Kamis, November 29, 2007

Wajah Baru Televisi Kita

Akhir Desember ini merupakan batas akhir bagi stasiun televisi swasta melakukan siaran secara nasional melalui sistem relainya. Agar terus dapat bersiaran secara nasional mereka harus mendirikan stasiun televisi lokal, atau berjaringan dengan televisi lokal yang sudah ada. Ketentuan ini merupakan amanat UU No. 32/2002 atau UU Penyiaran.

Secara eksplisit ketentuan tersebut dinyatakan dalam pasal 6 ayat 3: ”Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal”. Mengacu pada ketentuan ini, ke depan tidak lagi dikenal istilah televisi swasta nasional, yang ada adalah stasiun televisi lokal atau stasiun televisi induk yang berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Stasiun televisi nasional yang ada saat ini, menurut pasal 60 UU Penyiaran harus menyesuaikan diri selama lima tahun. Karena UU ini diberlakukan pada 28 Desember 2002 maka sistem penyiaran berjaringan efektif sudah harus diberlakukan pada 29 Desember 2007.

Dalam sistem siaran berjaringan, stasiun relai yang selama ini hanya dijadikan sebagai stasiun transmisi, harus diubah menjadi stasiun lokal yang juga dapat memproduksi program sendiri. Namun demikian program stasiun induk masih dapat dinikmati di daerah tertentu melalui stasiun lokalnya. Porsi program dari stasiun induk tentu saja dibatasi, bagian porsi lainnya diberikan kepada stasiun lokal untuk memproduksi program-programnya sendiri. Program-program produksi stasiun lokal ini nantinya harus bersandar pada budaya dan karakter sosial masyarakat sekitar. Dengan demikian keutuhan akar budaya bangsa ini secara keseluruhan akan terjaga.

Lahirnya ketentuan ini didasari pada semangat untuk mewujudkan dunia penyiaran yang demokratis, memberikan kesempatan kepada publik untuk mendapatkan produk penyiaran yang beragam, sejalan dengan tata nilai, tradisi, serta kebudayaan setempat. Dunia penyiaran ke depan diarahkan untuk menjunjung keberagaman serta penghargaan terhadap kearifan lokal demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selama ini televisi nasional swasta bersiaran secara terpusat. Produk-produk siaran dipancarkan dari stasiunnya yang berbasis di Jakarta. Sumber daya manusia dipenuhi oleh sebagian besar orang Jakarta. Maka wajar jika program-program yang ditayangkan pun lebih banyak menonjolkan citarasa Jakarta. Program bercitarasa Jakarta ini kemudian dinikmati oleh masyarakat di seluruh Tanah Air. Sistem penyiaran semacam inilah yang diyakini berpengaruh terhadap proses penyeragaman, bukan saja budaya tetapi juga pola pikir dan orientasi hidup masyarakat.

Ke depan, kita akan menyaksikan betapa televisi akan benar-benar penuh warna. Itulah harapan yang diidamkan publik.

Gairah Ekonomi Lokal

Harapan lain atas diselenggarakannya sistem penyiaran berjaringan adalah bergeliatnya gairah ekonomi di tingkat lokal. Para pelaku usaha maupun investor di tingkat lokal mempunyai kesempatan untuk memasarkan produk-produknya melalui televisi. Sebetulnya dengan sistem siaran nasional yang selama ini dipraktikan, pelaku usaha di tingkat lokal juga bisa memasang iklan mereka di televisi. Namun hal ini tidak efektif. Produk-produk hasil usaha di tingkat daerah biasanya tidak terlalu massif, hanya untuk memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Tayangan iklan yang disiarkan secara nasional justru membidik pasar yang tidak jelas. Sementara, untuk memasang iklan di televisi nasional dibutuhkan ongkos yang mahal. Dengan maraknya televisi lokal, akan tersedia sarana pemasaran yang efektif.

Menggeliatnya perekonomian lokal akan menyerap banyak tenaga kerja. Kesempatan masyarakat lokal mendapatkan pekerjaan semakin terbuka lebar. Keberadaan televisi-televisi lokal juga secara langsung akan membuka kesempatan masyarakat lokal terserap ke dalam industri broadcasting. Perlu diingat bahwa stasiun televisi lokal harus memproduksi program-program bercitarasa lokal pula. SDM lokal mutlak dibutuhkan, karena SDM setempatlah yang tahu persis tentang budaya maupun karakter daerahnya.

Jika industri broadcasting boleh disebut sebagai industri “inti”, maka industri-industri “plasma”-nya seperti rumah produksi, agensi iklan, agensi aktor/aktris, sekolah akting, sekolah musik, dsb juga akan berkembang di tingkat lokal. Masyarakat lokal tidak perlu tertarik oleh magnet urbanisasi.

Kontrol Publik

Pemberlakuan sistem penyiaran televisi berjaringan ini juga dapat menjadi jawaban atas kritik masyarakat terhadap isi siaran televisi yang rendah kualitas dan tidak mendidik. Tayangan-tayangan sinetron menampilkan tema yang tidak jauh dari intrik perebutan harta, persaingan perebutan pasangan, maupun tema-tema lain yang tidak sesuai dengan logika dan akal sehat. Adegan caci maki dan saling hardik serta kata-kata sarkastik pun seakan berparade di layar kaca.

Begitu pula program hiburan lain seperti komedi. Acara lawakan kita dipenuhi dengan bahasa-bahasa verbal maupun gestur tubuh yang slapstik, cenderung melecehkan orang lain yang biasanya memiliki kekurangan secara fisik. Parahnya, program-program semacam ini diberikan porsi yang besar oleh stasiun televisi. Mengapa? Karena stasiun televisi berpatokan pada hasil riset lembaga rating komersial. Pengelola stasiun televisi seakan tidak peduli apakah program yang ditayangkan punya potensi negatif atau tidak, asalkan lembaga rating menetapkan bahwa share audience-nya tinggi, maka program tersebut tetap dipertahankan.

Karena itu juga, kritik masyarakat diabaikan. Apalagi lokasi yang berjarak antara publik dengan basis stasiun televisi. Kontrol publik atas televisi tidak pernah efektif karena tidak pernah mendapatkan respons. Kritik masyarakat tak lebih layaknya teriakan lantang di hamparan padang pasir.

Dengan sistem penyiaran berjaringan yang berbasis pada televisi lokal, kontrol publik atas isi siaran televisi akan dapat dilakukan dengan mudah. Publik dapat menyampaikan kritik maupun keberatan-keberatannya secara langsung ke stasiun pengelola, maupun ke KPID sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi isi siaran di tingkat lokal.

Namun jika kritik-kritik tersebut juga tidak direspons, publik dapat melakukan kritik yang lebih cerdas, misalnya dengan melakukan rating publik. Rating publik dapat dilakukan dengan mengumpulkan para tokoh masyarakat yang berpengaruh dalam berbagai bidang. Kemudian para tokoh ini memberikan penilaian terhadap program-program yang ditayangkan. Hasilnya lalu dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Dengan demikian akan terbentuk penilaian publik atas program tertentu. Desakan publik tingkat lokal membuat pengelola televisi tidak dapat menghindar. Desakan ini yang menyebabkan pengelola televisi mudah berubah sikapnya. Lalu bagaimana dengan pemasang iklan? Pemasang iklan sebagai bagian dari publik lokal tentu saja akan mengikuti kehendak publik tersebut.

Kontrol publik yang semakin efektif akan membuka harapan lebih besar, yakni adanya kedaulatan publik atas program-program televisi. Namun harapan-harapan ini hanya akan menjadi mimpi di siang bolong jika tidak ada itikad yang kuat baik dari KPI maupun Pemerintah.