Selasa, November 04, 2008

Mungkinkah Komisi Informasi Independen?

UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memandatkan dibentuknya Komisi Informasi (KI). KI merupakan sebuah lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa informasi dan menyusun petunjuk teknis tentang pelaksanaan UU ini.

Sengketa informasi adalah persengketaan yang terjadi antara peminta informasi dengan badan publik. Sengketa ini dapat terjadi apabila permintaan informasi ditolak oleh badan publik, atau informasi yang diberikan oleh badan publik tidak sesuai dengan yang diminta.

Lalu petunjuk teknis dimaksud adalah semua peraturan yang mendukung pelaksanaan UU KIP, mulai dari mekanisme permintaan informasi, tatacara penyampaian informasi, hingga peraturan tentang standar pelayanan informasi yang harus dipenuhi oleh badan publik. Tanpa adanya regulasi KI, sulit UU KIP dapat diimplementasikan. Dengan demikian KI mempunyai peran dan posisi yang sangat penting.

UU KIP sendiri merupakan sebuah perangkat hukum yang memberikan jaminan kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik dari badan-badan publik. Informasi publik secara singkat dapat dijabarkan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu badan publik. Kemudian yang dimaksud badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga-lembaga negara lainnya dari pusat hingga daerah, termasuk juga organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau sumbangan luar negeri. Dengan demikian masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun anggaran badan-badan publik berkaitan dengan penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya.

Pengaturan tentang KI

Begitu strategisnya posisi KI, sehingga secara normatif KI dinyatakan sebagai lembaga yang mandiri (Pasal 23). Tetapi jika dilihat lebih lanjut ternyata terdapat ketentuan yang jika dicermati justru akan berpotensi mengebiri kemandirian itu sendiri. Lihat saja misalnya ketentuan yang tercantum dalam pasal 25. Di sana dinyatakan bahwa di antara anggota KI -baik pusat maupun daerah- harus menyertakan unsur Pemerintah. Hal ini akan menimbulkan bias kepentingan Pemerintah dalam setiap peraturan yang dibuat oleh KI. Segala peraturan tentang implementasi UU KIP bisa jadi akan selalu diselaraskan dengan kehendak Pemerintah.

Objektivitas KI dalam memutuskan persengketaan informasi juga bisa terganggu. Akibatnya, putusan yang dihasilkan oleh KI bisa saja hanya akan menguntungkan badan-badan publik Pemerintah. Kesempatan masyarakat untuk memenangkan persengketaan informasi dikawatirkan menjadi kecil.

Dalam konteks ini mungkin kita dapat belajar dari apa yang terjadi di India. Tahun 2005 India mengesahkan dan memberlakukan Right To Information Act (RTIA/ semacam UU KIP). Tetapi setelah tiga tahun pemberlakuannya, UU tersebut tidak memberikan manfaat secara optimal kepada masyarakat dalam mendapatkan hak atas informasinya. Ini disebabkan karena yang ditunjuk menjadi anggota KI kebanyakan adalah mantan birokrat. Dengan demikian, banyak peraturan yang dibuat maupun keputusan yang diambil menggambarkan kepentingan birokrasi. Padahal secara filosofis, RTIA dibuat salah satunya untuk mengubah budaya birokrasi di India yang semula cenderung tertutup menjadi lebih terbuka.

Ketentuan selanjutnya yang menggambarkan ketidakmandirian KI dapat dilihat pada bagian yang mengatur tentang sekretariat dan tatakelola (Pasal 29). Sekretariat KI dilaksanakan oleh Pemerintah, dimana pimpinan sekretariat ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika -untuk KI Pusat. Untuk KI Provinsi dan Kabupaten/Kota, pimpinan sekretariat ditetapkan oleh pejabat yang wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika.

De Facto

Uraian di atas adalah gambaran kondisi KI secara de jure. Untuk mewujudkan KI yang independen secara de facto, jelas diperlukan upaya-upaya tertentu dari berbagai komponen masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan misalnya adalah mendorong panitia seleksi (Pansel) -yang bertugas merekrut calon anggota KI- untuk lebih terbuka. Pansel harus mengumumkan secara massif kepada masyarakat tentang tahapan proses rekrutmen, mulai dari pengumuman pendaftaran calon, penilaian, hingga pengumuman hasil penilaian serta nama dan latar belakang calon yang lolos seleksi. Keterbukaan ini perlu agar masyarakat dapat berperan mengontrol jalannya proses tersebut. Lebih dari itu, keterbukaan diperlukan agar masyarakat juga dapat memberikan input kepada Pansel, untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam proses penilaian.

Input masyarakat dalam proses rekrutmen di tingkat Pansel sangat diperlukan, mengingat Pansel ini tidak lain adalah tim bentukan Pemerintah. Proses rekrutmen yang terbuka dan menyertakan peran masyarakat akan menepis kecurigaan bahwa Pansel banyak meloloskan calon-calon dari unsur Pemerintah.

Bukan hanya di tingkat Pansel, masyarakat hendaknya juga mendorong DPR untuk mengedepankan keterbukaan dan objektivitas. Sebagaimana diatur di dalam UU KIP, calon anggota KI yang lolos di tingkat Pansel akan diseleksi lagi oleh DPR melalui proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Kontrol dan peran serta masyarakat dalam proses fit and proper test di DPR juga akan memperkecil kemungkinan adanya politik kepentingan yang bakal terjadi.

Upaya lain yang dapat dilakukan, masyarakat mengajukan sebanyak-banyaknya calon kepada Pansel. Tentu saja yang diajukan adalah mereka yang memiliki kriteria tertentu. Para calon yang diajukan harus mempunyai keberanian, semangat inovasi, serta mempunyai kredibilitas dan dedikasi yang tinggi terhadap kebebasan informasi dan demokrasi. Individu yang mempunyai kriteria semacam ini diharapkan dapat bergerak di tengah aturan-aturan tentang KI yang membelenggu. Jika yang lolos dan terpilih menjadi anggota adalah individu-individu semacam ini, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk KI yang independen, sehingga kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi publik benar-benar dapat dijamin.*