Kamis, Januari 22, 2009

Minim Informasi Seleksi Komisi Informasi

UU KIP kuat menjamin akses informasi masyarakat, karena di dalamnya memandatkan dibentuknya Komisi Informasi (KI). KI adalah lembaga independen yang berfungsi membuat semua peraturan teknis tentang implementasi UU KIP. Dengan peraturan yang dibuat oleh KI nantinya, badan-badan publik tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk melayani kebutuhan informasi publik. Selain itu KI juga berfungsi menyelesaikan sengketa informasi antara peminta informasi dengan badan-badan publik. Peminta informasi yang merasa dirugikan karena permintaan informasinya ditolak, atau informasi yang diberikan tidak sesuai dengan permintaan, dapat mengajukan gugatan kepada KI. Melihat fungsinya, KI mempunyai peran yang sangat menentukan. Boleh dibilang, KI menjadi determinan bagi baik buruknya implementasi UU KIP di kemudian hari.


Oleh karena itu sebelum UU KIP ini diberlakukan pada April 2010 nanti, KI sudah harus terbentuk. Amanat yang dituangkan dalam UU KIP menyebutkan bahwa KI, terutama di tingkat Pusat, sudah harus terbentuk paling lambat April 2009. Untuk memenuhi amanat UU KIP itulah maka Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah memulai proses seleksi KI Pusat pada Oktober silam dengan membentuk Panitia Seleksi (Pansel). Dari sekitar 400-an pelamar yang masuk, Pansel berhasil menjaring 243 nama yang memenuhi syarat administrasi pada awal November. Ke-243 nama tersebut kemudian diseleksi lagi melalui proses tes psikologi dan uji tertulis tentang pemahaman UU KIP dan keterbukaan informasi. Dari tahapan ini Pansel berhasil menjaring 63 nama. Selanjutnya pada minggu pertama Desember, Pansel melakukan wawancara dan uji makalah terhadap 63 kandidat tersebut. Sampai saat ini tidak ada kepastian berapa kandidat yang lolos dalam tes itu.


Sesuai dengan ketentuan pasal 31 UU KIP, Pemerintah harus menjaring kandidat menjadi 21 nama, untuk kemudian diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dari uji inilah akan terjaring 7 orang yang akan menjadi anggota KI Pusat. Menurut pengumuman yang dimuat dalam situsnya, Depkominfo telah mengirimkan 21 calon kepada Presiden untuk ditandatangani. Baru setelah mendapat persetujuan Presiden, Depkominfo akan mengumumkannya kepada publik. Namun tidak dapat dipastikan kapan Presiden akan menandatanganinya.


Ketidakpastian ini menunjukkan bahwa proses seleksi memang minim informasi. Gejala ini sebenarnya sudah terlihat semenjak awal. Saat mengumumkan 243 nama yang lolos seleksi administrasi, Pansel tidak sekaligus menyertakan latarbelakang para kandidat tersebut. Background juga tidak disertakan pada saat Pansel mengumumkan 63 kandidat yang lolos uji psikologi dan tes tertulis. Alasan Pansel, pihaknya tidak punya cukup biaya untuk membayar space iklan di media. Penyertaan background kandidat menurut Pansel akan berkonsekuensi pada bertambahnya space dimaksud. Alasan ini masuk akal, tetapi sebenarnya hal ini dapat disiasati. Misalnya, Pansel tidak perlu mencantumkan secara lengkap, tetapi cukup mencantumkan background dasar seperti aktivitas atau profesi. Untuk mempersempit space, bisa saja Pansel menyiasatinya dengan memperkecil lagi ukuran font. Dengan penyiasatan semacam ini, penyertaan background tidak akan berpengaruh secara drastis terhadap penambahan biaya iklan.


Mengapa penyebutan latarbelakang penting? Hal ini sangat berguna untuk memandu publik dalam turut memberikan input atau catatan tertentu terhadap para kandidat. Peran serta publik semacam ini harus benar-benar diakomodir karena secara eksplisit terdapat klausul dalam UU KIP yang memberikan jaminan kepada publik untuk ikut memberikan masukan terhadap proses seleksi KI. Dalam Pasal 30 ayat (4) dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggot KI dengan disertai alasan. Persoalannya bagaimana publik dapat berpartisipasi jika mereka tidak mengetahui secara pasti informasi para kandidat? Ketidakjelasan informasi semacam itu justru akan menimbulkan spekulasi, yang bisa jadi kontraproduktif bagi proses seleksi KI itu sendiri. Tindakan Pansel ini dapat dikategorikan sebagai pembatasan terhadap hak publik untuk berpartisipasi dalam proses seleksi KI.


Partisipasi publik juga tidak optimal, karena proses ujian dilakukan secara tertutup. Paling tidak pada tahap uji makalah dan wawancara, seharusnya publik dapat melakukan pemantauan. Dari hasil pantauan tersebut publik dapat menilai secara objektif, apakah seorang kandidat layak untuk menjadi anggota KI atau tidak. Usulan untuk membuka ruang bagi publik dalam tahapan ini juga ditolak oleh Pansel. Alasan teknisnya, Pansel tidak dapat menyediakan ruangan lebih luas yang dapat menampung masyarakat yang diperkirakan hadir. Alasan yang lebih ideologis, Pansel tidak ingin mempermalukan kandidat di muka umum, karena mungkin saja banyak pertanyaan yang bersifat personal, berkaitan dengan konfirmasi tentang integritas pribadi.


Namun demikian di lain sisi Pansel cukup akomodatif terhadap pihak yang proaktif untuk berpartisipasi. Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi diakomodasi untuk memberikan masukan terhadap 63 kandidat. Pansel bahkan memberikan data riwayat hidup ke-63 kandidat tersebut. Namun apakah kepentingan publik sudah dapat direpresentasikan oleh Koalisi? Yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa publik secara luaslah akan yang merasakan dampak dari kebijakan atau apapun yang dihasilkan oleh KI nantinya.

Minimnya informasi proses seleksi KI sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat Pemerintah juga mempunyai kepentingan di dalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa keanggotaan KI mensyaratkan adanya unsur Pemerintah. Bisa jadi Pemerintah mempunyai kehendak lain selain yang dikehendaki oleh Pansel. Barangkali Pemerintah telah mengantungi sejumlah calonnya yang kemudian secara diam-diam dimasukkan ke dalam daftar yang akan diajukan ke DPR? Jika demikian yang terjadi, maka ini suatu pertanda bahwa KI berada di bawah kontrol Pemerintah.


Tanda-tanda adanya kendali Pemerintah atas KI sebenarnya sudah tampak semenjak UU ini masih dalam pembahasan. Pada awalnya Pemerintah tidak sepakat dengan keberadaan KI. Menurut Pemerintah, KI hanya akan memboroskan uang negara. Alasan ini didasarkan pada asumsi bahwa saat ini banyak lembaga negara independen yang kurang maksimal kinerjanya. Terlepas dari alasan teknis ini, sebenarnya Pamerintah agak khawatir KI akan menjadi lembaga superbody yang dapat mengontrol secara penuh badan-badan publik, yang notabene adalah Pemerintah itu sendiri. Sementara itu di sisi lain DPR tetap bergeming dengan usulannya bahwa KI harus ada. Pada akhirnya terjadi kompromi: dibentuk KI dengan syarat ada unsur Pemerintah dalam keanggotaannya.


Tapi kita tunggu saja. Apakah dengan ketentuan semacam itu, dan proses seleksi yang cenderung tertutup, KI yang terbentuk akan benar-benar berkualitas sehingga dapat menjamin optimalnya implementasi UU KIP? Patut disayangkan, proses seleksi KI, yang merupakan mandat UU KIP justru minim informasi. Rupanya keterbukaan informasi belum benar-benar menjadi semangat penyelenggara negara kita. Jika demikian, sangat mungkin nantinya UU KIP hanya akan menjadi sekadar deretan aturan norma di atas kertas tanpa makna.***