998). Ketiga dimensi dimaksud adalah bahwa kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang legal dan sah secara hukum (authoritative choice), kebijakan publik harus didasarkan pada hipotesis tertentu (hypothesis) dan kebijakan publik mesti memiliki tujuan yang jelas (objective). Dari sini dapat dimaknai juga bahwa suatu kebijakan publik harus memenuhi ketiga prasyarat tersebut. Kita akan mencermati, apakah kebijakan tentang penyusunan RPP penyadapan telah memenuhi ketiga prasyarat tadi. <br /><br />Pada dimensi authoritative choice, sekilas tidak ada yang salah dengan tindakan Depkominfo. Sah-sah saja Depkominfo menyusun suatu kebijakan, karena lembaga ini mempunyai legitimasi dalam sistem pemerintahan yang sah pula. Namun jika authoritative choice dipahami sebagai tindakan yang mesti mengedepankan kerangka legal dalam suatu sistem ketatanegaraan yang berlaku, penyusunan RPP penyadapan ini kurang tepat. Tentu saja penyebabnya adalah karena ada pelanggaran terhadap pranata hukum yang levelnya lebih tinggi, yaitu UU No. 30/2002 tentang KPK. UU KPK sangat jelas memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum di bidang korupsi itu untuk melakukan penyadapan sebagai bagian dari tugasnya menjalankan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. <br /><br />Di sisi lain, Depkominfo bisa saja berdalih bahwa penyusunan RPP penyadapan justru mandat dari UU. Sebagaimana tertuang dalam draf RPP bagian konsideran, RPP ini didasarkan pada Pasal 42 ayat (3) UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi kembali jika dicermati, dalih tersebut ternyata juga kurang relevans.<br /><br />Pasal 42 ayat (3) UU Telekomunikasi menyatakan, “rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara bunyi klausul pada ayat (2) adalah: “untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a) permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b) permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.” <br /><br />Mengacu pada Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi, memang benar bahwa terdapat mandat untuk menyusun PP. Namun jika mencermati ayat (2), akan tampak suatu makna bahwa PP yang dimaksud adalah PP untuk mengatur penyadapan yang dilakukan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, berkaitan dengan permintaan dari penegak hukum. Yang menjadi objek dalam PP yang dimandatkan dalam Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi adalah penyelenggara jasa telekomunikasi, bukan lembaga penegak hukum. Dengan demikian PP ini tidak dibenarkan mengintervensi penegak hukum yang telah secara legal dibenarkan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan UU yang berlaku. Dari sini tampak ada kekeliruan dalam menerjemahkan Pasal 43 UU Telekomunikasi. <br /><br />Kekeliruan kembali terjadi ketika RPP ini juga didasarkan Pada 31 ayat (4) UU ITE. Bunyi klausul pasal tersebut adalah: “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara ketentuan pada ayat (3) berbunyi: “intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Klausul pada ayat (3) tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diperlukan lagi PP. Sebab, ketentuan tentang intersepsi yang dilakukan oleh penegak hukum ditetapkan berdasarkan UU. <br /><br />Selanjutnya dimensi hypothesis dalam wacana kebijakan publik dimaknai bahwa otoritas pemerintahan semestinya mempunyai gambaran yang jelas tentang asumsi-asumsi yang muncul akibat pemberlakuan suatu kebijakan. Dalam dimensi ini otoritas pemerintah juga dituntut untuk peka terhadap penilaian yang berkembang dalam masyarakat mengenai dirinya. Sebelum melansir RPP penyadapan, semestinya Depkominfo menyadari bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah belum benar-benar pulih, pasca terjadinya upaya kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK. Munculnya RPP penyadapan pada akhirnya dianggap sebagai upaya lain untuk melemahkan KPK setelah upaya kriminalisasi gagal. <br /><br />Pada dimensi objective, RPP ini juga belum mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan suatu produk kebijakan tidak cukup dilontarkan secara lisan oleh wakil dari otoritas pemerintahan. Namun sebagai produk hukum, tujuan harus dicantumkan secara eksplisit di dalamnya. Penyebutan ini selain memberikan kepastian, juga agar dapat menjadi acuan yang dapat dipertanggungjawabkan. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan menyatakan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang salah satunya adalah kejelasan tujuan. Jadi berdasarkan UU ini, setiap peraturan perundangan-undangan harus mencantumkan tujuan dengan jelas. Ketidakjelasan tujuan akan memunculkan kebingungan, bahkan kecurigaan publik. <br /><br />Setelah ditinjau berdasarkan dimensi-dimensi tersebut di atas, ternyata RPP penyadapan masih banyak mengandung kelemahan. Untuk itu Depkominfo perlu berpikir ulang untuk mengesahkannya. Jika akhirnya disahkan pun PP penyadapan ini kemungkinan besar akan kandas oleh judicial review. RPP yang kurang komprehensif ini juga menjadi taruhan bagi kredibilitas Depkominfo sendiri.***Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-51994150386503242212009-12-07T00:33:00.000-08:002009-12-07T00:35:19.950-08:00Menimbang Kembali Urgensi UU Rahasia NegaraSikap DPR RI yang tidak memprioritaskan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional tahun 2010 patut mendapat apresiasi. DPR menilai masih ada resistensi dari masyarakat atas RUU tersebut. Sementara di sisi lain Departemen Pertahanan sebagai pihak yang menjadi leading sector pemerintah dalam pembahasan, menyatakan sudah siap mengajukan kembali RUU Rahasia Negara yang baru. <br />Sebagaimana diketahui, pada September lalu pemerintah menarik RUU Rahasia Negara dari pembahasan DPR periode 2004-2009. Penarikan dilakukan atas desakan berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk petisi penolakan oleh 70 tokoh. RUU Rahasia Negara dianggap berbenturan dengan agenda pemberantasan korupsi, penegakkan HAM, perwujudan tata pemerintahan yang baik, kebebasan pers dan keterbukaan informasi, serta kehidupan demokrasi secara umum. Selanjutnya Presiden menyarankan agar dilakukan konsolidasi secara sungguh-sungguh terhadap materi RUU Rahasia Negara sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Selain itu Presiden juga menyarankan agar Departemen Pertahanan melibatkan kalangan kelompok masyarakat sipil dan 70 tokoh yang menandatangani petisi penolakan RUU Rahasia Negara. <br />Namun sampai saat ini tampaknya apa yang disarankan oleh Presiden tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh Departemen Pertahanan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan staf ahli Departemen Pertahanan bidang ideologi politik Agus Brotosusilo. Beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip media, Agus menyampaikan bahwa tidak ada perombakan total terhadap RUU Rahasia Negara versi sebelumnya. Padahal sudah pasti jika konsolidasi materi dilakukan secara sungguh-sungguh dan melibatkan kelompok masyarakat sipil sebagaimana direkomendasikan Presiden, pasti akan terjadi perubahan menyeluruh pada RUU Rahasia Negara yang baru. Perombakan total juga tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. <br />Beberapa hal yang selalu dijadikan dasar bagi Departemen Pertahanan untuk tetap mendorong disahkannya RUU Rahasia Negara adalah untuk mencegah terjadinya kebocoran informasi Negara yang kemudian menimbulkan anarki di masyarakat. Anarki diyakini akan membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI, terganggunya fungsi penyelenggaraan Negara dan pemerintahan, serta rusaknya ketertiban umum. Oleh karena itu dalam klausul-klausulnya RUU Rahasia Negara sangat ketat membatasi lembaga Negara maupun otoritas pemerintahan untuk mempublikasikan informasi yang dimilikinya, serta membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh negara/pemerintah. Secara tegas dinyatakan dalam RUU Rahasia Negara bahwa otoritas untuk membuka atau menutup informasi negara/pemerintah sepenuhnya ada di tangan Presiden. <br />Berdasar pada argumentasi Departemen Pertahanan tersebut di atas, dan mengacu pada dinamika sosial-politik yang berkembang belakangan ini dapat dikatakan bahwa UU Rahasia Negara sebetulnya masih belum benar-benar diperlukan. Paling tidak ada dua peristiwa mutakhir yang patut dijadikan refleksi untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara. Kedua peristiwa yang cukup menyedot perhatian tersebut adalah rekayasa kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dan pengusutan kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) Bank Century. <br />Pada kasus pertama kita telah mendengar bersama dalam sidang Mahkamah Konstitusi rekaman hasil sadapan komunikasi telepon Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam rangka melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Rekaman sadapan tersebut, jika mengikut logika RUU Rahasia Negara, telah memenuhi prasyarat untuk dinyatakan sebagai rahasia negara. Pertama, dalam sadapan tersebut terekam percakapan yang menyebut-nyebut nama Presiden yang konon mendukung upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kedua, percakapan semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa mafia peradilan bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan kata lain percakapan Anggodo dengan berbagai unsur -atau paling tidak melibatkan beberapa nama- dari Kepolisian dan Kejaksaan, secara tidak langsung telah membuka aib dan borok kedua lembaga penegak hukum tersebut. Ketiga, percakapan telepon Anggodo berpotensi menimbulkan konflik terbuka antara Kepolisian plus Kejaksaan versus KPK. Menurut logika RUU Rahasia Negara, ketiga hal tersebut di atas sudah cukup untuk memicu terjadinya gangguan terhadap fungsi penyelenggaraan negara/pemerintahan dan ketertiban umum. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan berlangsung terus menerus akan membuka peluang hancurnya kewibawaan pemerintah. Pemerintahan yang lemah kemudian akan mudah dimanfaatkan oleh musuh sehingga kedaulatan dan keutuhan NKRI menjadi terancam. <br />Pada kasus kedua kita juga telah menyimak melalui media, paparan Ketua BPK atas hasil investigasi lembaga tersebut terhadap kebijakan penggelontoran dana bailout Bank Century. Dalam paparannya, Ketua BPK menyatakan diduga telah terjadi pelanggaran dalam proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Berdasarkan temuan BPK, BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapannya lebih berdasarkan pada judgment. Lagi-lagi, jika mengacu pada logika RUU Rahasia Negara, data yang disampaikan oleh Ketua BPK tersebut sudah sangat sah dan meyakinkan dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Laporan tersebut bisa juga dibilang sensitif karena ada memaparkan indikasi keterlibatan wakil presiden Boediono yang menyalahgunakan wewenang saat masih menjadi pimpinan BI. <br />Namun pada akhirnya kita juga bersama-sama menyaksikan, pasca pengungkapan rekaman sadapan KPK maupun pemaparan hasil audit BPK tidak timbul gejolak yang berarti. Demonstrasi yang muncul masih berupa ekspresi wajar dalam bingkai demokrasi. Pemerintahan juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi yang kondusif ini menunjukkan betapa publik sudah semakin cerdas dan arif dalam menyikapi persoalan di negeri ini. Kedewasaan masyarakat inilah mesti dijadikan pijakan Departemen Pertahanan untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara.<br />Sesungguhnya Departemen Pertahanan dapat memanfaatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) untuk mencegah terjadinya anarki informasi. Sebab, selain mengatur keterbukaan informasi, UU ini juga memberikan batasan bagi otoritas Negara/pemerintahan dalam mempublikasikan informasi. Pembatasan yang diatur oleh UU KIP cukup fair karena melibatkan komisi independen yang bernama Komisi Informasi. Tetap memaksakan pengesahan UU Rahasia Negara, hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah berkehendak mengembalikan rezim kerahasiaan.***Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-58594649449864371062009-05-19T02:48:00.000-07:002009-05-19T02:54:25.072-07:00”TUNDA LEGISLASI RUU RAHASIA NEGARA”PERNYATAAN PERS<br />ALIANSI MASYARAKAT MENOLAK REZIM KERAHASIAAN<br />(Yayasan SET, ICW, ICEL, IMPARSIAL, KONTRAS, LBH Pers)<br /><br /><br />Pada sidang pembahasan RUU Rahasia Negara terakhir (13/5) DPR meminta kepada Pemerintah untuk memperbaiki rumusan draf RUU, terutama pada Pasal 6 tentang jenis-jenis informasi rahasia negara. DPR menilai rumusan draf RUU Rahasia Negara versi Pemerintah sangat membingungkan, tidak jelas, baik dari segi bahasa maupun substansinya. Sementara di sisi lain Pemerintah terkesan memaksakan diri untuk menyelesaikan proses legislasi RUU Rahasia Negara sebelum pergantian pemerintahan. Sikap terburu-buru ini patut disesalkan, mengingat buruknya suatu produk hukum niscaya akan berdampak buruk pula bagi kehidupan masyarakat luas. <br /><br />Selain yang tertuang dalam Pasal 6, secara keseluruhan draf RUU Rahasia Negara yang diusulkan Pemerintah memang buruk. Substansi yang tertuang dalam RUU Rahasia menyisakan banyak persoalan. Masalah mendasar adalah pada perumusan tentang definisi rahasia negara itu sendiri. Rahasia negara didefinisikan secara luas dan lentur. Parameter yang digunakan sebagai dasar berpijak bagi proses perahasiaan negara juga tidak jelas. Yang dimaksud rahasia negara di sini bukan saja informasi-informasi strategis, tetapi juga informasi tentang birokrasi serta tatakelola negara dan pemerintahan secara umum. <br /><br />Penetapan rahasia negara memang dilakukan oleh Presiden. Tetapi Presiden juga mempunyai kewenangan untuk memberikan delegasi kepada pimpinan lembaga negara. Sementara itu tidak ada penjelasan lebih lanjut pada kondisi semacam apa dan dalam bentuk apa pendelegasian tersebut dilakukan. Tanpa adanya prasyarat dan mekanisme yang ketat, ini artinya klaim rahasia negara dapat dilakukan secara semena-mena dan subjektif berdasarkan kepentingan lembaga negara bersangkutan. Parahnya, RUU RN juga tidak mengatur kewajiban Presiden maupun lembaga negara untuk melakukan pengujian terhadap sesuatu sebelum dinyatakan sebagai rahasia negara. <br /><br />RUU Rahasia Negara mencerminkan semangat untuk menutup peluang bagi publik, baik untuk mendapatkan informasi maupun turut berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian RUU Rahasia Negara dapat dikatakan sebagai produk hukum yang menghalangi hak asasi warga negara sebagaimana telah diatur dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Ketertutupan dalam birokrasi sebagaimana dikehendaki oleh RUU Rahasia Negara, juga akan mengganggu agenda reformasi yakni pemberantasan korupsi, perwujudan tatapemerintahan yang baik, serta kebebasan pers. <br /><br />Bukan saja kontrol publik yang dapat disumbat oleh RUU Rahasia Negara, tetapi berbagai lembaga negara yang fungsinya menjalankan kontrol atas tatakelola pemerintahan dan birokrasi juga akan terganggu. DPR tidak leluasa melakukan pengawasan terhadap proses pemerintahan yang dijalankan eksekutif; BPK akan kesulitan melakukan audit terhadap lembaga-lembaga negara; KPK mengalami hambatan saat melakukan penggeledahan; dan seterusnya. Dapat dibayangkan, betapa buruknya proses check and balances ketika RUU Rahasia Negara disahakan nantinya. <br /><br />Dalam konteks perahasiaan negara, sesungguhnya saat ini telah ada produk hukum yang cukup komprehensif mengaturnya, yaitu UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Semestinya Pemerintah dan DPR menunggu sampai diberlakukannya UU tersebut pada April 2010. Evaluasi terhadap implementasi UU KIP tersebut yang seharusnya kemudian menjadi dasar bagi proses penyusunan legislasi tentang perahasiaan negara. Legislasi RUU Rahasia Negara tanpa mempertimbangkan proses implementasi UU KIP, hanya akan menimbulkan kontraproduksi di bidang hukum. <br /><br />Berdasarkan pada kondisi tersebut di atas maka Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan menuntut:<br /><br />1) Menolak dilanjutkannya pembahasan RUU RN. DPR dan Pemerintah harus terlebih dahulu menunggu sampai diberlakukannya UU KIP, untuk mendapatkan gambaran dan evaluasi dalam implementasi UU tersebut. <br /><br />2) Mendorong kepada DPR dan Pemerintah untuk menunjukkan keseriusan/komitmen untuk menyiapkan implementasi UU KIP pada seluruh level dan lini penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak mengintrodusir rencana perundang-undangan yang justru kontraproduktif bagi implementasi UU KIP.<br /><br /><br />Jakarta, 19 Mei 2009<br />Aliansi Masyarakat Menolak Rezim KerahasiaanBejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-45831316459461580252009-03-05T01:01:00.000-08:002009-03-05T01:03:13.670-08:00UU KIP dan Kagalauan Jurnalis<span style="font-weight:bold;">Para jurnalis dan berbagai pihak yang <span style="font-style:italic;">concern </span>terhadap kemerdekaan pers menempatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai salah satu produk hukum yang akan mengancam kehidupan media. </span><br /><br />Paling tidak ada dua klausul yang menjadi dasar atas pandangan tersebut. Pertama, klausul yang mengatur soal pengecualian informasi. UU KIP, selain mengatur soal kategori dan jenis informasi yang wajib dibuka kepada publik, juga membatasi publik untuk mengakses informasi tertentu. Lebih lanjut, beberapa kategori yang tidak sembarangan dibuka diatur dalam Pasal 17. Ada 10 kategori informasi yang tidak termasuk sebagai informasi publik, yakni: 1) informasi yang dapat menghambat proses penegakkan hukum; 2) informasi yang dapat mengganggu perlindungan kepentingan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan persaingan usaha yang tidak sehat; 3) informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; 4) informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia; 5) informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; 6) informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; 7) informasi yang dapat mengungkap isi akta otentik yang bersifat pribadi dan wasiat pribadi seseorang; 8) informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi; 9) memorandum atau surat-surat antar badan publik; dan 10) informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-undang. <br /><br />Dalam workshop yang diikuti oleh beberapa jurnalis dari berbagai media yang diselenggarakan Yayasan SET pada 26-27 Februari 2009 terungkap, jurnalis merasa terbelenggu gerak aktivitasnya dengan adanya pembatasan yang diatur dalam Pasal 17 tersebut. Dengan adanya ketentuan bahwa informasi tentang kekayaan alam tidak bisa dibuka misalnya, maka akses jurnalis yang hendak memberitakan potensi kekayaan alam di Indonesia akan terhambat. Padahal bisa jadi informasi semacam itu sangat dibutuhkan oleh publik berkaitan dengan kepentingan bisnis maupun investasi. Ironisnya, justru perusahaan tambang asing dengan sangat mudah mendapatkan informasi tersebut sehingga dengan mudah pula mereka melakukan eksploitasi. Jika jurnalis tetap memaksakan diri memperoleh informasi tersebut, lalu menguasai dan mempublikasikannya, jerat sanksi akan menunggu di depan mata. <br /><br />Sanksi tentang pembocoran informasi yang dikecualikan ini diatur dalam pasal 54. Sanksinya mulai dari pidana penjara 2-3 tahun hingga denda senilai Rp 10 juta – Rp 20 juta. Subjek hukum yang diterapkan dalam ketentuan sanksi itu adalah “setiap orang”. Jadi kalau suatu media mempublikasikan informasi yang dianggap rahasia, yang akan terkena sanksi adalah jurnalisnya.<br /> <br />Persoalan kedua adalah adanya ketentuan sanksi bagi setiap orang yang menyalahgunakan informasi. Pada pasal 51 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum akan dikenai pidana penjara selama setahun dan denda sebanyak Rp 5 juta. Lagi-lagi, sanksi ini pasti akan menjerat jurnalis. Mengingat, jurnalislah yang paling banyak memanfaatkan informasi publik dimaksud. Jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan pemberitaan suatu media, maka dia dapat menuntut jurnalis yang menulis dengan dalih telah menggunakan informasi secara melawan hukum. Ketentuan sanksi ini akan semakin memperpanjang daftar nama jurnalis yang diseret ke meja hijau karena aktivitas jurnalistiknya. Asumsi ini tidak berlebihan, karena para penegak hukum masih banyak yang cenderung menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP ketimbang berdasar pada UU No. 40/1999 tentang Pers. <br /><br />Maka, para peserta workshop merekomendasikan untuk mengajukan judicial review atas pasal-pasal bermasalah tersebut. Namun ada catatan yang mengiringinya. Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah, pengajuan JR harus dilakukan secara cermat dan hati-hati serta harus dilengkapi dengan materi yang mendukung argumentasi sehingga dapat meyakinkan hakim konstitusi. Sebab jika itu diabaikan, khawatir JR akan dimentahkan.<br /><br />Lepas dari agenda JR, sebenarnya ada beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang cukup progresif, yang mengatur lebih lanjut ketentuan yang tertuang dalam pasal 17. Pada pasal 19 misalnya, secara implisit dinyatakan di sana bahwa badan publik tidak boleh semena-mena mengecualikan suatu informasi. Badan publik harus melakukan uji konsekuensi terhadap suatu informasi sebelum mengatakan bahwa informasi tersebut rahasia. Yang kemudian perlu didorong adalah bagaimana badan-badan publik tersebut dapat melakukan uji konsekuensi secara terbuka, sehingga proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di sinilah peran jurnalis sangat diperlukan. Lalu pada pasal 20 dinyatakan bahwa pengecualian informasi tidak bersifat permanen, tetapi sementara. <br /><br />Kemudian jika ditinjau secara lebih jeli terhadap ketentuan sanksi pada Pasal 54, sebenarnya di situ dapat ditafsirkan bahwa, yang terkena sanksi adalah setiap orang yang “tanpa hak” melakukan akses terhadap informasi yang dikecualikan. Padahal menurut UU Pers, jurnalis diberikan hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, termasuk informasi yang dikecualikan, selama pers menjalankan fungsi kontrol sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pers. Dengan demikian ketentuan sanksi pada Pasal 54 tidak berlaku bagi jurnalis selama mereka menjalankan profesi jurnalistiknya dengan benar. <br /><br />Setali tiga uang, jurnalis juga dapat mengelak dari tuduhan sanksi dalam Pasal 51 UU KIP. Pada pasal tersebut, sanksi hanya diberikan kepada setiap orang yang sengaja menggunakan informasi publik “secara melawan hukum”. Informasi publik yang dikuasai oleh jurnalis semata-mata “digunakan” untuk publikasi. Jadi, selama tidak “melawan hukum” dalam mempublikasikan informasi tersebut, tidak layak dikenakan sanksi kepada jurnalis. Lalu hukum apa yang dimaksud? Tentu saja hukum yang mengatur aktivitas jurnalistik adalah UU Pers. Sehingga, selama dalam mempublikasikan informasi tersebut masih selaras dengan UU Pers, jurnalis tidak dapat dikenakan sanksi ini. <br /><br />Celah-calah tadi sedikit menepis kegalauan yang selama ini dirasakan oleh para jurnalis.***Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-43431583204079890382009-01-22T00:00:00.000-08:002009-01-22T19:37:57.838-08:00Minim Informasi Seleksi Komisi Informasi<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link style="font-family: georgia;" rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cyayasan%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">UU KIP kuat menjamin akses informasi masyarakat, karena di dalamnya memandatkan dibentuknya Komisi Informasi (KI). KI adalah lembaga independen yang berfungsi membuat semua peraturan teknis tentang implementasi UU KIP. Dengan peraturan yang dibuat oleh KI nantinya, badan-badan publik tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk melayani kebutuhan informasi publik. Selain itu KI juga berfungsi menyelesaikan sengketa informasi antara peminta informasi dengan badan-badan publik. Peminta informasi yang merasa dirugikan karena permintaan informasinya ditolak, atau informasi yang diberikan tidak sesuai dengan permintaan, dapat mengajukan gugatan kepada KI. Melihat fungsinya, KI mempunyai peran yang sangat menentukan. Boleh dibilang, KI menjadi determinan bagi baik buruknya implementasi UU KIP di kemudian hari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Oleh karena itu sebelum UU KIP ini diberlakukan pada April 2010 nanti, KI sudah harus terbentuk. Amanat yang dituangkan dalam UU KIP menyebutkan bahwa KI, terutama di tingkat Pusat, sudah harus terbentuk paling lambat April 2009. Untuk memenuhi amanat UU KIP itulah maka Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah memulai proses seleksi KI Pusat pada Oktober silam dengan membentuk Panitia Seleksi (Pansel). Dari sekitar 400-an pelamar yang masuk, Pansel berhasil menjaring 243 nama yang memenuhi syarat administrasi pada awal November. Ke-243 nama tersebut kemudian diseleksi lagi melalui proses tes psikologi dan uji tertulis tentang pemahaman UU KIP dan keterbukaan informasi. Dari tahapan ini Pansel berhasil menjaring 63 nama. Selanjutnya pada minggu pertama Desember, Pansel melakukan wawancara dan uji makalah terhadap 63 kandidat tersebut. Sampai saat ini tidak ada kepastian berapa kandidat yang lolos dalam tes itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Sesuai dengan ketentuan pasal 31 UU KIP, Pemerintah harus menjaring kandidat menjadi 21 nama, untuk kemudian diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan (<i style="">fit and proper test</i>). Dari uji inilah akan terjaring 7 orang yang akan menjadi anggota KI Pusat. Menurut pengumuman yang dimuat dalam situsnya, Depkominfo telah mengirimkan 21 calon kepada Presiden untuk ditandatangani. Baru setelah mendapat persetujuan Presiden, Depkominfo akan mengumumkannya kepada publik. Namun tidak dapat dipastikan kapan Presiden akan menandatanganinya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Ketidakpastian ini menunjukkan bahwa proses seleksi memang minim informasi. Gejala ini sebenarnya sudah terlihat semenjak awal. Saat mengumumkan 243 nama yang lolos seleksi administrasi, Pansel tidak sekaligus menyertakan latarbelakang para kandidat tersebut. <i style="">Background</i> juga tidak disertakan pada saat Pansel mengumumkan 63 kandidat yang lolos uji psikologi dan tes tertulis. Alasan Pansel, pihaknya tidak punya cukup biaya untuk membayar <i style="">space</i> iklan di media. Penyertaan <i style="">background</i> kandidat menurut Pansel akan berkonsekuensi pada bertambahnya <i style="">space</i> dimaksud. Alasan ini masuk akal, tetapi sebenarnya hal ini dapat disiasati. Misalnya, Pansel tidak perlu mencantumkan secara lengkap, tetapi cukup mencantumkan <i style="">background</i> dasar seperti aktivitas atau profesi. Untuk mempersempit <i style="">space</i>, bisa saja Pansel menyiasatinya dengan memperkecil lagi ukuran <i style="">font</i>. Dengan penyiasatan semacam ini, penyertaan <i style="">background</i> tidak akan berpengaruh secara drastis terhadap penambahan biaya iklan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Mengapa penyebutan latarbelakang penting? Hal ini sangat berguna untuk memandu publik dalam turut memberikan input atau catatan tertentu terhadap para kandidat. Peran serta publik semacam ini harus benar-benar diakomodir karena secara eksplisit terdapat klausul dalam UU KIP yang memberikan jaminan kepada publik untuk ikut memberikan masukan terhadap proses seleksi KI. Dalam Pasal 30 ayat (4) dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggot KI dengan disertai alasan. Persoalannya bagaimana publik dapat berpartisipasi jika mereka tidak mengetahui secara pasti informasi para kandidat? Ketidakjelasan informasi semacam itu justru akan menimbulkan spekulasi, yang bisa jadi kontraproduktif bagi proses seleksi KI itu sendiri. Tindakan Pansel ini dapat dikategorikan sebagai pembatasan terhadap hak publik untuk berpartisipasi dalam proses seleksi KI. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Partisipasi publik juga tidak optimal, karena proses ujian dilakukan secara tertutup. Paling tidak pada tahap uji makalah dan wawancara, seharusnya publik dapat melakukan pemantauan. Dari hasil pantauan tersebut publik dapat menilai secara objektif, apakah seorang kandidat layak untuk menjadi anggota KI atau tidak. Usulan untuk membuka ruang bagi publik dalam tahapan ini juga ditolak oleh Pansel. Alasan teknisnya, Pansel tidak dapat menyediakan ruangan lebih luas yang dapat menampung masyarakat yang diperkirakan hadir. Alasan yang lebih ideologis, Pansel tidak ingin mempermalukan kandidat di muka umum, karena mungkin saja banyak pertanyaan yang bersifat personal, berkaitan dengan konfirmasi tentang integritas pribadi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Namun demikian di lain sisi Pansel cukup akomodatif terhadap pihak yang proaktif untuk berpartisipasi. Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi diakomodasi untuk memberikan masukan terhadap 63 kandidat. Pansel bahkan memberikan data riwayat hidup ke-63 kandidat tersebut. Namun apakah kepentingan publik sudah dapat direpresentasikan oleh Koalisi? Yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa publik secara luaslah akan yang merasakan dampak dari kebijakan atau apapun yang dihasilkan oleh KI nantinya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Minimnya informasi proses seleksi KI sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat Pemerintah juga mempunyai kepentingan di dalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa keanggotaan KI mensyaratkan adanya unsur Pemerintah. Bisa jadi Pemerintah mempunyai kehendak lain selain yang dikehendaki oleh Pansel. Barangkali Pemerintah telah mengantungi sejumlah calonnya yang kemudian secara diam-diam dimasukkan ke dalam daftar yang akan diajukan ke DPR? Jika demikian yang terjadi, maka ini suatu pertanda bahwa KI berada di bawah kontrol Pemerintah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">
<br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN">Tanda-tanda adanya kendali Pemerintah atas KI sebenarnya sudah tampak semenjak UU ini masih dalam pembahasan. Pada awalnya Pemerintah tidak sepakat dengan keberadaan KI. Menurut Pemerintah, KI hanya akan memboroskan uang negara. Alasan ini didasarkan pada asumsi bahwa saat ini banyak lembaga negara independen yang kurang maksimal kinerjanya. Terlepas dari alasan teknis ini, sebenarnya Pamerintah agak khawatir KI akan menjadi lembaga <i style="">superbody</i> yang dapat mengontrol secara penuh badan-badan publik, yang notabene adalah Pemerintah itu sendiri. Sementara itu di sisi lain DPR tetap bergeming dengan usulannya bahwa KI harus ada. Pada akhirnya terjadi kompromi: dibentuk KI dengan syarat ada unsur Pemerintah dalam keanggotaannya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p><span lang="IN" style="font-family:georgia;"><o:p></o:p>
<br />Tapi kita tunggu saja. Apakah dengan ketentuan semacam itu, dan proses seleksi yang cenderung tertutup, KI yang terbentuk akan benar-benar berkualitas sehingga dapat menjamin optimalnya implementasi UU KIP? Patut disayangkan, proses seleksi KI, yang merupakan mandat UU KIP justru minim informasi. Rupanya keterbukaan informasi belum benar-benar menjadi semangat penyelenggara negara kita. Jika demikian, sangat mungkin nantinya UU KIP hanya akan menjadi sekadar deretan aturan norma di atas kertas tanpa makna.***<o:p></o:p></span> Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-76866411978263857962008-11-04T02:05:00.000-08:002008-11-04T02:07:42.197-08:00Mungkinkah Komisi Informasi Independen?<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memandatkan dibentuknya Komisi Informasi (KI). KI merupakan sebuah lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa informasi dan menyusun petunjuk teknis tentang pelaksanaan UU ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Sengketa informasi adalah persengketaan yang terjadi antara peminta informasi dengan badan publik. Sengketa ini dapat terjadi apabila permintaan informasi ditolak oleh badan publik, atau informasi yang diberikan oleh badan publik tidak sesuai dengan yang diminta. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Lalu petunjuk teknis dimaksud adalah semua peraturan yang mendukung pelaksanaan UU KIP, mulai dari mekanisme permintaan informasi, tatacara penyampaian informasi, hingga peraturan tentang standar pelayanan informasi yang harus dipenuhi oleh badan publik. Tanpa adanya regulasi KI, sulit UU KIP dapat diimplementasikan. Dengan demikian KI mempunyai peran dan posisi yang sangat penting. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">UU KIP sendiri merupakan sebuah perangkat hukum yang memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik dari badan-badan publik. Informasi publik secara singkat dapat dijabarkan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu badan publik. Kemudian yang dimaksud badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pusat hingga daerah, termasuk juga organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau sumbangan luar negeri. Dengan demikian masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun anggaran badan-badan publik berkaitan dengan penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Pengaturan tentang KI<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Begitu strategisnya posisi KI, sehingga secara normatif KI dinyatakan sebagai lembaga yang mandiri (Pasal 23). Tetapi jika dilihat lebih lanjut ternyata terdapat ketentuan yang jika dicermati justru akan berpotensi mengebiri kemandirian itu sendiri. Lihat saja misalnya ketentuan yang tercantum dalam pasal 25. Di sana dinyatakan bahwa di antara anggota KI -baik pusat maupun daerah- harus menyertakan unsur Pemerintah. Hal ini akan menimbulkan bias kepentingan Pemerintah dalam setiap peraturan yang dibuat oleh KI. Segala peraturan tentang implementasi UU KIP bisa jadi akan selalu diselaraskan dengan kehendak Pemerintah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Objektivitas KI dalam memutuskan persengketaan informasi juga bisa terganggu. Akibatnya, putusan yang dihasilkan oleh KI bisa saja hanya akan menguntungkan badan-badan publik Pemerintah. Kesempatan masyarakat untuk memenangkan persengketaan informasi dikawatirkan menjadi kecil.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dalam konteks ini mungkin kita dapat belajar dari apa yang terjadi di India. Tahun 2005 India mengesahkan dan memberlakukan Right To Information Act (RTIA/ semacam UU KIP). Tetapi setelah tiga tahun pemberlakuannya, UU tersebut tidak memberikan manfaat secara optimal kepada masyarakat dalam mendapatkan hak atas informasinya. Ini disebabkan karena yang ditunjuk menjadi anggota KI kebanyakan adalah mantan birokrat. Dengan demikian, banyak peraturan yang dibuat maupun keputusan yang diambil menggambarkan kepentingan birokrasi. Padahal secara filosofis, RTIA dibuat salah satunya untuk mengubah budaya birokrasi di India yang semula cenderung tertutup menjadi lebih terbuka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Ketentuan selanjutnya yang menggambarkan ketidakmandirian KI dapat dilihat pada bagian yang mengatur tentang sekretariat dan tatakelola (Pasal 29). Sekretariat KI dilaksanakan oleh Pemerintah, dimana pimpinan sekretariat ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika -untuk KI Pusat. Untuk KI Provinsi dan Kabupaten/Kota, pimpinan sekretariat ditetapkan oleh pejabat yang wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><i style=""><span style="" lang="IN">De Facto<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Uraian di atas adalah gambaran kondisi KI secara <i style="">de jure</i>. Untuk mewujudkan KI yang independen secara <i style="">de facto</i>, jelas diperlukan upaya-upaya tertentu dari berbagai komponen masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan misalnya adalah mendorong panitia seleksi (Pansel) -yang bertugas merekrut calon anggota KI- untuk lebih terbuka. Pansel harus mengumumkan secara massif kepada masyarakat tentang tahapan proses rekrutmen, mulai dari pengumuman pendaftaran calon, penilaian, hingga pengumuman hasil penilaian serta nama dan latar belakang calon yang lolos seleksi. Keterbukaan ini perlu agar masyarakat dapat berperan mengontrol jalannya proses tersebut. Lebih dari itu, keterbukaan diperlukan agar masyarakat juga dapat memberikan input kepada Pansel, untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam proses penilaian. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Input masyarakat dalam proses rekrutmen di tingkat Pansel sangat diperlukan, mengingat Pansel ini tidak lain adalah tim bentukan Pemerintah. Proses rekrutmen yang terbuka dan menyertakan peran masyarakat akan menepis kecurigaan bahwa Pansel banyak meloloskan calon-calon dari unsur Pemerintah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Bukan hanya di tingkat Pansel, masyarakat hendaknya juga mendorong DPR untuk mengedepankan keterbukaan dan objektivitas. Sebagaimana diatur di dalam UU KIP, calon anggota KI yang lolos di tingkat Pansel akan diseleksi lagi oleh DPR melalui proses uji kepatutan dan kelayakan (<i style="">fit and proper test</i>). Kontrol dan peran serta masyarakat dalam proses fit and proper test di DPR juga akan memperkecil kemungkinan adanya politik kepentingan yang bakal terjadi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN"><span style="font-family: georgia;">Upaya lain yang dapat dilakukan, masyarakat mengajukan sebanyak-banyaknya calon kepada Pansel. Tentu saja yang diajukan adalah mereka yang memiliki kriteria tertentu. Para calon yang diajukan harus mempunyai keberanian, semangat inovasi, serta mempunyai kredibilitas dan dedikasi yang tinggi terhadap kebebasan informasi dan demokrasi. Individu yang mempunyai kriteria semacam ini diharapkan dapat bergerak di tengah aturan-aturan tentang KI yang membelenggu. Jika yang lolos dan terpilih menjadi anggota adalah individu-individu semacam ini, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk KI yang independen, sehingga kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi publik benar-benar dapat dijamin.*</span> </span>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-36301438118138369162008-06-13T01:19:00.000-07:002008-06-13T01:21:15.428-07:00RUU Rahasia Negara Paradigma Orde Baru<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">DPR melalui Komisi I akhirnya mengembalikan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) kepada Pemerintah akhir Mei lalu. Alasan kuat yang mendasari sikap DPR ini adalah karena RUU RN memberikan mandat yang begitu luas kepada instansi pemerintah/otoritas negara untuk melakukan klaim rahasia negara secara sepihak dan sewenang-wenang atas informasi dan benda yang dimilikinya, serta aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian RUU RN berpotensi mengembalikan rezim keterbukaan yang sedang kita perjuangkan bersama semenjak era reformasi, menuju rezim ketertutupan ala Orde Baru. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dapat dinyatakan bahwa RUU RN mencerminkan paradigma pemerintahan Orde Baru yang cenderung tertutup dan otoriter. Pernyataan ini tidak berlebihan, sebab secara kronologis RUU RN memang mulai digodok pada saat pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Data dari Departemen Pertahanan menunjukkan bahwa penggodokan RUU RN mulai dilakukan pada tahun 1994. Setelah melalui berbagai kajian di internal Dephan, draft awal RUU RN kemudian terbit pada akhir tahun 1997. Belum lagi draft itu diserahkan ke DPR, konstelasi politik terlanjur berubah seiring tumbangnya kekuasaan Soeharto yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru. Maka semenjak itu perjalanan RUU RN pun terhenti dan mengalami kevakuman. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun setelah dua tahun perjalanan reformasi, tepatnya akhir tahun 2000, wacana RUU RN dimunculkan oleh Lembaga Sandi Negara (LSN) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR. Saat itu LSN meminta izin kepada Komisi I untuk kembali menggodok RUU RN. Komisi I tampaknya memberikan lampu hijau, karena LSN telah berkomitmen bahwa RUU RN akan disesuaikan dengan paradigma baru. Kemudian Pemerintah melalui Dephan bersama dengan LSN melakukan kajian terhadap RUU RN, termasuk kembali menyusun naskah akademik dan melakukan penelitian hukum. September 2006 draft RUU RN final dan diserahkan ke DPR melalui Surat Presiden. Namun demikian ternyata materi yang terkandung dalam draft RUU RN –yang katanya akan disesuaikan dengan paradigma baru itu- semangatnya masih sama dengan draft RUU RN yang dihasilkan pada tahun 1997. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Draft RUU RN versi Pemerintah sama sekali tidak reformis meskipun dalam salah satu konsiderannya mencantumkan Pasal 28F UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa pasal tersebut mengatur tentang hak publik untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan media apapun. Tetapi kenyataannya RUU RN justru menutup peluang bagi publik untuk melakukan aktivitas yang diamanatkan dalam Pasal 28F. Tampaknya pencantuman Pasal 28F sebagai konsideran dalam RUU RN hanya sekadar kamuflase belaka, untuk mengesankan bahwa RUU RN telah disesuaikan dengan paradigma reformasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Lalu bagaimanakah sebenarnya substansi yang terkandung dalam draft RUU RN? Untuk lebih menggambarkan secara sistematis bagaimana RUU RN memberikan mandat secara luas kepada instansi/otoritas negara untuk melakukan klaim rahasia negara, dapat dilihat mulai Bab I tentang Ketentuan Umum yang mendefinisikan rahasia negara. Pada pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “<i style="">Rahasia negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini ...”. </i>Mekanisme penetapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud di atas selanjutnya diatur dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Kerahasiaan Negara. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Pada Pasal 12 Bab IV disebutkan bahwa pedoman rahasia negara meliputi pedoman umum dan pedoman teknis. Pedoman umum merupakan pedoman tentang rahasia negara di tingkat nasional yang disusun oleh lembaga non-departemen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang persandian bersama dengan instansi terkait. Sedangkan pedoman teknis adalah pedoman di tingkat instansi yang berisi rincian daftar rahasia negara milik instansi yang bersangkutan. Nah, di sinilah titik krusialnya. Pada bagian ini tidak ada bagian yang menjelaskan instansi mana saja yang dimaksud. Ketidakjelasan inilah yang akan membuka peluang bagi semua instansi pemerintah untuk menentukan kerahasiaan negara. Pada praktiknya nanti semua instansi pemerintahan dari lembaga kepresidenan hingga kelurahan dapat melakukan klaim rahasia negara. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Pedoman umum dan pedoman teknis tersebut di atas dimaksudkan untuk menguraikan jenis-jenis rahasia negara yang ruang lingkupnya telah disebutkan dalam pasal 4. Ruang lingkup rahasia negara dimaksud adalah pertahanan dan keamanan negara; hubungan luar negeri; proses penegakkan hukum; ketahanan ekonomi nasional; persandian negara; intelijen negara; dan pengamanan aset vital negara. Penentuan ruang lingkup ini juga membahayakan karena terlalu luas, tidak rinci. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Memang terdapat rumusan yang menjelaskan tiap-tiap poin tersebut. Misalnya, poin pertama dijelaskan bahwa yang dimaksud rahasia negara di bidang pertahanan dan keamanan negara antara lain: persenjataan, perbekalan, peralatan tempur dan penemuan teknologinya beserta riset pengembangan. Tetapi penjelasan tersebut masih membuka peluang multitafsir. Penyebutan frasa “antara lain” menunjukkan bahwa di luar hal yang disebutkan itu, terbuka kemungkinan akan dimasukkan hal-hal lain kedalam kategori rahasia negara. Ini artinya semua hal bisa saja dikategorikan sebagai rahasia negara. </span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kini draft RUU RN kembali berada di tangan Pemerintah. DPR memberikan waktu tiga bulan kepada Departemen Pertahanan untuk memperbaikinya. Tidak terlalu jelas hal-hal apa saja yang mesti diperbaiki. Namun jika melihat rumusan materi yang terkandung di dalam draft RUU RN yang ada sekarang, tampaknya Dephan harus merombaknya secara total. Seiring dengan itu, Dephan juga harus membangun paradigma yang kuat untuk mendasari penyusunan draft yang baru. Durasi tiga bulan jelas tidak mencukupi untuk melakukan perbaikan secara mendasar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Daripada memaksakan diri untuk tetap meloloskan RUU RN, lebih baik Pemerintah mengoptimalkan perangkat hukum yang ada, yang sudah cukup memadai bagi pengaturan tentang perahasiaan negara. Beberapa produk hukum yang dapat dimanfaatkan salah satunya adalah KUHP. Dalam KUHP Buku Kedua Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara kurang lebih terdapat 10 pasal yang mengatur tentang rahasia negara. Salah satunya adalah yang tercantum dalam Pasal 113 angka 1 yang berbunyi: <b style=""><i style="">“</i></b><i style="">Barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar-gambar atau benda-benda yang bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau isinya, bentuknya atau susunannya benda-benda itu diketahui olehnya, diancam dengan pidana penjara...”</i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Produk hukum lain yang dapat dimanfaatkan adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU No. 14/2008 yang baru disahkan April lalu itu telah sangat jelas dan tegas mengatur suatu informasi menjadi terbuka atau rahasia. Jadi sebenarnya di dalam UU KIP juga telah diatur tentang substansi rahasia negara. UU KIP jelas-jelas tidak dapat memberikan peluang kepada siapapun, termasuk instansi negara untuk melakukan klaim rahasia negara secara sepihak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Alasan yang selalu dikemukakan dan dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk terus meloloskan RUU RN adalah karena menurutnya selama ini tidak ada produk hukum yang memadai yang mengatur tentang kerahasiaan negara. Alasan lain adalah, dengan adanya UU RN nantinya tidak ada lagi penyalahgunaan kewenangan dalam menentukan kerahasiaan negara. Dengan memperhatikan KUHP dan UU KIP seperti disebutkan di atas maka alasan-alasan tersebut menjadi tidak relevan.***<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-20538566044145748022008-04-17T20:33:00.000-07:002008-05-09T00:36:28.706-07:00Selamat Datang UU KIP!<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><a href="http://rapidshare.com/files/113617291/UU_KIP_3_April_2008.zip.html"><span style="font-style: italic;">Download UU KIP di sini</span></a><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Akhirnya Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) disahkan dalam rapat paripurna DPR awal April ini. Selamat datang kita ucapkan kepada UU KIP yang kehadirannya sudah lama dinanti publik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">UU ini diharapkan dapat memberikan jaminan hukum kepada publik untuk mendapatkan segala informasi tentang kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan kita. UU KIP diharapkan dapat menjadi pembuka jalan bagi terwujudnya <i style="">clean and good governance</i>, sehingga praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dapat benar-benar terkikis. Lebih dari itu UU KIP menjadi instrumen penting bagi terwujudnya substansi demokrasi yang sedang kita bangun bersama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Sedikit menengok perjalanannya, RUU KIP –yang pada awalnya bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP)- merupakan usul inisiatif DPR yang telah mulai digodok semenjak tahun 2001. Pada sekitar akhir 2002 Pansus DPR telah menyelesaikan draftnya. Draft RUU tersebut kemudian dikirim kepada Pemerintah. Namun sampai berakhirnya masa jabatan DPR periode 1999-2004 Amanat Presiden (Ampres) untuk pembahasan belum juga terbit. DPR periode 2004-2009 kembali mengirimkan draft RUU KMIP kepada Pemerintah. Baru pada sekitar pertengahan akhir 2005 keluarlah Ampres sekaligus Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KMIP versi Pemerintah. Keluarnya Ampres dan DIM menandakan bahwa pembahasan RUU KMIP antara DPR dan Pemerintah bisa dilakukan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Soal Judul<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Secara efektif pembahasan RUU KMIP berjalan mulai Mei 2006. Pembahasan RUU ini terkesan berjalan lama. Kesan ini muncul karena dalam banyak hal, sering terjadi perdebatan panjang antara DPR dan Pemerintah. Memang pada kenyataannya DIM yang disusun Pemerintah secara prinsip banyak yang bertentangan dengan draft bikinan DPR. Tak dapat dipungkiri, perdebatan-perdebatan panjang itu kemudian berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang bernuansa kompromis. Klausul-klausul hasil kompromi inilah yang agak merisaukan. Dibilang merisaukan karena bukan tidak mungkin dalam implementasinya nanti justru klausul-klausul inilah yang akan mengganggu keterbukaan itu sendiri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Perdebatan pertama adalah soal judul. Pemerintah sangat keberatan dengan judul yang diusulkan DPR. Menurut Pemerintah, kata “kebebasan” identik dengan liberal yang mengarah pada anarkisme. Pemerintah mengusulkan agar RUU ini diubah judulnya menjadi Hak Warga Negara untuk Memperoleh Informasi. Namun DPR berpendapat bahwa judul yang diajukan oleh Pemerintah ini terkesan ingin mendistorsi kewajiban badan publik. Seolah-oleh UU ini hanya mengatur hak warga negara tanpa mengatur kewajiban badan publik untuk memenuhi hak tersebut. Perdebatan panjang ini akhirnya menyepakati perubahan judul menjadi RUU KIP sebagaimana yang ada sekarang ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Topik perdebatan kedua adalah soal definisi badan publik. Dalam draft RUU rumusan DPR yang dimaksud badan publik adalah seluruh penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang pembiayaannya berasal dari anggaran negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Termasuk ke dalam badan publik adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rupanya Pemerintah sangat menentang dimasukkannya BUMN sebagai bagian dari badan publik. Alasannya, keterbukaan BUMN hanya akan mengganggu daya saing (<i style="">competitiveness</i>) mengingat BUMN adalah lembaga yang menjalankan aktivitas bisnis. Pemerintah mengganggap BUMN murni sebagai entitas bisnis. <span style="color:red;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Bagi DPR, BUMN juga bagian dari lembaga penyelenggaraan negara. Sebab, selain menggunakan dana APBN, aktivitasnya pun mengemban amanat konstitusi dalam mengelola sumber-sumber daya negara demi kesejahteraan umum. Dengan demikian akuntabilitas BUMN harus dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sangat logis jika BUMN masuk sebagai bagian badan publik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Akhirnya DPR dan Pemerintah bersepakat untuk tidak mencantumkan secara eksplisit BUMN dalam definisi badan publik. Namun kemudian dicantumkan pasal tersendiri yang mengatur tentang kewajiban BUMN untuk menyediakan berbagai informasi yang semestinya terbuka kepada publik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Perdebatan panjang selanjutnya adalah soal Komisi Informasi (KI). Pemerintah pada awalnya menolak usulan DPR yang menginginkan adanya KI, sebagai lembaga independen yang berfungsi menyelesaiakan persoalan jika ada sengketa antara badan publik dan peminta informasi. Menurut Pemerintah, keberadaan KI hanya akan memboroskan anggaran negara. Alasan tersebut tidak diterima oleh DPR. Menurut DPR ada hal prinsip jika KI tidak ada, yakni implementasi UU ini tidak akan berjalan optimal. Tanpa adanya KI, dikhawatirkan badan publik tetap akan sewenang-wenang dalam melayani permintaan informasi. Namun pada akhirnya Pemerintah sepakat dengan keberadaan KI, asalkan ada unsur pemerintah dalam keanggotaannya. Dan memang selanjutnya dalam klausul yang mengatur tentang KI dinyatakan bahwa anggota KI terdiri dari unsur masyarakat dan unsur Pemerintah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Adanya unsur pemerintah dalam keanggotaan KI dikhawatirkan dapat menumpulkan objektivitas KI dalam menyelesaiakan sengketa informasi. Tetapi DPR menerima tawaran Pemerintah ini dengan syarat bahwa proses rekrutmen calon anggota KI terbuka kepada publik dan seluruh calon anggota KI diseleksi oleh DPR melalui <i style="">fit and proper test</i>. Selain itu DPR juga mengajukan syarat bahwa unsur pemerintah itu bukanlah <i style="">ex officio</i> tetapi orang yang sanggup bekerja penuh waktu dalam KI. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Perdebatan penting terakhir adalah soal ketentuan sanksi bagi siapa saja yang menyalahgunakan informasi publik. Pada mulanya baik DPR maupun Pemerintah sepakat dengan klausul yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan informasi publik dapat dikenai pidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp30 juta. Namun kesepakatan ini ditarik kembali setelah sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi mengajukan catatan kritisnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Menurut Koalisi klausul tersebut tidak logis. Secara nalar, yang dimaksud dengan informasi publik sudah pasti terbuka, sehingga asumsinya adalah semua orang pasti sudah mengetahuinya. Lalu, bagaimana bentuk penyalahgunaannya? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="color:red;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Ketentuan sanksi ini hanya akan membuat seseorang takut untuk meminta informasi kepada badan publik. Salah-salah nanti malah dituduh menyalahgunakan informasi jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan beredarnya informasi tersebut. Pihak yang berpotensi banyak terjerat oleh pasal ini adalah jurnalis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="color:red;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Pada prinsipnya DPR sepakat dengan usulan Koalisi untuk menghapus ketentuan sanksi bagi pengguna informasi ini. Namun Pemerintah tidak menerimanya dengan alasan tidak <i style="">fair</i>. Menurut Pemerintah, jika ada sanksi bagi badan publik, mengapa tidak ada sanksi bagi pengguna informasi? Inilah yang disebut Pemerintah sebagai prinsip resiprokal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Setelah melalui proses perdebatan panjang akhirnya DPR menyetujui adanya sanksi bagi pengguna informasi. Namun ada perubahan rumusan, yakni frasa “penyalahgunaan informasi” diubah menjadi “menggunakan informasi secara melawan hukum”. Selain itu nominal hukumannya diturunkan menjadi 1 tahun untuk pidana penjara dan Rp5 juta untuk denda. Klausul lengkapnya menjadi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta”. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Cukup Komprehensif<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Di luar klausul-klausul yang masih merisaukan tersebut di atas, secara umum UU KIP yang baru disahkan ini sudah cukup komprehensif mengakomodir kepentingan publik dalam melakukan kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan negara. Badan-badan publik diberikan kewajiban sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi mengelak dari kewajibannya melayani informasi publik. Badan publik juga tidak bisa secara sepihak untuk menghalangi permintaan informasi dengan dalih apapun termasuk dalih rahasia negara, sebagaimana yang selama ini sering terjadi. Sebab, kategori-ketegori informasi yang dirahasiakan, telah dijabarkan secara jelas di dalam pasal tentang pengecualian informasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Pasal-pasal tentang pengecualian informasi juga melindungi informasi yang berkaitan dengan data-data pribadi. Dengan demikian UU KIP juga memberikan jaminan perlindungan terhadap privasi seseorang. Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa UU KIP akan menumbuhkan liberalisme. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dengan UU KIP, badan publik tidak begitu saja menjadi penentu atas informasi yang dimilikinya. Monopoli informasi oleh badan publik tidak akan terjadi lagi. Jika ternyata di kemudian hari masih ada badan publik yang menolak memberikan informasi publik, atau menolak untuk menyampaikan informasi publik, maka badan publik yang bersangkutan dapat diadukan kepada KI, atau bahkan dapat diajukan ke pengadilan untuk dikenai sanksi.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Jika diimplementasikan secara benar maka UU KIP dapat menghilangakan asimetri informasi antara penyelenggara negara dengan publik.</span></p>*Seperti dimuat Suara Pembaruan, 23 April 2008<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-79035217380966257502008-03-10T02:14:00.000-07:002008-03-10T02:36:33.929-07:00Penggusuran dan Ketidakpastian Informasi<strong></strong><br /><strong><em>“Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.” (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11/2005).<br /></em></strong><br />Rasanya hampir tiap hari kita dihadapkan dengan berita-berita tentang penggusuran. Baik itu penggusuran tempat tinggal maupun tempat untuk menjalankan usaha. Penggusuran, yang biasanya terjadi di daerah perkotaan, selalu diiringi dengan kekerasan. Warga seakan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan aparat dari satuan polisi sipil bentukan Pemerintah Daerah yang lazim disebut Polisi Pamong Praja. Belum lagi, aparat selalu dilengkapi dengan alat-alat berat yang siap meluluhlantakan hunian mereka.<br /><br />Sudah pasti, penggusuran menimbulkan penderitaan mendalam. Bukan saja derita fisik, namun juga derita psikis berupa trauma berkepanjangan. Banyak warga terlunta-lunta, selebihnya tak sedikit yang kehilangan mata pencaharian. Akibatnya, warga tidak dapat melangsungkan kehidupannya secara wajar. Tindakan Pemerintah ini jelas bertentangan dengan UU No. 11/2005 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.<br /><br />Selain kekerasan, dalam setiap penggusuran hampir selalu disertai dengan ketidakpastian informasi. Simak saja misalnya penggusuran yang terjadi belakangan ini di kawasan Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Beberapa media memberitakan, sebelumnya warga tidak diberikan informasi tentang rencana penggusuran. Sementara Camat Cempaka Putih mengklaim bahwa pihaknya telah memberitahukan rencana tersebut.<br /><br />Demikian juga dengan informasi yang berkaitan dengan uang pengganti atau lazim disebut uang kerohiman. Sampai menjelang dilakukannya penggusuran, warga menyatakan bahwa pihaknya belum memperoleh ganti rugi sepeserpun. Lagi-lagi, pernyataan warga ini dibantah oleh Camat yang menyatakan bahwa uang kerohiman sebesar Rp10 juta telah dibagikan. Lain pula pernyataan yang disampaikan anggota DPRD DKI. Menurutnya, dalam budget anggaran Pemprov DKI tidak ada item untuk membayar ganti rugi atas penggusuran di Rawasari.<br /><br /><strong>Pentingnya Kepastian Informasi</strong><br />Dalam konteks penggusuran semacam ini, kepastian informasi menjadi penting. Informasi tentang rencana penggusuran harus disampaikan jauh-jauh hari. Informasi ini dibutuhkan agar warga yang akan terkena dampak mempunyai banyak waktu untuk mencari alternatif tempat tinggal atau lokasi usahanya yang baru. Dengan waktu yang longgar pula, warga dengan leluasa dapat mengemas dan membenahi sendiri segala macam properti yang dimilikinya, sehingga tidak perlu dihancurkan secara paksa.<br /><br />Termasuk yang penting untuk diinformasikan adalah tentang rencana tata ruang kota. Informasi ini dapat memberikan pengertian kepada warga, bahwa memang penggusuran itu dilakukan demi kepentingan publik yang lebih luas, bukan hanya kepentingan salah satu pihak tertentu. Singkatnya, informasi ini akan meredam kecurigaan. Informasi tata ruang juga dapat dijadikan rujukan bagi warga agar tidak begitu saja mengokupasi lahan yang bukan miliknya.<br /><br />Adanya kesimpangsiuran informasi semacam ini menunjukkan betapa Pemerintah masih belum sadar sepenuhnya akan perubahan zaman yang sedang berlangsung saat ini. Barangkali Pemerintah masih memegang paradigma lama, bahwa birokrasi sajalah yang berhak menguasai informasi. Padahal di era demokrasi yang sedang kita bangun sekarang ini, informasi juga mutlak diperlukan oleh publik. Jika kepemilikan informasi timpang, maka saat itulah --meminjam istilah Joseph E Stiglitz- sedang terjadi asimetri informasi (asymmetric information). Gejala ini harus dihindari jika kita sepakat untuk mewujudkan substansi demokrasi.<br /><br />Sebenarnya, negara sudah menjamin hak publik atas informasi. Pasal 28 F UUD 1945 secara jelas menjamin rangkaian hak setiap orang atas informasi mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah sampai dengan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan itu diperkuat dengan UU No. 12/2005 tentang ratifikasi atas Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Sipol). Dalam Pasal 19 (2) Kovenan Hak Sipol dinyatakan: setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Jadi, selain hak atas pangan, sandang, dan perumahan, masyarakat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, yang seharusnya dijamin oleh Negara melalui Pemerintah.<br /><br /><strong>Jaminan Kepastian Informasi</strong><br />Berkaitan dengan jaminan kepastian informasi publik, saat ini tengah dibahas Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Jika tidak ada aral, RUU KIP akan disahkan pada Maret ini, untuk kemudian diberlakukan dua tahun ke depan. UU KIP ini nantinya diharapkan benar-benar akan menjadi perangkat yang dapat digunakan oleh publik untuk mendapatkan haknya atas informasi. Kekuatan pokok UU ini terletak pada ketentuan tentang sanksi bagi badan publik (lembaga Pemerintah) yang tidak menjalankan kewajibannya melayani informasi kepada publik.<br /><br />Dalam ketentuan Pasal 50 RUU KIP dinyatakan bahwa setiap badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU ini dikenakan pidana kurungan setinggi-tingginya satu tahun dan/atau pidana denda sebesar-besarnya Rp 5 juta. Suka atau tidak, itulah klausul yang telah disepakati oleh para anggota legislator. Termasuk ke dalam informasi yang harus diberikan kepada publik adalah seluruh kebijakan yang dibuat berikut dokumen pendukungnya serta rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunannya.<br />Jika merujuk pada RUU KIP ini jelas, rencana penggusuran terhadap suatu lokasi tertentu wajib diinformasikan kepada publik secara luas. Pemerintah tidak bisa mengelak lagi. Sebab jika tidak, sanksi pidana siap menjerat mereka. Diharapkan UU KIP ini benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif, agar ke depan tidak dijumpai lagi kesimpangsiuran informasi seperti yang sering terjadi saat ini. Lebih penting lagi, UU KIP diharapkan dapat meminimalisir penderitaan rakyat akibat kebijakan penguasa yang tidak transparan.***Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-63750402672721486692008-01-01T21:22:00.000-08:002008-01-01T22:20:08.646-08:00Substansi RUU KIP yang Mengkhawatirkan<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">DPR kembali gagal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) pada masa sidang November-Desember 2007. Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran publik karena target pengesahan selalu tertunda. Padahal UU ini lama ditunggu kehadirannya sebagai perangkat untuk menjamin akses publik terhadap informasi yang dimiliki oleh badan publik. UU ini juga nantinya yang akan menjadi penekan bagi badan publik yang enggan melayani permintaan informasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Keterbukaan informasi sangat penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketiadaan informasi merupakan pupuk bagi suburnya praktik-praktik korupsi dan pelanggaran HAM. Paling tidak, itulah yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru lalu. Dengan informasi yang dimiliki, publik nantinya dapat melakukan pengawasan terhadap proses penyelenggaraan negara. UU KIP dapat mewujudkan tatapemerintahan yang lebih akuntabel.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun di sisi lain, tertundanya pengesahan layak disyukuri. Pasalnya, dalam materi RUU KIP hasil kesepakatan terakhir antara Tim Perumus DPR dan Pemerintah, ditemukan substansi yang justru tidak selaras dengan semangat kebebasan informasi itu sendiri. Dengan demikian, masih ada waktu bagi publik untuk mengingatkan Tim Perumus agar substansi tersebut dapat dicermati, dan dibahas lagi pada sidang yang akan digelar awal tahun ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dua substansi<i style=""> </i>yang mengkhawatirkan tersebut adalah <i style="">pertama, </i>soal ketentuan sanksi.. RUU KIP mengatur tentang sanksi bagi publik yang dianggap menyalahgunakan informasi publik dan/atau penyimpangan pemanfaatan informasi. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 49 tersebut berbunyi: <i style="">“Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan informasi publik dan/atau melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana ....”</i> Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan: <i style="">“Pengguna informasi publik wajib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”</i> Sanksi ini terasa janggal, karena suatu informasi yang sudah terbuka tidak mungkin disalahgunakan. Penyalahgunaan hanya mungkin terjadi pada informasi rahasia yang sifatnya tertutup. Informasi yang tertutup bisa saja dimanfaatkan oleh orang untuk melakukan pemerasan, penipuan, dan berbagai tindak pidana lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Ketentuan sanksi ini hanya akan menimbulkan ketakutan bagi peminta informasi. Katakanlah misalnya seseorang telah meminta dan mendapatkan informasi, kemudian informasi tersebut tersebar luas. Di kemudian hari, ternyata ada pihak yang merasa tidak suka dengan informasi tersebut, maka peminta informasi dapat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan informasi publik. Sudah pasti publik menjadi enggan dan takut melakukan permintaan informasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Selain mengancam hakikat keterbukaan informasi itu sendiri, ketentuan sanksi semacam ini juga tidak konstitusional. Pasal 28 F UUD 1945 menjamin rangkaian hak setiap orang atas informasi mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah sampai dengan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.<span style=""> </span>Jadi, menyampaikan informasi dilindungi oleh konstitusi, sehingga akan tidak wajar jika kemudian aktivitas ini diancam dengan sanksi. Apabila ketentuan ini masih dipertahankan, UU KIP nantinya akan sangat mudah digugat ke Mahkamah Konstitusi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Norma yang dirujuk oleh ketentuan sanksi dalam Pasal 49 tersebut adalah Pasal 5 ayat (1). Memperhatikan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) di atas, sanksi atas penggunaan informasi semestinya melekat pada peraturan perundang-undangan tersebut, bukan RUU KIP ini. Menempatkan sanksi atas penyalahgunaan informasi dalam RUU KIP merupakan tindakan yang kontraproduktif. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Substansi <i style="">kedua</i> adalah tentang ketidakmandirian Komisi Informasi (KI). Pada Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dinyatakan bahwa KI adalah lembaga yang dibentuk sebagai badan mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan pedoman teknis pelayanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun dalam ketentuan selanjutnya, justru terkandung materi yang justru menggambarkan ketidakmandirian KI. <i style="">Pertama</i>, komposisi anggota KI mencerminkan wakil Pemerintah selain wakil masyarakat (Pasal 24). Sebagai lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa, tak lazim jika ada perwakilan Pemerintah di sana. Sebab, dalam praktiknya nanti yang terlibat dalam persengketaan adalah badan publik Pemerintah. Dengan komposisi keanggotaan semacam itu akan sangat sukar mendapatkan keputusan KI yang objektif. Lagipula, anggota KI dari unsur Pemerintah ini tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan (<i style="">fit and proper test</i>) oleh DPR. Dalam Pasal 28 Ayat (2) dinyatakan bahwa rekrutmen calon anggota KI dari unsur masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka, fair dan objektif. Selanjutnya dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan bahwa calon anggota KI Pusat hasil rekruitmen sebagaimana dimaksudkan pada pasal 28 ayat (2) diajukan kepada DPR oleh Presiden sejumlah 21 orang calon. Tidak ada satupun klausul yang menyatakan bahwa calon anggota KI dari unsur Pemerintah diajukan kepada DPR. Dominasi Pemerintah atas KI akan menyebabkan segala implementasi tentang UU ini tergantung pada kebijakan Pemerintah. KI hanya akan membela kepentingan badan publik untuk tidak membuka peluang bagi publik untuk mendapatkan akses informasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kalaupun mau mensyaratkan unsur, lebih baik jika didasarkan pada profesionalisme, misalnya unsur praktisi hukum, praktisi komunikasi dan informasi, hakim, dan sebagainya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Hal <i style="">kedua</i> yang mencerminkan ketidakmandirian KI adalah berkaitan dengan dukungan administratif, keuangan dan tatakelola. Keseluruhan dukungan tersebut dilaksanakan oleh Sekretariat, sementara kesekretariatan sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah (Pasal 27). Sekretaris KI ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang Komunikasi dan Informatika. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style="" lang="IN">Ketiga</span></i><span style="" lang="IN">, peraturan pelaksanaan KI harus dibawah Peraturan Pemerintah (Pasal 24 huruf (c)/Keputusan Rapat Kerja tanggal 20 Februari 2007). Keputusan ini seperti mengada-ada, karena pada pembahasan terakhir disepakati bahwa Peraturan Pemerintah hanya akan mengatur tentang batas waktu informasi yang dikecualikan dan tentang pengaturan ganti rugi bagi badan publik yang terkena sanksi. (Keputusan Rapat Tim Perumus tanggal 15 September 2007). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Keberadaan Peraturan Pemerintah, selain mereduksi kemandirian KI, juga dikhawatirkan akan memangkas kewenangan KI yang lebih luas. Preseden semacam ini telah terjadi pada Komisi Penyiaran. Seharusnya, semua mandat tentang petunjuk kerja KI langsung dirumuskan dalam RUU. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Substansi yang mengkhawatirkan ini mudah-mudahan dapat ditinjau kembali baik oleh DPR maupun Pemerintah, untuk kemudian dapat diubah, diselaraskan dengan semangat keterbukaan informasi. Sehingga, harapan publik akan keterbukaan informasi akan benar-benar terwujud.*** <o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-40296511060003383352007-11-29T22:54:00.000-08:002007-11-29T22:57:53.276-08:00Wajah Baru Televisi Kita<span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><span style="" lang="IN">Akhir Desember ini merupakan batas akhir bagi stasiun televisi swasta melakukan siaran secara nasional melalui sistem relainya. Agar terus dapat bersiaran secara nasional mereka harus mendirikan stasiun televisi lokal, atau berjaringan dengan televisi lokal yang sudah ada. Ketentuan ini merupakan amanat UU No. 32/2002 atau UU Penyiaran.<span style=""> </span><o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Secara eksplisit ketentuan tersebut dinyatakan dalam pasal 6 ayat 3: <i style="">”Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal”</i>. Mengacu pada ketentuan ini, ke depan tidak lagi dikenal istilah televisi swasta nasional, yang ada adalah stasiun televisi lokal atau stasiun televisi induk yang berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Stasiun televisi nasional yang ada saat ini, menurut pasal 60 UU Penyiaran harus menyesuaikan diri selama lima tahun. Karena UU ini diberlakukan pada 28 Desember 2002 maka sistem penyiaran berjaringan efektif sudah harus diberlakukan pada 29 Desember 2007. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dalam sistem siaran berjaringan, stasiun relai yang selama ini hanya dijadikan sebagai stasiun transmisi, harus diubah menjadi stasiun lokal yang juga dapat memproduksi program sendiri. Namun demikian program stasiun induk masih dapat dinikmati di daerah tertentu melalui stasiun lokalnya. Porsi program dari stasiun induk tentu saja dibatasi, bagian porsi lainnya diberikan kepada stasiun lokal untuk memproduksi program-programnya sendiri. <span style=""></span>Program-program produksi stasiun lokal ini nantinya harus bersandar pada budaya dan karakter sosial masyarakat sekitar. Dengan demikian keutuhan akar budaya bangsa ini secara keseluruhan akan terjaga. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Lahirnya ketentuan ini didasari pada semangat untuk mewujudkan dunia penyiaran yang demokratis, memberikan kesempatan kepada publik untuk mendapatkan produk penyiaran yang beragam, sejalan dengan tata nilai, tradisi, serta kebudayaan setempat. Dunia penyiaran ke depan diarahkan untuk menjunjung keberagaman serta penghargaan terhadap kearifan lokal demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Selama ini televisi nasional swasta bersiaran secara terpusat. Produk-produk siaran dipancarkan dari stasiunnya yang berbasis di Jakarta. Sumber daya manusia dipenuhi oleh sebagian besar orang Jakarta. Maka wajar jika program-program yang ditayangkan pun lebih banyak menonjolkan citarasa Jakarta. Program bercitarasa Jakarta ini kemudian dinikmati oleh masyarakat di seluruh Tanah Air. Sistem penyiaran semacam inilah yang diyakini berpengaruh terhadap proses penyeragaman, bukan saja budaya tetapi juga pola pikir dan orientasi hidup masyarakat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Ke depan, kita akan menyaksikan betapa televisi akan benar-benar penuh warna. Itulah harapan yang diidamkan publik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="IN">Gairah Ekonomi Lokal <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Harapan lain atas diselenggarakannya sistem penyiaran berjaringan adalah bergeliatnya gairah ekonomi di tingkat lokal. Para pelaku usaha maupun investor di tingkat lokal mempunyai kesempatan untuk memasarkan produk-produknya melalui televisi. Sebetulnya dengan sistem siaran nasional yang selama ini dipraktikan, pelaku usaha di tingkat lokal juga bisa memasang iklan mereka di televisi. Namun hal ini tidak efektif. Produk-produk hasil usaha di tingkat daerah biasanya tidak terlalu massif, hanya untuk memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Tayangan iklan yang disiarkan secara nasional justru membidik pasar yang tidak jelas. Sementara, untuk memasang iklan di televisi nasional dibutuhkan ongkos yang mahal. Dengan maraknya televisi lokal, akan tersedia sarana pemasaran yang efektif. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Menggeliatnya perekonomian lokal akan menyerap banyak tenaga kerja. Kesempatan masyarakat lokal mendapatkan pekerjaan semakin terbuka lebar. Keberadaan televisi-televisi lokal juga secara langsung akan membuka kesempatan masyarakat lokal terserap ke dalam industri <i style="">broadcasting</i>. Perlu diingat bahwa stasiun televisi lokal harus memproduksi program-program bercitarasa lokal pula. SDM lokal mutlak dibutuhkan, karena SDM setempatlah yang tahu persis tentang budaya maupun karakter daerahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Jika industri broadcasting boleh disebut sebagai industri “inti”, maka industri-industri “plasma”-nya seperti rumah produksi, agensi iklan, agensi aktor/aktris, sekolah akting, sekolah musik, dsb juga akan berkembang di tingkat lokal. Masyarakat lokal tidak perlu tertarik oleh magnet urbanisasi. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Kontrol Publik <span style=""> </span></span></b><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Pemberlakuan sistem penyiaran televisi berjaringan ini juga dapat menjadi jawaban atas kritik masyarakat terhadap isi siaran televisi yang rendah kualitas dan tidak mendidik. Tayangan-tayangan sinetron menampilkan tema yang tidak jauh dari intrik perebutan harta, persaingan perebutan pasangan, maupun tema-tema lain yang tidak sesuai dengan logika dan akal sehat. Adegan caci maki dan saling hardik serta kata-kata sarkastik pun seakan berparade di layar kaca. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Begitu pula program hiburan lain seperti komedi. Acara lawakan kita dipenuhi dengan bahasa-bahasa verbal maupun gestur tubuh yang slapstik, cenderung melecehkan orang lain yang biasanya memiliki kekurangan secara fisik. Parahnya, program-program semacam ini diberikan porsi yang besar oleh stasiun televisi. Mengapa? Karena stasiun televisi berpatokan pada hasil riset lembaga rating komersial. Pengelola stasiun televisi seakan tidak peduli apakah program yang ditayangkan punya potensi negatif atau tidak, asalkan lembaga rating menetapkan bahwa <i style="">share audience</i>-nya tinggi, maka program tersebut tetap dipertahankan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Karena itu juga, kritik masyarakat diabaikan. Apalagi lokasi yang berjarak antara publik dengan basis stasiun televisi. Kontrol publik atas televisi tidak pernah efektif karena tidak pernah mendapatkan respons. Kritik masyarakat tak lebih layaknya teriakan lantang di hamparan padang pasir. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dengan sistem penyiaran berjaringan yang berbasis pada televisi lokal, kontrol publik atas isi siaran televisi akan dapat dilakukan dengan mudah. Publik dapat menyampaikan kritik maupun keberatan-keberatannya secara langsung ke stasiun pengelola, maupun ke KPID sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi isi siaran di tingkat lokal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun jika kritik-kritik tersebut juga tidak direspons, publik dapat melakukan kritik yang lebih cerdas, misalnya dengan melakukan rating publik. Rating publik dapat dilakukan dengan mengumpulkan para tokoh masyarakat yang berpengaruh dalam berbagai bidang. Kemudian para tokoh ini memberikan penilaian terhadap program-program yang ditayangkan. Hasilnya lalu dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Dengan demikian akan terbentuk penilaian publik atas program tertentu. Desakan publik tingkat lokal membuat pengelola televisi tidak dapat menghindar. Desakan ini yang menyebabkan pengelola televisi mudah berubah sikapnya. Lalu bagaimana dengan pemasang iklan? Pemasang iklan sebagai bagian dari publik lokal tentu saja akan mengikuti kehendak publik tersebut.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kontrol publik yang semakin efektif akan membuka harapan lebih besar, yakni adanya kedaulatan publik atas program-program televisi. Namun harapan-harapan ini hanya akan menjadi mimpi di siang bolong jika tidak ada itikad yang kuat baik dari KPI maupun Pemerintah. <o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-3945109768786116282007-10-23T21:57:00.000-07:002007-10-31T23:24:00.701-07:00Ancaman RUU RN bagi Kemerdekaan Pers<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) telah berhasil dirumuskan oleh Pemerintah, dan sekitar enam bulan lalu telah dikirimkan ke DPR. Kini, fraksi-fraksi di DPR sedang mempersiapkan draf sandingan yang dituangkan dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM). Jika ke-10 fraksi telah selesai menyusun DIM-nya,<span style=""> </span>maka tahap selanjutnya adalah pembahasan antara Pemerintah dan DPR.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Ada hal penting yang perlu diperhatikan sebelum agenda pembahasan tersebut dimulai, yakni adanya kemungkinan ancaman RUU RN terhadap kemerdekaan pers. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Kemerdekaan pers sendiri perlu diberikan perhatian khusus, karena dengannya publik menemukan makna demokrasi yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi diukur dari sejauhmana publik turut berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya penyelenggaraan negara. Perlu ditekankan bahwa partisipasi di dalam negara demokrasi bukan sekadar partisipasi pasif dalam bentuk pemberian suara saat pemilihan umum, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala-kepala daerah. Sebagai panduan dalam menyampaikan partisipasi, publik membutuhkan banyak informasi. Dan, pers mempunyai peran penting dan strategis dalam melayani kebutuhan informasi tersebut. Selain itu pers juga menyediakan ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya. Tepatlah kiranya jika pers mendapat julukan sebagai pilar keempat demokrasi selain legislatif, eksekutif dan yudikatif. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dalam konteks itulah maka kemerdekaan pers perlu dijaga baik-baik. Memperhatikan RUU RN versi pemerintah, terdapat materi yang secara langsung akan menghambat kinerja jurnalistik sehingga pada akhirnya akan mengancam kemerdekaan pers. Ancaman terhadap kemerdekaan pers berarti ancaman juga terhadap demokrasi yang sedang kita bangun bersama. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Lalu apa saja materi dalam RUU RN yang diperkirakan dapat mengancam kemerdekaan pers? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditelusuri dari soal ketidakjelasan definisi rahasia negara itu sendiri. Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud rahasia negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Definisi ini sangat sumir, tidak menjelaskan sama sekali informasi, benda atau aktivitas apa saja yang termasuk sebagai rahasia negara. Menurut definisi ini, sesuatu dapat dikatakan sebagai rahasia negara jika telah ditetapkan secara resmi. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa pihak yang dapat menetapkan sesuatu sehingga dapat dikatakan sebagai rahasia negara?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Selanjutnya dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Kerahasiaan Negara, pada bagian tentang Pedoman Rahasia Negara dinyatakan terdapat dua pedoman dalam menentukan rahasia negara, yaitu pedoman umum dan pedoman teknis. Pedoman umum adalah pedoman tentang rahasia negara di tingkat pusat, yang disusun oleh lembaga persandian negara bersama-sama dengan instansi terkait. Tidak dijelaskan samasekali siapa saja yang termasuk sebagai instansi terkait itu. Namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan instansi terkait adalah semua instansi di lingkungan pemerintah, termasuk lembaga penyelenggara negara lainnya. Dari pedoman umum tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk pedoman teknis, yang dibuat oleh masing-masing pimpinan instansi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Pedoman umum dan pedoman teknis di atas dimaksudkan untuk menjelaskan ruang lingkup rahasia negara yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: pertahanan dan keamanan negara, hubungan luar negeri, proses penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, persandian negara, intelijen negara dan pengamanan aset vital negara (Pasal 4). Tiap-tiap ruang lingkup yang masih luas tersebut akan dirumuskan oleh tiap-tiap instansi pemerintah. Jadi, secara eksplisit RUU ini memberikan amanat kepada tiap-tiap instansi pemerintah untuk menjadi penentu klaim rahasia negara.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dengan memperhatikan rangkaian ketentuan tersebut di atas, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa birokrasi kita masih belum rela dengan kultur keterbukaan yang krannya mulai dibuka semenjak reformasi digulirkan. Klausul ini jelas akan sangat dimaanfaatkan oleh birokrat untuk menutupi segala kecurangan maupun manipulasi yang mereka lakukan. “Rahasia negara” akan menjadi mantra sakti untuk menolak setiap permintaan informasi dari wartawan. Tidak tertutup kemungkinan nanti, semua informasi yang dikuasai oleh instansi pemerintah akan menjadi informasi yang tertutup bagi media. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Padahal jika dicermati secara mendalam, ruang lingkup rahasia negara tersebut di atas tidak semuanya bisa dikatakan rahasia. Hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara misalnya, ada poin yang perlu diketahui oleh publik. Satu contoh yang bisa disebut adalah besaran biaya yang digunakan untuk membeli senjata dan perlengkapan tentara lainnya. Perlu diingat bahwa biaya tersebut berasal dari uang rakyat melalui skema APBN. Dalam konteks negara demokrasi, setiap penggunaan uang rakyat harus diumumkan secara terbuka agar dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Ancaman tidak kalah mengerikan adalah pada materi yang mengatur tentang sanksi bagi pelanggar rahasia negara, yang dituangkan berturut-turut dalam pasal 35 hingga 37. Dalam ketiga pasal tersebut secara garis besar dinyatakan, bagi setiap orang yang menyebarluaskan informasi rahasia negara yang berklasifikasi rahasia dan sangat rahasia dikenakan tindakan pidana berupa penjara dari lima tahun hingga seumur hidup beserta denda dari Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sedangkan jika pelanggaran tersebut dilakukan pada masa perang bisa dikenakan sanksi hukuman mati. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Ketentuan sanksi serupa juga dikenakan bagi orang yang antara lain memotret dan merekam suatu benda dan aktivitas yang termasuk sebagai rahasia negara. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Subyek hukum yang terkandung dalam klausul tersebut adalah “orang”, dan tentu saja wartawan termasuk bagian dari subyek hukum tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa wartawanlah yang banyak mempunyai aktivitas penyebarluasan informasi, perekaman dan pemotretan. Sehingga jika RUU ini disahkan, yang akan sering terkena sanksi memberatkan tersebut adalah wartawan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Jika RUU RN versi Pemerintah ini dipertahankan dan diberlakukan, niscaya klaim rahasia negara dimanfaatkan untuk memidanakan wartawan yang kreatif menggali informasi. Kondisi ini pada akhirnya akan mematikan kreativitas wartawan dalam mengembangkan jurnalisme investigasi. Jika demikian maka kebutuhan publik akan informasi tidak akan terpenuhi, partisipasi akan terhenti, dan bukan tidak mungkin demokrasi akan mati.*<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dimuat Media Indonesia, 1 November 2007 <span style=""></span><o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-90343750032043861632007-10-22T23:17:00.001-07:002007-11-05T01:27:58.143-08:00Ketertutupan Informasi Proyek “Busway”<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Hari pertama masuk kerja setelah libur lebaran, warga <span class="yshortcuts">Jakarta</span> kembali diliputi kekesalan luar biasa karena kemacetan hebat seperti yang terjadi pada sepanjang Ramadan kemarin. Hal ini karena belum rampungnya pembangunan jalur <i>busway</i> baru, sebagai penambahan jalur-jalur yang sudah ada. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Penambahan tiga jalur <i>busway</i>, yakni koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni), koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) dan koridor 10 (Cililitan-Tanjung Priok) merupakan upaya yang patut dihargai. Proyek tersebut tidak lain sebagai tindak lanjutan Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan sistem transportasi massal yang manusiawi, lancar, aman dan nyaman. Suatu sistem yang juga diidamkan publik.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Jika dicermati, kondisi moda transportasi yang beroperasi di <span class="yshortcuts">Jakarta</span> memang bisa dibilang mengenaskan. Banyak biskota tidak dilengkapi dengan pendingin udara, tempat duduk alakadarnya, belum lagi kondisi mesin yang kurang prima yang seringkali menyebabkan keluaran asap dari knalpotnya hitam legam bercampur jelaga. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Perkiraan rasio antara jumlah penumpang dengan banyaknya armada juga tidak jelas. Pada suatu trayek tertentu jumlah armada terkadang jauh lebih sedikit dibanding penumpangnya. Tak ayal hal ini menyebabkan berjubelnya penumpang dalam satu biskota. Sementara pada trayek lain, dijumpai jumlah penumpang yang lebih besar ketimbang armadanya. Kondisi ini yang akhirnya memaksa sopir biskota memperlambat kendaraannya, bahkan berhenti di sembarang tempat guna mencari penumpang agar dapat memenuhi target setoran. Sudah pasti hal ini menyebabkan kemacetan. Gambaran yang sama juga terjadi pada moda transportasi seperti metromini, kopaja, mikrolet, dan angkutan kota lainnya. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"></span><b><span style="" lang="IN">Ketiadaan Informasi</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun sayangnya, tekad Pemerintah yang hendak “memanusiawikan” warga <span class="yshortcuts">Jakarta</span> dalam ber-transportasi tidak diiringi dengan penyebaran informasi yang memadai kepada publik. Bahkan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pun tidak mendapatkan informasi apa-apa tentang pelaksanaan proyek. (<i>Media Indonesia</i>, 8 Oktober 2007). Bagi Polda, tentu saja informasi soal titik-titik mana yang sedang maupun akan dikerjakan merupakan hal penting sebagai acuan untuk mengatur arus lalu lintas di lokasi tersebut. Bagaimana bisa, Polda sebagai <i>stakeholder</i> utama pelayanan publik dalam hal lalu lintas tidak diberi informasi tentang pembangunan infrastruktur lalu lintas itu sendiri? </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Bagi publik, informasi dimaksud penting sebagai panduan sebelum atau selama menempuh perjalanan. Lebih penting dari itu, sesungguhnya informasi tentang rencana proyek pembangunan <i>busway</i> secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai referensi untuk ikut menyampaikan pendapat agar proyek tersebut tidak dilakukan secara serentak, tetapi bertahap dari satu titik ke titik tertentu. Barangkali dengan pola pembangunan semacam itu akan mengurangi kemacetan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Mekanisme penyampaian gagasan tentu saja bisa melalui media massa atau langsung melalui <i>hotline</i> pengaduan pada instansi tertentu yang berwenang mengelola proyek ini. Meskipun pendapat publik belum tentu dijadikan sebagai acuan dalam membuat/mengubah kebijakan, tapi paling tidak komunikasi antara pemerintah dengan publik semacam itu penting untuk terus dibangun. Hal ini diperlukan untuk mengikis kultur ketertutupan yang masih saja kental di lingkungan birokrasi kita secara umum, bukan hanya birokrasi Pemerintah DKI. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kultur ketertutupan dalam birokrasi masih terus dipertahankan karena barangkali para birokrat masih memegang paradigma usang tentang tatakelola pemerintahan, yakni bahwa praktik pemerintahan harus dijalankan secara tertutup, penentuan kebijakan dilakukan secara sepihak, karena publik adalah entitas luaran yang tidak perlu dilibatkan. Pemerintah menganggap dirinya sebagai pihak yang paling benar. Kita telah merasakan betapa paradigma demikian telah membawa negeri ini pada jurang krisis yang paling dalam. Ketertutupan telah menyuburkan praktik korupsi, sementara penyusunan kebijakan tanpa pelibatan publik seringkali merugikan publik itu sendiri. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kini paradigmanya telah berubah. Paradigma baru tentang tatakelola pemerintahan adalah penerapan prinsip-prinsip transparansi, sehingga muncul partisipasi publik. Dengan demikian akuntabilitas praktik pemerintahan akan terwujud. Tiga pilar tadi - transparansi, partisipasi dan akuntabilitas- telah lama direkomendasikan oleh lembaga-lembaga internasional termasuk badan-badan di bawah naungan PBB. Tiga pilar ini seakan juga telah menjadi semacam konvensi yang digunakan secara universal dalam mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik (<i>good governance</i>). </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Tiga pilar tersebut adalah juga parameter utama dari kesejatian demokrasi. Sebagaimana diketahui, konsep dasar demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Ini artinya, rakyat juga memegang mandat untuk ikut menjalankan pemerintahan. Dengan demikian harus ada komunikasi yang simetris antara pemerintah dengan rakyat. Demokrasi bukan sekadar diwujudkan dalam bentuk pemungutan suara saat pemilu atau pemilihan kepala daerah saja. Jadi, demokrasi sudah bisa dikatakan ideal jika ada keterbukaan informasi dari pemerintah, munculnya partisipasi publik dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Begitu pentingnya demokrasi sehingga Amartya Sen dianugerahi penghargaan Nobel bidang ekonomi pada tahun 1998 berkat risetnya di beberapa negara <span class="yshortcuts">Asia</span> Selatan dan Sub Sahara, yang menyimpulkan bahwa demokrasi merupakan perangkat penting untuk mengatasi bencana kemiskinan dan kelaparan. Dalam penelitiannya Sen menemukan fakta, kemiskinan timbul bukan semata-mata karena kurangnya bahan makanan, tetapi karena sumber-sumber makanan telah dikuasai oleh penguasa yang otoriter dan tertutup. Kelaparan diakibatkan oleh ketiadaan demokrasi. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"></span><span class="yshortcuts"><span style="" lang="IN">Jakarta</span></span><span style="" lang="IN"> masih diakui sebagai barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, <span class="yshortcuts">Jakarta</span> juga masih menjadi cerminan dunia internasional dalam memandang <span class="yshortcuts">Indonesia</span>. Berdasar pada kenyataan itu semestinya <span class="yshortcuts">Jakarta</span> dapat memelopori pelaksanaan hakikat demokrasi, yang bukan saja telah menjadi tekad bangsa ini tetapi juga telah menjadi tuntutan masyarakat global. Penerapannya dapat dilakukan dengan mengambil momentum pengembangan dan pengelolaan tatakota, seperti proyek pembangunan <i>busway</i> ini. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"> </span><br /><b><span style="" lang="IN">Pelembagaan Keterbukaan Informasi</span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kultur ketertutupan dalam birokrasi pemerintahan DKI mudah-mudahan dapat benar-benar terkikis seiring dengan pernyataan Fauzi Bowo sesaat setelah dilantik menjadi gubernur. Fauzi menyatakan bahwa dirinya akan bertekad mewujudkan pemerintahan yang transparan. Pernyataan tersebut layak diapresiasi. Namun tekad untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan tidak cukup hanya melalui pernyataan pejabat publik, tetapi sudah saatnya dilembagakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Beruntung, kini di tingkat pemerintah pusat, sedang digodok Rancangan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Dalam rancangan tersebut diatur tentang kewajiban badan publik (instansi pemerintah) untuk menyediakan dan memberikan informasi kepada publik tentang kebijakan yang dibuat beserta dokumen pendukungnya. Pembahasan RUU tersebut sudah hampir selesai. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Jika UU KIP nanti diberlakukan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menyebarkan informasi tentang kebijakan yang diambil. Termasuk pemerintah DKI juga wajib menyebarkan informasi tentang kebijakan pembangunan <i>busway</i> atau proyek-proyek lainnya. UU ini akan bersifat menekan karena ada ketentuan sanksi bagi badan publik yang tidak menyediakan informasi. UU ini juga diharapkan dapat mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. ***<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:georgia;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">*Telah dimuat di Suara Pembaruan, 5 November 2007<br /></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-48116056638560574772007-10-22T23:13:00.001-07:002007-10-22T23:15:53.091-07:00Blunder BUMN dalam RUU KIP<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) yang disusun DPR, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) –termasuk juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)- dimasukkan dalam ranah Badan Publik. Dengan demikian, menurut RUU ini nantinya BUMN mempunyai kewajiban-kewajiban untuk mengelola, menyimpan dan melayani informasi publik. Informasi publik di sini adalah informasi yang berkaitan dengan kegiatan, kinerja, termasuk laporan keuangan, hingga kebijakan-kebijakan yang diambil beserta dokumen pendukungnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p>Namun di sisi lain, Pemerintah menolaknya. Pemerintah menginginkan BUMN dikeluarkan dari ranah Badan Publik. Alasan utama yang disampaikan adalah bahwa BUMN merupakan badan usaha yang menjalankan aktivitas bisnis. Jika informasinya terbuka kepada publik, dikawatirkan akan mengganggu kegiatan bisnisnya dan merugikan persaingan usaha tidak sehat (<i style="">competitiveness</i>). Selain itu, BUMN akan direpotkan dengan kegiatan pelayanan informasi sehingga akan mengganggu aktivitas usahanya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p>Dalam pandangan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi, apa yang diusulkan DPR sudah tepat. Mengingat, secara filosofis RUU ini adalah berdasar pada niat untuk mewujudkan hakikat <i style="">good governance</i> beberapa saat setelah Indonesia memasuki era reformasi. RUU KIP mulai dibahas pada tahun 2001. Dari dasar ini jelas bahwa demi mewujudkan kehendak tersebut maka lembaga atau institusi yang bertanggungjawab atau berkaitan langsung dengan penyelenggaraan negara harus terbuka. Dasar ini sebagai hasil evaluasi terhadap berjalannya Pemerintahan di masa lalu yang cenderung tertutup sehingga membuka peluang terjadinya praktik-praktik korupsi. Jika praktik-praktik korupsi diibaratkan sebagai aliran sungai, maka UU KIP hendak menghentikan praktik ini dari hulunya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p>Filosofis ini diperkuat dengan tujuan RUU KIP yang tercantum di dalam pasal 3, yang berbunyi:<span style=""> </span><i style="">U</i></span><i style=""><span style="" lang="IN">ndang-undang ini bertujuan untuk: (a) </span></i><i style=""><span style="" lang="SV">Menjamin terwujudnya akuntabilitas publik dalam proses pembuatan </span></i><i style=""><span style="" lang="IN">program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (b) </span></i><i style=""><span style="" lang="SV">mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c) <span style="">meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik; (d) </span>mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien; (e) <span style="">mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (g) </span></span></i><i style=""><span style="" lang="IN">meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.</span></i><span style="" lang="IN"> Jika dicermati, secara umum UU KIP bertujuan membentuk tatakelola pemerintahan yang bersih dan terbuka (<i style="">clean and open governance</i>) yang pada akhirnya akan mewujudkan pengelolaan negara yang baik (<i style="">good governance</i>) <span style=""> </span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p>Tidak dapat disangkal bahwa BUMN merupakan institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Fakta ini didasarkan pada UU No. </span><span style="" lang="IN">28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Bab II Pasal 2 ayat 7 UU ini yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara negara salah satunya meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal tersebut tersirat jelas bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi antara lain Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></b><span style="" lang="SV">Fakta yang tidak bisa diingkari juga adalah bahwa di dalam BUMN terdapat sumber keuangan negara yang berasal dari APBN. Dalam k</span><span style="" lang="IN">onsideran UU No. 19/2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN mempunyai kaitan erat dengan Keuangan Negara. Dari sini sesungguhnya BUMN telah benar-benar menyadari bahwa dirinya mengemban amanat untuk mengelola keuangan negara, yang dalam pelaksanaannya perlu ada kontrol publik agar tidak terjadi penyimpangan. Penggunaan keuangan negara jelas harus dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Sebenarnya kekawatiran Pemerintah tidak beralasan, karena dalam RUU KIP inipun mengatur soal informasi yang dikecualikan, yakni informasi yang tidak dapat diakses begitu saja oleh publik. Dalam salah satu klausul yang mengatur tentang pengecualian informasi, dinyatakan bahwa termasuk informasi yang dikecualikan adalah informasi yang berkaitan dengan </span><span style="" lang="IN">informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan perlindungan<span style=""> </span>dari persaingan usaha tidak sehat. Dari suratan klausul ini jelas terpatri tafsir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan persaingan bisnis dilindungi informasinya. Tentu saja, ini termasuk juga persaingan bisnis dalam BUMN. Klausul ini pastinya melindungi <i style="">competitiveness</i> BUMN dalam menjalankan bisnisnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Hingga saat ini tampaknya baik DPR maupun Pemerintah tetap bersikukuh pada pendiriannya masing-masing, sehingga pembahasan tentang hal ini masih <i style="">deadlock</i>. Dalam kondisi tersebut, isu ini perlu digulirkan ke publik. Sebab, bagaimanapun juga publik jugalah nantinya yang akan terimbas dari diberlakukannya UU ini. Guliran isu ini juga diharapkan dapat menjaring banyak masukan yang dapat dijadikan bahan dalam proses pembahasan. Dengan adanya bahan pertimbangan dari publik ini maka keputusan yang diambil nantinya dapat diterima akal sehat, bukan keputusan yang berdasar pada ego sektoral semata. <o:p><br /></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><span style="font-size: 12pt; font-family: georgia;" lang="IN">Blunder tentang BUMN seharusnya juga tidak perlu terjadi jika dari awal, Komisi I DPR –yang bertanggungjawab membahas RUU KIP- berkoordinasi dengan Komisi VI yang antara lain membidangi BUMN. Koordinasi ini boleh saja dilakukan karena bagaimanapun juga DPR adalah sebuah entitas tersendiri. Kepala Tim Inter-departemen Pemerintah RUU KIP Ahmad Ramli pernah mengatakan bahwa sikap Pemerintah yang ingin mengeluarkan BUMN dari badan publik adalah kesepakatan lintas departemen. Jika Pemerintah begitu kompak, mengapa hal ini tidak terjadi di DPR dengan membuat kesepakatan lintas Komisi, untuk tetap memasukkan BUMN sebagai badan publik?<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 12pt; font-family: georgia;" lang="IN">*Seperti dimuat Media Indonesia, 2 Oktober 2007<br /></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-70645865623391516692007-10-22T23:07:00.000-07:002007-10-22T23:13:12.099-07:00Perlu Kepastian dalam Pengembangan Batam<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dari dulu Pulau Batam diberlakukan secara khusus. Perlakuan ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara geografis Batam berada dalam posisi yang strategis. Batam berada dalam lintasan Selat Singapura, salah satu jalur penting perdagangan internasional. Batam juga berbatasan langsung dengan Singapura, sebuah negara niaga yang diperhitungkan dunia. Perlakuan ini nantinya mengarah pada perwujudan Batam sebagai kawasan <i style="">frontline</i>, yang diyakini dapat menyangga perekonomian nasional. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Perlakuan khusus yang dimaksud adalah pemberlakuan Batam sebagai kawasan berikat (<i style="">bonded zone</i>), dimana tidak ada pengenaan bea masuk dan pembebasan pajak bagi barang-barang ekspor yang masuk ke wilayah tersebut. Kebijakan ini tak urung berakibat pada semakin maraknya aktivitas investasi serta membanjirnya barang-barang berharga murah. Badan Otorita Batam lalu dibentuk sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam mengelola perizininan serta membangun sarana dan prasarana berkaitan dengan aktivitas investasi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Secara ekonomis, penerapan Batam sebagai kawasan berikat telah berhasil meningkatkan pendapatan secara signifikan. Dari data Investment Guiedelines Batam Indonesia yang dilansir tim peneliti The Habibie Center menunjukkan bahwa pemasukan devisa meningkat dari tahun ke tahun. Untuk memperlihatkan gambaran besarannya, bisa dilihat pemasukan selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 1992 devisa hasil aktivitas investasi di Batam mencatat nilai 564,5 juta dolar AS, tahun 1997 senilai 4.885,1 juta dolar AS, dan pada tahun 2002 mencapai 5.000 juta dolar AS. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Demikian juga dengan nilai ekspor nonmigas. Jika dibandingkan Provinsi Riau, penerimaan pendapatan dari hasil ekspor nonmigas jauh lebih besar. Lihat saja misalnya nilai ekspor nonmigas tahun 1993, Provinsi Riau hanya mencatat nilai 615 juta dolar AS sementara nilai ekspor Batam mencapai 930 juta dolar AS. Tahun 1997, Provinsi Riau memperoleh nilai 2.312 juta dolar AS, Batam mencapai hingga 4.800 juta dolar AS. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Problematika<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun demikian bukan berarti kebijakan tersebut tidak menimbulkan masalah. Paling tidak ada dua problem mendasar yang dihadapi. Pertama, pembebasan bea bagi barang masuk telah menimbulkan kekacauan tersendiri. Sebagaimana telah disinggung di depan, pembebasan bea bagi barang yang masuk ke kawasan tersebut hanyalah barang-barang yang dipersiapkan untuk diekspor. Nyatanya, dalam beberapa kasus banyak barang-barang non ekspor juga tidak dikenakan biaya, misalnya saja kendaraan bermotor. Banyak mobil dari luar yang masuk ke Batam dibebaskan dari biaya, padahal mobil-mobil tersebut digunakan untuk operasional perusahaan-perusahaan. Kondisi inilah yang seringkali memunculkan kritik bahwa pemberlakuan kawasan berikat Batam telah kebablasan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Problem ini berusaha diatasi dengan membuat kebijakan baru. Pada tahun 2003, Pemerintah Pusat mencabut putusan bebas pajak dan bea masuk bagi empat jenis produk: rokok, minuman beralkohol, kendaraan bermotor dan produk elektronik. Kebijakan ini juga diharapkan akan menghindarkan perasaan iri bagi daerah lain. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Problem kedua adalah ketidakjelasan pemasukan yang diterima dari hasil investasi sebagai pendapatan asli bagi daerah Batam sendiri. Terkadang problem inilah yang memunculkan perasaan tidak adil bagi masyarakat Batam. Problem ini berusaha diatasi dengan membuat perangkat hukum baru. Desakan pembentukan Batam sebagai kota yang mempunyai otonomi penuh -bukan kota administratif yang selama ini berjalan- direspons oleh Pemerintah Pusat dengan menerbitkan UU No. 53/1999. Semenjak diberlakukannya UU itu Batam memiliki Pemerintahan Kota yang kedudukannya setara dengan pemerintahan kabupaten/kota di daerah lain. Pemko Batam mempunyai kewenangan untuk mengelola urusan investasi dan industri. Pemko Batam mulai memberlakukan pungutan-pungutan, mulai dari parkir hingga pajak penerangan jalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Upaya-upaya mengatasi problem tersebut justru menimbulkan masalah baru, yakni sepinya Batam dari aktivitas investasi karena banyak investor yang hengkang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Ketidakpastian Hukum<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Di tengah kondisi seperti itu, Pemerintah Indonesia menandatangani kerjasama dengan Singapura untuk menjadikan Batam sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus/ <i style="">Special Economic Zones</i> (KEK/SEZ) selain Pulau Bintan dan Karimun, pada Juni 2006. Untuk melaksanakan perjanjian KEK maka dibentuklah Tim KEK Indonesia di bawah pimpinan Menteri Koordinasi bidang Perekonomian Boediono. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Menurut Sekretaris Tim KEK Bambang Susantono, KEK merupakan suatu kawasan yang diperlakukan khusus namun tetap dalam daerah kepabeanan. Di dalam KEK bisa saja ada kawasan berikat, kawasan industri, serta <i style="">free trade zone</i> (FTZ). Sedangkan FTZ merupakan kawasan di luar area kepabeanan yang tidak dikenakan bea masuk maupun pajak bagi barang-barang yang keluar masuk di sana. (Tabloid <i style="">Kontan</i>, Edisi No. 40 Juli 2007)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Saat ini Tim KEK tengah menyusun UU Kawasan Ekonomi Khusus sebagai amanat UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat terbatas memutuskan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas (<i style="">free trade zone</i>/FTZ). Ini artinya, Batam akan menjadi area yang berhubungan dengan ekspor dan dianggap terpisah dari daerah kepabeanan. Barang yang keluar masuk di wilayah itu tidak akan terkena pajak dan bea masuk. Persoalannya kemudian adalah UU Nomor 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas menyatakan bahwa penentuan suatu kawasan FTZ harus melalui Undang-undang. Untuk menyiasatinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2007. Namun nyatanya, Perpu itu sendiri tidak otomatis berlaku karena DPR menolak untuk menyetujuinya.<o:p></o:p></span></p> <span style="" lang="IN">Praktis, kini tidak ada payung hukum yang mengatur tentang pola investasi di Batam. Kondisi ini menyebabkan kegamangan di kalangan investor. <o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p><br /></o:p></span><b style=""><span style="" lang="IN">Perlu Kepastian Informasi <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Yang tidak kalah penting adalah soal kepastian informasi tentang kondisi-kondisi yang berkembang saat ini. Informasi tentang ketidakpastian hukum itu sendiri bagaimanapun juga perlu diinformasikan kepada publik, utamanya masyarakat Batam sendiri. Informasi diperlukan agar publik dapat melakukan berbagai persiapan berkaitan dengan penetapan Batam sebagai KEK ataupun FTZ. Dengan informasi yang memadai pula, publik bahkan bisa memberikan usulan materi sebagai bahan masukan dalam penyusunan RUU tentang KEK maupun FTZ. <span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Lalu siapakah pihak yang seharusnya proaktif menyebarkan dan melakukan <i style="">up date</i> terhadap informasi tersebut? Dalam hal ini kiranya Pemerintahan Kota Batam sendirilah yang mesti giat menyebarkan informasi tentang hal ini. Sebab bagaimanapun juga, Pemko Batamlah yang pada akhirnya akan menanggung berbagai risiko atas pemberlakuan Batam sebagai KEK/FTZ. Dengan aktif menyebarkan informasi, kepercayaan masyarakat Batam terhadap pemerintahannya akan meningkat, sehingga semangat otonomi daerah benar-benar muncul dalam bentuk yang sesungguhnya.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">*Dimuat di Suara Pembaruan, 18 September 2007 <o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-83801016332427016012007-10-22T23:03:00.000-07:002007-10-22T23:07:25.155-07:00Pengecualian Informasi dalam RUU KIP<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi -sekarang RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)- telah membuka harapan bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang dimiliki oleh badan-badan publik, yakni lembaga di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga negara lainnya. Jaminan akses informasi publik ini diyakini akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan beserta kontrolnya sehingga praktik-praktik pemerintahan yang manipulatif dan korup dapat diminimalisir bahkan dihindari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dalam RUU KIP secara komprehensif diatur tentang kewajiban badan publik untuk menyediakan informasi tentang segala aktivitasnya, termasuk di dalamnya seluruh kebijakan yang diambil, rencana dan prosedur kerja, serta perjanjian-perjanjian kerja dengan pihak lain. Badan publik wajib memberikan informasi-informasi tersebut jika ada masyarakat yang memintanya. Selain itu badan publik juga wajib mengumumkan secara berkala informasi tentang laporan hasil kinerja badan publik termasuk laporan keuangannya. Jaminan akses informasi publik semakin kukuh karena RUU KIP juga memberikan hak kepada warganegara untuk mengajukan tuntutan kepada Komisi Informasi, bahkan ke pengadilan jika ada badan publik yang menghalang-halangi permintaan informasi. Jika kemudian terbukti bahwa ada pelanggaran semacam itu, badan publik yang bersangkutan dikenakan sanksi denda sebesar 100 juta rupiah. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><b style=""><span style="" lang="IN">Pengecualian Informasi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dalam RUU itu juga diatur tentang pengecualian informasi. Dalam rumusan yang disusun oleh DPR, beberapa informasi yang dikecualikan -sehingga tidak bisa diakses oleh publik- adalah informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat menghambat proses penegakan hukum; dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional; dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional dan kepentingan hubungan luar negeri; dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; dan/atau dapat mengungkap kerahasiaan<span style=""> </span>pribadi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Masing-masing poin tersebut dijabarkan lagi sehingga menjadi jelas dan lengkap. Informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum misalnya, jabarannya adalah informasi-informasi yang akan menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, akan mengungkap identitas pelapor, saksi, korban dsb, dan informasi yang dapat membahayakan kehidupan penegak hukum beserta keluarganya. Intinya, substansi rumusan tentang pengecualian informasi dalam RUU yang diusulkan DPR sudah cukup komprehensif dan jelas sehingga tidak membuka peluang banyak tafsir di kemudian hari.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dasar yang dipakai DPR dalam merumuskan klausul tersebut mengacu pada prinsip yang sudah berlaku secara universal, yaitu prinsip konsekuensial <i style="">(consequential harm principal)</i>. Maksudnya adalah suatu informasi dikategorikan rahasia hanya jika di kemudian hari diperkirakan informasi tersebut akan menimbulkan konsekuensi membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Antara satu negara dengan negara lain yang telah memiliki undang-undang semacam KIP tentu saja mempunyai pertimbangan kepentingan yang berbeda. Namun pada umumnya kepentingan-kepentingan yang dilindungi adalah hal-hal yang berkaitan dengan apa yang sudah dirumuskan oleh DPR di atas. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><b style=""><span style="" lang="IN">Ketertutupan Informasi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Namun tampaknya harapan masyarakat untuk dapat mengakses informasi publik akan menemui kendala. Pasalnya, Pemerintah memasukkan banyak klausul baru tentang jenis-jenis informasi yang tidak boleh diakses. Klausul tambahan tersebut adalah memorandum atau surat-surat antar instansi atau intra instansi yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain instansi yang sedang melakukan hubungan dengan instansi tersebut; informasi yang terkait dengan rahasia jabatan berdasarkan peraturan internal badan publik; informasi yang sifatnya dirahasiakan berdasarkan peraturan internal badan publik sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya; informasi<span style=""> </span>yang<span style=""> </span>berkait dengan data lembaga keuangan; informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Jika diperhatikan, dalam klausul tambahan tersebut pada umumnya Pemerintah berkeinginan menjadikan peraturan internal badan publik bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu informasi termasuk kategori rahasia atau bukan. Parahnya lagi, Pemerintah juga berharap rahasia jabatan bisa dijadikan sebagai dasar legitimasi seorang pejabat publik untuk menutup informasi. Sudah dapat diduga, akibat yang timbul jika klausul ini lolos adalah seluruh badan publik secara massif akan membuat peraturan-peraturan internal untuk menyatakan bahwa informasi yang dimilikinya tidak bisa diakses oleh publik.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Merasa masih belum cukup, Pemerintah juga menambahkan satu ayat lagi dalam pasal ini yang berbunyi: kewajiban<span style=""> </span>badan<span style=""> </span>publik<span style=""> </span>membuka akses bagi setiap pengguna informasi publik untuk mendapatkan informasi publik dan kekecualiannya serta klasifikasi bentuk, macam dan pengelolaan informasi dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ayat ini adalah cek kosong bagi Pemerintah untuk menerbitkan PP yang akan mengatur suatu informasi dikategorikan rahasia atau terbuka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Paparan singkat ini ingin menunjukkan betapa Pemerintah masih belum punya itikad serius untuk menjalankan tata pemerintahan yang baik, sebagai salah satu amanat reformasi delapan tahun lalu. Kuasa publik atas penyelenggaraan negara sebagai perwujudan demokrasi yang hakiki pun ingin dihianati. Pemerintah justru sepertinya secara sistematis ingin mengembalikan paradigma keterbukaan menjadi ketertutupan. Dugaan ini tidaklah berlebihan jika dikaitkan dengan kehendak Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Meskipun revisi tersebut telah dibantah sendiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh, namun nyatanya UU Pers hasil revisi Pemerintah –yang penuh dengan nuansa kekangan terhadap pers- telah beradar luas ke publik. Nyatanya juga, Departemen Komunikasi dan Informatika pernah membuka kesempatan kepada publik untuk mengikuti lelang tentang kajian hukum dalam rangka revisi Undang-Undang Pers. Pengumuman lelang tertanggal 16 April 2007 tersebut salah satunya termuat dalam harian Suara Pembaruan edisi 20 April 2007. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Dugaan bahwa Pemerintah menghendaki ketertutupan diperkuat dengan disusunnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Dalam draft yang disusun oleh Departemen Pertahanan itu samasekali tidak memaparkan secara tegas apa yang dimaksud dengan rahasia negara. Semua instansi pemerintah, menurut RUU tersebut, dapat menentukan sendiri informasi yang termasuk sebagai rahasia negara. <span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Bagian tentang pasal pengecualian informasi RUU KIP, saat ini tengah dibahas oleh Panitia Kerja –gabungan dari separuh anggota Komisi I DPR dan Pemerintah yang diwakili antara lain oleh unsur-unsur dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pertahanan, dan Badan Intelijen Negara. RUU Rahasia Negara telah lama dikirimkan ke DPR, dan saat ini tiap-tiap fraksi telah membuat daftar inventarisasi masalah (DIM). Artinya, dalam waktu dekat RUU Rahasia Negara kemungkinan akan segera dibahas. Dalam proses-proses legislasi tersebut perlu pemantauan dan tekanan publik agar era ketertutupan tak terulang kembali.***<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">*Seperti dimuat di Harian Suara Pembaruan, 26 Juli 2007 <o:p></o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-48158566384397444042007-10-22T22:50:00.000-07:002007-10-22T22:54:16.861-07:00Bencana dan Kebutuhan Informasi<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Bencana datang beruntun menimpa negeri ini. Belum selesai program rehabilitasi akibat tsunami di Aceh dan Nias, datang lagi tsunami di Pantai Pangandaran. Gempa juga memorakporandakan sebagian Jogja dan Jateng. Tahun ini, gempa dahsyat kembali terjadi di belahan Sumatera Barat. Banjir ikut menenggelamkan bagian besar wilayah di Jakarta. Itu hanya bagian kecil yang bisa disebutkan, dan itu baru bencana yang disebabkan oleh fenomena alam. <o:p></o:p><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Belum lagi bencana-bencana lain yang diakibatkan ketidakcermatan manusia dalam memanfaatkan teknologi. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah semburan lumpur gas di Sidoarjo, raibnya pesawat Adam Air, tenggelamnya kapal Senopati, serta terbakarnya kapal Levina dan pesawat Garuda. Apapun penyebabnya, bencana selalu menelan banyak korban.<o:p></o:p><br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Seluruh fenomena yang tidak kita harapkan itu dapat tampil dengan mudah begitu saja di hadapan kita. Itu semua karena peranan media massa: cetak, audiovisual maupun internet. Seluruh informasi yang disampaikan media bisa menjelaskan kronologi kejadian, kerusakan <span style=""> </span>yang ditimbulkan, hingga jumlah korban luka-luka maupun meninggal. Informasi tersebut menjadi berguna, utamanya bagi mereka yang ingin mengetahui kondisi sanak famili yang kebetulan tertimpa. Berarti juga bagi semua orang yang sekadar ingin tahu sampai mereka yang hendak menyampaikan simpati. Hingga kemudian kita dapat merasakan efek ‘dahsyat’ pemberitaan bencana yakni lahirnya rasa solidaritas. Kita masih ingat betapa banyak bantuan yang mengalir saat media mulai banyak memberitakan tsunami Aceh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Mengingat begitu pentingnya peran media, maka kredibilitasnya mesti terjaga. Kuncinya adalah media harus dapat menjamin bahwa informasi yang disampaikan itu berasal dari data yang akurat. Di sinilah kemudian kebutuhan akan informasi bagi wartawan menjadi penting. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b style=""><i style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b style=""><i style=""><span style="" lang="IN"><br />Fact is Sacre, Comment is Real<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Keyakinan yang dimiliki oleh media selama ini adalah bahwa fakta itu sakral dan komentar itu nyata. Artinya, fakta-fakta yang ditampilkan tidak boleh diubah seenaknya sendiri karena dia sakral. Demikian juga komentar yang disajikan tidak boleh direkayasa karena dia nyata. Fakta bisa diperoleh langsung oleh wartawan melalui observasi. Sementara komentar merupakan pendukung dari fakta yang disaksikan oleh wartawan, atau jika wartawan luput melihat fakta bisa diwakili oleh komentar para saksi dan para pihak yang berkompeten dan berwenang. Itu semua bisa menjadi berita asalkan komentar-komentar itu ditampilkan apa adanya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Pada kasus pemberitaan penemuan pesawat Adam Air di pedalaman Sulawesi Barat lengkap dengan data korban, sepenuhnya bukan kesalahan media. Sebab, media mengutip komentar Hatta Radjasa yang memang posisinya Menteri Perhubungan. Dalam jabatannya itu Hatta punya wewenang untuk berkomentar. Bahwa kemudian ternyata berita itu salah adalah karena Menteri Perhubungan tidak melakukan pengecekan secara akurat sebelum menyatakan komentarnya. Beritanya kemudian menjadi simpang siur hingga para keluarga korban merasa dipermainkan oleh Pemerintah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Kebutuhan informasi yang begitu mendesak membuat wartawan mengambil langkah cepat dengan mewawancari narasumber. Namun demikian, di lain sisi wartawan juga mesti aktif menggali informasi bukan sekadar mengutip pernyataan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><b style=""><span style="" lang="IN"><br />Informasi Publik<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Di luar informasi melalui media, sebenarnya ada kebutuhan akan informasi yang lebih penting, yakni informasi publik. Informasi publik merupakan informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan-badan publik atau lembaga pemerintah yang menyangkut kepentingan warganegara. Dalam konteks bencana, tanpa melalui media pun sebenarnya masyarakat bisa langsung mendapatkan informasi dari instansi yang berwenang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Informasi bencana penting bukan saja sekadar untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat soal bencana itu sendiri, tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan potensi-potensi bencana yang mungkin bakal terjadi. Dengan ini diharapkan publik dapat melakukan antisipasi sehingga dapat meminimalkan jumlah korban.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Dalam kasus bencana alam, Pemerintah harus memberikan informasi tentang kondisi struktur tanah di suatu daerah yang berpotensi gempa, prakiraan cuaca, antisipasi yang mesti dilakukan hingga informasi tentang upaya mengatasi dampak yang ditimbulkan. Informasi-informasi tersebut harus disebarkan tanpa adanya permintaan dari masyarakat, atau media massa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Demikian juga dengan bencana-bencana teknis, instansi pemerintah yang berkaitan harus menyampaikan kepada masyarakat tentang kondisi teknologi. Pada kasus kegagalan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Pemerintah hendaknya menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi-kondisi teknis yang dimiliki oleh Lapindo, dengan demikian masyarakat tahu sejauhmana kelayakannya. Selain itu Pemerintah hendaknya menyampaikan informasi soal hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebelum proses eksplorasi. Jika masyarakat tahu bahwa teknologi yang digunakan ternyata tidak layak dan hasil Amdal ternyata tidak memenuhi persyaratan maka mereka dapat mencegah proses pengeboran sehingga tragedi “kuala lumpur” dapat dihindarkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Saat semuanya sudah terlanjur seperti sekarang ini, masyarakat tidak dapat melakukan apa-apa selain menuntut ganti rugi, dan itupun banyak kendala di lapangan. Proses penanggulangan semestinya juga dilakukan secara transparan. Tim Nasional Penanggulangan bentukan Pemerintah mesti membuka seluas-luasnya informasi tentang proses dan kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya. Nyatanya, masyarakat kini tidak tahu kapan lumpur itu akan berhenti menyembur. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Demikian juga dalam hal pengelolaan informasi soal teknologi transportasi. Pemerintah mestinya membuka informasi seluas-luasnya tentang kondisi alat-alat transportasi yang dioperasikan. Dengan informasi itu masyarakat dapat menentukan pilihan. Dalam kondisi ketertutupan seperti sekarang ini masyarakat tidak tahu apakah alat transportasi yang digunakan berpotensi celaka atau tidak. Masyarakat tidak tahu bahwa alat transportasi tersebut sejatinya adalah “peti mati” bagi jenazah mereka sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Setelah kecelakaan terjadi pihak yang berwenang pun tidak mampu menjawab apa penyebabnya. Dalam banyak kasus kecelakaan transportasi, jawaban Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hampir tidak memuaskan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Begitu pentingnya informasi tentang bencana bagi kehidupan masyarakat, maka desakan terhadap badan publik untuk menyampaikan informasi mesti dilakukan. Sampai pada titik ini keberadaan Undang Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) menjadi penting. Dalam draft RUU-nya, yang kini tengah dibahas DPR, salah satunya mengatur tentang kewajiban badan-badan publik untuk menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik diminta atau tidak. UU KMIP juga mengharuskan badan publik untuk menyampaikan informasi secara akurat, sebab jika tidak pejabat badan publik yang bersangkutan akan dikenai sanksi.<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />Jika UU KMIP berlaku, maka tidak ada alasan bagi badan publik untuk mengelak tidak menyampaikan informasi tentang bencana, juga tidak ada kesimpangsiuran berita seperti pada kasus Adam Air. Dengan demikian kerugian yang diakibatkan tidak terlalu besar, bahkan bisa saja bencana itu sendiri dapat dicegah ***<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><br />*Seperti dimuat Harian Jurnal Nasional, 27 Maret 2007<br /></span></p> <div style="text-align: justify;"> </div>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6730960159117808554.post-4514987594388410112007-10-22T22:39:00.000-07:002007-10-22T22:47:19.720-07:00Aceh dalam Belitan Dilema Bantuan<p class="MsoNormal"><b style=""><i style=""><span style="" lang="IN">Sebuah Refleksi<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Gempa dan tsunami yang melanda Aceh begitu dahsyat sehingga menghancurkan hampir setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Bantuan dari berbagai penjuru dunia berdatangan dan dirasa sangat membantu mengembalikan mereka dari keterpurukan. Namun di sisi lain, setelah 2 tahun lebih berjalan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, bantuan tersebut menimbulkan dilema tersendiri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Paling tidak ada beberapa masalah berdasarkan pengamatan yang saya lakukan. <i style="">Pertama</i>, bantuan dari pemerintah melalui BRR, NGO lokal/asing, lembaga PBB maupun lembaga donor lainnya telah menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat korban. Kecemburuan sosial ini muncul terutama dalam soal bantuan perumahan. Rumah yang dibangun di suatu desa/kampung ternyata tidak seragam, karena lembaga donornya pun berbeda-beda. Perlu diketahui bahwa tiap-tiap lembaga donor mempunyai kebijakan dan dana yang beragam pula. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Rasa cemburu yang begitu besar dimiliki terutama oleh masyarakat yang menerima bantuan saat awal-awal rekonstruksi. Pada saat itu memang masyarakat korban sangat membutuhkan rumah, ketimbang berlama-lama tinggal di barak maupun tempat pengungsian lainnya. Oleh karena itu, mereka sangat senang ketika ada lembaga donor yang akan memberikan bantuan rumah. Namun bantuan saat itu terbatas. Artinya, lembaga donor tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah seluruh kepala keluarga. Paling-paling lembaga donor hanya membangun separuh, bahkan sepertiga dari jumlah kepala keluarga yang ada. Rumah yang disediakan pun amat sederhana, ada yang hanya terbuat dari kayu dan semipermanen dengan material alakadarnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Seiring berjalannya waktu, masuk lembaga donor lain ke desa tersebut untuk melengkapi sisanya. Biasanya, lembaga donor yang masuk belakangan mempunyai dana yang lebih besar sehingga rumah yang dibangun pun lebih bagus dari rumah yang didirikan oleh lembaga donor sebelumnya. Demikian seterusnya... Rasa cemburu yang terus berlarut tentu akan mengganggu kehidupan mereka sendiri dalam bermasyarakat di komunitasnya! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><i style=""><span style="" lang="IN">Kedua</span></i><span style="" lang="IN">, muncul fenomena “korupsi berjamaah” di tingkat masyarakat dalam bentuk rekayasa data. Seperti diakui sendiri oleh seorang warga di Meuraxa, Banda Aceh, dia sebagai lajang mendapat bantuan rumah dari BRR, demikian juga dengan seorang adiknya yang masih lajang pula. Sementara, orangtuanya telah mendapatkan rumah terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena mereka yang masih lajang melakukan rekayasa Kartu Keluarga dengan mengubah statusnya menjadi Kepala Keluarga. Warga tadi menyadari bahwa rekayasa yang dilakukannya salah, tetapi hal itu menurutnya sudah lumrah di Banda Aceh. Parahnya, perilaku manipulatif ini telah menyebar ke tempat-tempat lain. Semestinya jika bicara soal skala prioritas, bantuan rumah hendaknya diberikan hanya kepada kepala keluarga, bukan mereka yang masih lajang yang sebelum tsunami tinggal bersama orang tua mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Rekayasa juga dilakukan oleh warga luar desa. Mereka bisa memperoleh bantuan rumah hanya karena mereka memiliki tanah di desa tersebut. Dengan merekayasa Kartu Keluarga mereka mendapatkan rumah di atas tanah milik mereka itu.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Pertanyaannya kemudian, mengapa rekayasa data itu dengan mudah bisa dilakukan? Banyak pihak menyatakan, itu terjadi karena perekayasa tadi dekat dengan kekuasaan, dalam hal ini adalah Kepala Desa (Keuchik). Kedekatan dalam arti masih ada hubungan kekerabatan, kedekatan juga dibangung dengan cara melakukan suap. Meskipun kebenaran pernyataan ini perlu dicek lagi, tapi nyata bahwa yang punya wewenang mengurusi administrasi warga –termasuk Kartu Keluarga- adalah Keuchik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Akhirnya rekayasa itu kembali memunculkan rasa cemburu bagi warga korban yang belum mendapatkan bantuan rumah hanya karena mereka tidak punya akses leluasa kepada Keuchik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><i style=""><span style="" lang="IN">Ketiga</span></i><span style="" lang="IN">, persoalan lain yang muncul akibat banyaknya bantuan adalah terbentuknya sikap mental masyarakat menjadi mudah “menengadahkan tangan”. Ini bisa dirasakan ketika ada orang luar yang masuk ke suatu desa, warga menganggap mereka akan memberi bantuan. Ini saya alami sendiri ketika saya bersama beberapa teman memasuki beberapa desa di Banda Aceh, Pidie dan Bireuen. Jelas-jelas, ini telah mengubah sifat asli masyarakat Aceh yang pada dasarnya suka berderma, seperti dinyatakan oleh Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh saat wawancara dengan saya. Sifat ini dapat kita lihat secara nyata saat awal-awal kemerdekaan, dimana masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang kemudian kita kenal sebagai cikal bakal penerbangan niaga kita. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><b style=""><span style="" lang="IN">Solusi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Jika persoalan-persoalan tersebut tidak segera diatasi, masyarakat Aceh yang baru saja mentas dari bencana besar dan konflik berkepanjangan akan kembali terjerembab dalam kubangan masalah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebelum kubangan itu menjadi lebih dalam. <i style="">Pertama</i>, BRR sebagai pemegang mandat Pemerintah Pusat mesti tegas dalam mengkoordinir lembaga-lembaga donor yang beroperasi di Aceh. BRR semestinya memberikan acuan yang jelas dan tegas soal standar rumah yang dibangun. Memang, sikap tegas ini pasti akan ditentang oleh lembaga-lembaga donor itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga, mereka punya keinginan untuk mempertahankan reputasi dengan memberikan bantuan rumah yang bagus. Dengan demikian standar BRR tentu akan dianggap mengganggu reputasi, yang otomatis juga akan mengganggu eksistensi mereka sendiri. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Rebutan eksistensi lembaga-lembaga donor sudah menjadi rahasia umum di Aceh. Lembaga-lembaga donor bersaing satu sama lain untuk memberikan bantuan sebagus-bagusnya, sementara efek-efek negatif seperti kecemburuan sosial tadi tidak mereka perhatikan. Padahal jika mereka serius membantu seharusnya bukan dalam bentuk fisik semata, tetapi persoalan-persoalan sosial yang muncul mesti diperhatikan pula. BRR diuji untuk menertibkan eksistensi-eksistensi yang tidak perlu itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><i style=""><span style="" lang="IN">Kedua, </span></i><span style="" lang="IN">BRR harus kembali merekonstruksi rumah-rumah yang dibangun saat awal-awal rekonstruksi sesuai dengan standar yang ditetapkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Ketiga</span></i><span style="" lang="IN">, Pemerintah Aceh harus berani memberikan sanksi bagi aparat desa yang terbukti melakukan rekayasa dan manipulasi data. Demikian juga saat akan memberikan bantuan, BRR harus benar-benar ketat dalam verifikasinya sehingga tidak salah sasaran. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span><i style=""><span style="" lang="IN">Keempat</span></i><span style="" lang="IN">, yang paling penting adalah Pemerintah Aceh harus tegas memberikan batas waktu bagi lembaga-lembaga donor untuk tidak lagi beroperasi. Pemerintah Aceh sudah harus yakin dengan kemampuannya sendiri untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Jika tidak maka masyarakat Aceh akan terus menggantungkan harapan mereka pada pihak-pihak lain, bukan pada pundak mereka sendiri.***<br /></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">*Berdasarkan riset untuk pembuatan film dokumenter "Bulan Setengah di Atas Aceh" kerjasama Yayasan SET dengan Transparansi Internasional-Indonesia, Februari 2007.<br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p>Bejo Untung -http://www.blogger.com/profile/07185927028767808903noreply@blogger.com0