Minggu, Desember 20, 2009

RPP Penyadapan Tak Perlu Dipaksakan

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tata cara intersepsi atau penyadapan menuai kritik publik. Bahkan hakim konstitusi Akil Mochtar telah memperingatkan agar RPP tersebut dibatalkan. Namun tampaknya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) bergeming. Pihaknya akan tetap membahas RPP tersebut dan mematok target pengesahan pada April tahun depan.

Kritik masyarakat, termasuk peringatan Akil amat beralasan. Pengesahan RPP tersebut akan berimplikasi pada melemahnya kewenangan KPK. Berdasar pada muatan materi yang terkandung di dalam RPP, nantinya KPK tidak lagi dibenarkan melakukan penyadapan. Kewenangan penyadapan untuk kepentingan penegakkan hukum sepenuhnya berada di tangan Pusat Intersepsi Nasional (PIN). KPK hanya boleh mengajukan permohonan izin penyadapan kepada PIN, dengan prasyarat bahwa penyadapan yang hendak dilakukan tersebut telah mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Tahapan langkah mulai dari pengajuan izin, penetapan pengadilan, hingga pelaksanaan penyadapan, merupakan suatu prosedur berjenjang, yang akan memakan waktu lumayan lama. Padahal penanganan tindak pidana korupsi meniscayakan suatu langkah yang sangat cepat, praktis dan tidak melalui birokrasi yang rumit.

Mencabut kewenangan penyadapan dari KPK, dapat diamsalkan dengan menanggalkan taring seekor macan. KPK nantinya hanya akan terdengar aumnya tetapi luput menerkam para penilap uang rakyat. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa penyadapan adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan KPK dalam menindak para koruptor. Tanpa kewenangan penyadapan, akan sulit bagi KPK untuk menjalankan tugasnya memberantas korupsi.

RPP Penyadapan dan Dimensi Kebijakan Publik

Pada tataran wacana, sedikitnya dikenal tiga dimensi yang melingkupi suatu kebijakan publik (Bridgeman dan Davis, 1998). Ketiga dimensi dimaksud adalah bahwa kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang legal dan sah secara hukum (authoritative choice), kebijakan publik harus didasarkan pada hipotesis tertentu (hypothesis) dan kebijakan publik mesti memiliki tujuan yang jelas (objective). Dari sini dapat dimaknai juga bahwa suatu kebijakan publik harus memenuhi ketiga prasyarat tersebut. Kita akan mencermati, apakah kebijakan tentang penyusunan RPP penyadapan telah memenuhi ketiga prasyarat tadi.

Pada dimensi authoritative choice, sekilas tidak ada yang salah dengan tindakan Depkominfo. Sah-sah saja Depkominfo menyusun suatu kebijakan, karena lembaga ini mempunyai legitimasi dalam sistem pemerintahan yang sah pula. Namun jika authoritative choice dipahami sebagai tindakan yang mesti mengedepankan kerangka legal dalam suatu sistem ketatanegaraan yang berlaku, penyusunan RPP penyadapan ini kurang tepat. Tentu saja penyebabnya adalah karena ada pelanggaran terhadap pranata hukum yang levelnya lebih tinggi, yaitu UU No. 30/2002 tentang KPK. UU KPK sangat jelas memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum di bidang korupsi itu untuk melakukan penyadapan sebagai bagian dari tugasnya menjalankan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Di sisi lain, Depkominfo bisa saja berdalih bahwa penyusunan RPP penyadapan justru mandat dari UU. Sebagaimana tertuang dalam draf RPP bagian konsideran, RPP ini didasarkan pada Pasal 42 ayat (3) UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi kembali jika dicermati, dalih tersebut ternyata juga kurang relevans.

Pasal 42 ayat (3) UU Telekomunikasi menyatakan, “rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara bunyi klausul pada ayat (2) adalah: “untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a) permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b) permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.”

Mengacu pada Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi, memang benar bahwa terdapat mandat untuk menyusun PP. Namun jika mencermati ayat (2), akan tampak suatu makna bahwa PP yang dimaksud adalah PP untuk mengatur penyadapan yang dilakukan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, berkaitan dengan permintaan dari penegak hukum. Yang menjadi objek dalam PP yang dimandatkan dalam Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi adalah penyelenggara jasa telekomunikasi, bukan lembaga penegak hukum. Dengan demikian PP ini tidak dibenarkan mengintervensi penegak hukum yang telah secara legal dibenarkan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan UU yang berlaku. Dari sini tampak ada kekeliruan dalam menerjemahkan Pasal 43 UU Telekomunikasi.

Kekeliruan kembali terjadi ketika RPP ini juga didasarkan Pada 31 ayat (4) UU ITE. Bunyi klausul pasal tersebut adalah: “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara ketentuan pada ayat (3) berbunyi: “intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Klausul pada ayat (3) tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diperlukan lagi PP. Sebab, ketentuan tentang intersepsi yang dilakukan oleh penegak hukum ditetapkan berdasarkan UU.

Selanjutnya dimensi hypothesis dalam wacana kebijakan publik dimaknai bahwa otoritas pemerintahan semestinya mempunyai gambaran yang jelas tentang asumsi-asumsi yang muncul akibat pemberlakuan suatu kebijakan. Dalam dimensi ini otoritas pemerintah juga dituntut untuk peka terhadap penilaian yang berkembang dalam masyarakat mengenai dirinya. Sebelum melansir RPP penyadapan, semestinya Depkominfo menyadari bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah belum benar-benar pulih, pasca terjadinya upaya kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK. Munculnya RPP penyadapan pada akhirnya dianggap sebagai upaya lain untuk melemahkan KPK setelah upaya kriminalisasi gagal.

Pada dimensi objective, RPP ini juga belum mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan suatu produk kebijakan tidak cukup dilontarkan secara lisan oleh wakil dari otoritas pemerintahan. Namun sebagai produk hukum, tujuan harus dicantumkan secara eksplisit di dalamnya. Penyebutan ini selain memberikan kepastian, juga agar dapat menjadi acuan yang dapat dipertanggungjawabkan. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan menyatakan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang salah satunya adalah kejelasan tujuan. Jadi berdasarkan UU ini, setiap peraturan perundangan-undangan harus mencantumkan tujuan dengan jelas. Ketidakjelasan tujuan akan memunculkan kebingungan, bahkan kecurigaan publik.

Setelah ditinjau berdasarkan dimensi-dimensi tersebut di atas, ternyata RPP penyadapan masih banyak mengandung kelemahan. Untuk itu Depkominfo perlu berpikir ulang untuk mengesahkannya. Jika akhirnya disahkan pun PP penyadapan ini kemungkinan besar akan kandas oleh judicial review. RPP yang kurang komprehensif ini juga menjadi taruhan bagi kredibilitas Depkominfo sendiri.***

Senin, Desember 07, 2009

Menimbang Kembali Urgensi UU Rahasia Negara

Sikap DPR RI yang tidak memprioritaskan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional tahun 2010 patut mendapat apresiasi. DPR menilai masih ada resistensi dari masyarakat atas RUU tersebut. Sementara di sisi lain Departemen Pertahanan sebagai pihak yang menjadi leading sector pemerintah dalam pembahasan, menyatakan sudah siap mengajukan kembali RUU Rahasia Negara yang baru.
Sebagaimana diketahui, pada September lalu pemerintah menarik RUU Rahasia Negara dari pembahasan DPR periode 2004-2009. Penarikan dilakukan atas desakan berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk petisi penolakan oleh 70 tokoh. RUU Rahasia Negara dianggap berbenturan dengan agenda pemberantasan korupsi, penegakkan HAM, perwujudan tata pemerintahan yang baik, kebebasan pers dan keterbukaan informasi, serta kehidupan demokrasi secara umum. Selanjutnya Presiden menyarankan agar dilakukan konsolidasi secara sungguh-sungguh terhadap materi RUU Rahasia Negara sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Selain itu Presiden juga menyarankan agar Departemen Pertahanan melibatkan kalangan kelompok masyarakat sipil dan 70 tokoh yang menandatangani petisi penolakan RUU Rahasia Negara.
Namun sampai saat ini tampaknya apa yang disarankan oleh Presiden tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh Departemen Pertahanan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan staf ahli Departemen Pertahanan bidang ideologi politik Agus Brotosusilo. Beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip media, Agus menyampaikan bahwa tidak ada perombakan total terhadap RUU Rahasia Negara versi sebelumnya. Padahal sudah pasti jika konsolidasi materi dilakukan secara sungguh-sungguh dan melibatkan kelompok masyarakat sipil sebagaimana direkomendasikan Presiden, pasti akan terjadi perubahan menyeluruh pada RUU Rahasia Negara yang baru. Perombakan total juga tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Beberapa hal yang selalu dijadikan dasar bagi Departemen Pertahanan untuk tetap mendorong disahkannya RUU Rahasia Negara adalah untuk mencegah terjadinya kebocoran informasi Negara yang kemudian menimbulkan anarki di masyarakat. Anarki diyakini akan membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI, terganggunya fungsi penyelenggaraan Negara dan pemerintahan, serta rusaknya ketertiban umum. Oleh karena itu dalam klausul-klausulnya RUU Rahasia Negara sangat ketat membatasi lembaga Negara maupun otoritas pemerintahan untuk mempublikasikan informasi yang dimilikinya, serta membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh negara/pemerintah. Secara tegas dinyatakan dalam RUU Rahasia Negara bahwa otoritas untuk membuka atau menutup informasi negara/pemerintah sepenuhnya ada di tangan Presiden.
Berdasar pada argumentasi Departemen Pertahanan tersebut di atas, dan mengacu pada dinamika sosial-politik yang berkembang belakangan ini dapat dikatakan bahwa UU Rahasia Negara sebetulnya masih belum benar-benar diperlukan. Paling tidak ada dua peristiwa mutakhir yang patut dijadikan refleksi untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara. Kedua peristiwa yang cukup menyedot perhatian tersebut adalah rekayasa kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dan pengusutan kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) Bank Century.
Pada kasus pertama kita telah mendengar bersama dalam sidang Mahkamah Konstitusi rekaman hasil sadapan komunikasi telepon Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam rangka melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Rekaman sadapan tersebut, jika mengikut logika RUU Rahasia Negara, telah memenuhi prasyarat untuk dinyatakan sebagai rahasia negara. Pertama, dalam sadapan tersebut terekam percakapan yang menyebut-nyebut nama Presiden yang konon mendukung upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kedua, percakapan semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa mafia peradilan bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan kata lain percakapan Anggodo dengan berbagai unsur -atau paling tidak melibatkan beberapa nama- dari Kepolisian dan Kejaksaan, secara tidak langsung telah membuka aib dan borok kedua lembaga penegak hukum tersebut. Ketiga, percakapan telepon Anggodo berpotensi menimbulkan konflik terbuka antara Kepolisian plus Kejaksaan versus KPK. Menurut logika RUU Rahasia Negara, ketiga hal tersebut di atas sudah cukup untuk memicu terjadinya gangguan terhadap fungsi penyelenggaraan negara/pemerintahan dan ketertiban umum. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan berlangsung terus menerus akan membuka peluang hancurnya kewibawaan pemerintah. Pemerintahan yang lemah kemudian akan mudah dimanfaatkan oleh musuh sehingga kedaulatan dan keutuhan NKRI menjadi terancam.
Pada kasus kedua kita juga telah menyimak melalui media, paparan Ketua BPK atas hasil investigasi lembaga tersebut terhadap kebijakan penggelontoran dana bailout Bank Century. Dalam paparannya, Ketua BPK menyatakan diduga telah terjadi pelanggaran dalam proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Berdasarkan temuan BPK, BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapannya lebih berdasarkan pada judgment. Lagi-lagi, jika mengacu pada logika RUU Rahasia Negara, data yang disampaikan oleh Ketua BPK tersebut sudah sangat sah dan meyakinkan dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Laporan tersebut bisa juga dibilang sensitif karena ada memaparkan indikasi keterlibatan wakil presiden Boediono yang menyalahgunakan wewenang saat masih menjadi pimpinan BI.
Namun pada akhirnya kita juga bersama-sama menyaksikan, pasca pengungkapan rekaman sadapan KPK maupun pemaparan hasil audit BPK tidak timbul gejolak yang berarti. Demonstrasi yang muncul masih berupa ekspresi wajar dalam bingkai demokrasi. Pemerintahan juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi yang kondusif ini menunjukkan betapa publik sudah semakin cerdas dan arif dalam menyikapi persoalan di negeri ini. Kedewasaan masyarakat inilah mesti dijadikan pijakan Departemen Pertahanan untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara.
Sesungguhnya Departemen Pertahanan dapat memanfaatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) untuk mencegah terjadinya anarki informasi. Sebab, selain mengatur keterbukaan informasi, UU ini juga memberikan batasan bagi otoritas Negara/pemerintahan dalam mempublikasikan informasi. Pembatasan yang diatur oleh UU KIP cukup fair karena melibatkan komisi independen yang bernama Komisi Informasi. Tetap memaksakan pengesahan UU Rahasia Negara, hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah berkehendak mengembalikan rezim kerahasiaan.***

Selasa, Mei 19, 2009

”TUNDA LEGISLASI RUU RAHASIA NEGARA”

PERNYATAAN PERS
ALIANSI MASYARAKAT MENOLAK REZIM KERAHASIAAN
(Yayasan SET, ICW, ICEL, IMPARSIAL, KONTRAS, LBH Pers)


Pada sidang pembahasan RUU Rahasia Negara terakhir (13/5) DPR meminta kepada Pemerintah untuk memperbaiki rumusan draf RUU, terutama pada Pasal 6 tentang jenis-jenis informasi rahasia negara. DPR menilai rumusan draf RUU Rahasia Negara versi Pemerintah sangat membingungkan, tidak jelas, baik dari segi bahasa maupun substansinya. Sementara di sisi lain Pemerintah terkesan memaksakan diri untuk menyelesaikan proses legislasi RUU Rahasia Negara sebelum pergantian pemerintahan. Sikap terburu-buru ini patut disesalkan, mengingat buruknya suatu produk hukum niscaya akan berdampak buruk pula bagi kehidupan masyarakat luas.

Selain yang tertuang dalam Pasal 6, secara keseluruhan draf RUU Rahasia Negara yang diusulkan Pemerintah memang buruk. Substansi yang tertuang dalam RUU Rahasia menyisakan banyak persoalan. Masalah mendasar adalah pada perumusan tentang definisi rahasia negara itu sendiri. Rahasia negara didefinisikan secara luas dan lentur. Parameter yang digunakan sebagai dasar berpijak bagi proses perahasiaan negara juga tidak jelas. Yang dimaksud rahasia negara di sini bukan saja informasi-informasi strategis, tetapi juga informasi tentang birokrasi serta tatakelola negara dan pemerintahan secara umum.

Penetapan rahasia negara memang dilakukan oleh Presiden. Tetapi Presiden juga mempunyai kewenangan untuk memberikan delegasi kepada pimpinan lembaga negara. Sementara itu tidak ada penjelasan lebih lanjut pada kondisi semacam apa dan dalam bentuk apa pendelegasian tersebut dilakukan. Tanpa adanya prasyarat dan mekanisme yang ketat, ini artinya klaim rahasia negara dapat dilakukan secara semena-mena dan subjektif berdasarkan kepentingan lembaga negara bersangkutan. Parahnya, RUU RN juga tidak mengatur kewajiban Presiden maupun lembaga negara untuk melakukan pengujian terhadap sesuatu sebelum dinyatakan sebagai rahasia negara.

RUU Rahasia Negara mencerminkan semangat untuk menutup peluang bagi publik, baik untuk mendapatkan informasi maupun turut berpartisipasi dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian RUU Rahasia Negara dapat dikatakan sebagai produk hukum yang menghalangi hak asasi warga negara sebagaimana telah diatur dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Ketertutupan dalam birokrasi sebagaimana dikehendaki oleh RUU Rahasia Negara, juga akan mengganggu agenda reformasi yakni pemberantasan korupsi, perwujudan tatapemerintahan yang baik, serta kebebasan pers.

Bukan saja kontrol publik yang dapat disumbat oleh RUU Rahasia Negara, tetapi berbagai lembaga negara yang fungsinya menjalankan kontrol atas tatakelola pemerintahan dan birokrasi juga akan terganggu. DPR tidak leluasa melakukan pengawasan terhadap proses pemerintahan yang dijalankan eksekutif; BPK akan kesulitan melakukan audit terhadap lembaga-lembaga negara; KPK mengalami hambatan saat melakukan penggeledahan; dan seterusnya. Dapat dibayangkan, betapa buruknya proses check and balances ketika RUU Rahasia Negara disahakan nantinya.

Dalam konteks perahasiaan negara, sesungguhnya saat ini telah ada produk hukum yang cukup komprehensif mengaturnya, yaitu UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Semestinya Pemerintah dan DPR menunggu sampai diberlakukannya UU tersebut pada April 2010. Evaluasi terhadap implementasi UU KIP tersebut yang seharusnya kemudian menjadi dasar bagi proses penyusunan legislasi tentang perahasiaan negara. Legislasi RUU Rahasia Negara tanpa mempertimbangkan proses implementasi UU KIP, hanya akan menimbulkan kontraproduksi di bidang hukum.

Berdasarkan pada kondisi tersebut di atas maka Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan menuntut:

1) Menolak dilanjutkannya pembahasan RUU RN. DPR dan Pemerintah harus terlebih dahulu menunggu sampai diberlakukannya UU KIP, untuk mendapatkan gambaran dan evaluasi dalam implementasi UU tersebut.

2) Mendorong kepada DPR dan Pemerintah untuk menunjukkan keseriusan/komitmen untuk menyiapkan implementasi UU KIP pada seluruh level dan lini penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak mengintrodusir rencana perundang-undangan yang justru kontraproduktif bagi implementasi UU KIP.


Jakarta, 19 Mei 2009
Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan

Kamis, Maret 05, 2009

UU KIP dan Kagalauan Jurnalis

Para jurnalis dan berbagai pihak yang concern terhadap kemerdekaan pers menempatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai salah satu produk hukum yang akan mengancam kehidupan media.

Paling tidak ada dua klausul yang menjadi dasar atas pandangan tersebut. Pertama, klausul yang mengatur soal pengecualian informasi. UU KIP, selain mengatur soal kategori dan jenis informasi yang wajib dibuka kepada publik, juga membatasi publik untuk mengakses informasi tertentu. Lebih lanjut, beberapa kategori yang tidak sembarangan dibuka diatur dalam Pasal 17. Ada 10 kategori informasi yang tidak termasuk sebagai informasi publik, yakni: 1) informasi yang dapat menghambat proses penegakkan hukum; 2) informasi yang dapat mengganggu perlindungan kepentingan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan persaingan usaha yang tidak sehat; 3) informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; 4) informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia; 5) informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; 6) informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; 7) informasi yang dapat mengungkap isi akta otentik yang bersifat pribadi dan wasiat pribadi seseorang; 8) informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi; 9) memorandum atau surat-surat antar badan publik; dan 10) informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-undang.

Dalam workshop yang diikuti oleh beberapa jurnalis dari berbagai media yang diselenggarakan Yayasan SET pada 26-27 Februari 2009 terungkap, jurnalis merasa terbelenggu gerak aktivitasnya dengan adanya pembatasan yang diatur dalam Pasal 17 tersebut. Dengan adanya ketentuan bahwa informasi tentang kekayaan alam tidak bisa dibuka misalnya, maka akses jurnalis yang hendak memberitakan potensi kekayaan alam di Indonesia akan terhambat. Padahal bisa jadi informasi semacam itu sangat dibutuhkan oleh publik berkaitan dengan kepentingan bisnis maupun investasi. Ironisnya, justru perusahaan tambang asing dengan sangat mudah mendapatkan informasi tersebut sehingga dengan mudah pula mereka melakukan eksploitasi. Jika jurnalis tetap memaksakan diri memperoleh informasi tersebut, lalu menguasai dan mempublikasikannya, jerat sanksi akan menunggu di depan mata.

Sanksi tentang pembocoran informasi yang dikecualikan ini diatur dalam pasal 54. Sanksinya mulai dari pidana penjara 2-3 tahun hingga denda senilai Rp 10 juta – Rp 20 juta. Subjek hukum yang diterapkan dalam ketentuan sanksi itu adalah “setiap orang”. Jadi kalau suatu media mempublikasikan informasi yang dianggap rahasia, yang akan terkena sanksi adalah jurnalisnya.

Persoalan kedua adalah adanya ketentuan sanksi bagi setiap orang yang menyalahgunakan informasi. Pada pasal 51 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum akan dikenai pidana penjara selama setahun dan denda sebanyak Rp 5 juta. Lagi-lagi, sanksi ini pasti akan menjerat jurnalis. Mengingat, jurnalislah yang paling banyak memanfaatkan informasi publik dimaksud. Jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan pemberitaan suatu media, maka dia dapat menuntut jurnalis yang menulis dengan dalih telah menggunakan informasi secara melawan hukum. Ketentuan sanksi ini akan semakin memperpanjang daftar nama jurnalis yang diseret ke meja hijau karena aktivitas jurnalistiknya. Asumsi ini tidak berlebihan, karena para penegak hukum masih banyak yang cenderung menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP ketimbang berdasar pada UU No. 40/1999 tentang Pers.

Maka, para peserta workshop merekomendasikan untuk mengajukan judicial review atas pasal-pasal bermasalah tersebut. Namun ada catatan yang mengiringinya. Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah, pengajuan JR harus dilakukan secara cermat dan hati-hati serta harus dilengkapi dengan materi yang mendukung argumentasi sehingga dapat meyakinkan hakim konstitusi. Sebab jika itu diabaikan, khawatir JR akan dimentahkan.

Lepas dari agenda JR, sebenarnya ada beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang cukup progresif, yang mengatur lebih lanjut ketentuan yang tertuang dalam pasal 17. Pada pasal 19 misalnya, secara implisit dinyatakan di sana bahwa badan publik tidak boleh semena-mena mengecualikan suatu informasi. Badan publik harus melakukan uji konsekuensi terhadap suatu informasi sebelum mengatakan bahwa informasi tersebut rahasia. Yang kemudian perlu didorong adalah bagaimana badan-badan publik tersebut dapat melakukan uji konsekuensi secara terbuka, sehingga proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di sinilah peran jurnalis sangat diperlukan. Lalu pada pasal 20 dinyatakan bahwa pengecualian informasi tidak bersifat permanen, tetapi sementara.

Kemudian jika ditinjau secara lebih jeli terhadap ketentuan sanksi pada Pasal 54, sebenarnya di situ dapat ditafsirkan bahwa, yang terkena sanksi adalah setiap orang yang “tanpa hak” melakukan akses terhadap informasi yang dikecualikan. Padahal menurut UU Pers, jurnalis diberikan hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, termasuk informasi yang dikecualikan, selama pers menjalankan fungsi kontrol sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pers. Dengan demikian ketentuan sanksi pada Pasal 54 tidak berlaku bagi jurnalis selama mereka menjalankan profesi jurnalistiknya dengan benar.

Setali tiga uang, jurnalis juga dapat mengelak dari tuduhan sanksi dalam Pasal 51 UU KIP. Pada pasal tersebut, sanksi hanya diberikan kepada setiap orang yang sengaja menggunakan informasi publik “secara melawan hukum”. Informasi publik yang dikuasai oleh jurnalis semata-mata “digunakan” untuk publikasi. Jadi, selama tidak “melawan hukum” dalam mempublikasikan informasi tersebut, tidak layak dikenakan sanksi kepada jurnalis. Lalu hukum apa yang dimaksud? Tentu saja hukum yang mengatur aktivitas jurnalistik adalah UU Pers. Sehingga, selama dalam mempublikasikan informasi tersebut masih selaras dengan UU Pers, jurnalis tidak dapat dikenakan sanksi ini.

Celah-calah tadi sedikit menepis kegalauan yang selama ini dirasakan oleh para jurnalis.***

Kamis, Januari 22, 2009

Minim Informasi Seleksi Komisi Informasi

UU KIP kuat menjamin akses informasi masyarakat, karena di dalamnya memandatkan dibentuknya Komisi Informasi (KI). KI adalah lembaga independen yang berfungsi membuat semua peraturan teknis tentang implementasi UU KIP. Dengan peraturan yang dibuat oleh KI nantinya, badan-badan publik tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk melayani kebutuhan informasi publik. Selain itu KI juga berfungsi menyelesaikan sengketa informasi antara peminta informasi dengan badan-badan publik. Peminta informasi yang merasa dirugikan karena permintaan informasinya ditolak, atau informasi yang diberikan tidak sesuai dengan permintaan, dapat mengajukan gugatan kepada KI. Melihat fungsinya, KI mempunyai peran yang sangat menentukan. Boleh dibilang, KI menjadi determinan bagi baik buruknya implementasi UU KIP di kemudian hari.


Oleh karena itu sebelum UU KIP ini diberlakukan pada April 2010 nanti, KI sudah harus terbentuk. Amanat yang dituangkan dalam UU KIP menyebutkan bahwa KI, terutama di tingkat Pusat, sudah harus terbentuk paling lambat April 2009. Untuk memenuhi amanat UU KIP itulah maka Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah memulai proses seleksi KI Pusat pada Oktober silam dengan membentuk Panitia Seleksi (Pansel). Dari sekitar 400-an pelamar yang masuk, Pansel berhasil menjaring 243 nama yang memenuhi syarat administrasi pada awal November. Ke-243 nama tersebut kemudian diseleksi lagi melalui proses tes psikologi dan uji tertulis tentang pemahaman UU KIP dan keterbukaan informasi. Dari tahapan ini Pansel berhasil menjaring 63 nama. Selanjutnya pada minggu pertama Desember, Pansel melakukan wawancara dan uji makalah terhadap 63 kandidat tersebut. Sampai saat ini tidak ada kepastian berapa kandidat yang lolos dalam tes itu.


Sesuai dengan ketentuan pasal 31 UU KIP, Pemerintah harus menjaring kandidat menjadi 21 nama, untuk kemudian diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Dari uji inilah akan terjaring 7 orang yang akan menjadi anggota KI Pusat. Menurut pengumuman yang dimuat dalam situsnya, Depkominfo telah mengirimkan 21 calon kepada Presiden untuk ditandatangani. Baru setelah mendapat persetujuan Presiden, Depkominfo akan mengumumkannya kepada publik. Namun tidak dapat dipastikan kapan Presiden akan menandatanganinya.


Ketidakpastian ini menunjukkan bahwa proses seleksi memang minim informasi. Gejala ini sebenarnya sudah terlihat semenjak awal. Saat mengumumkan 243 nama yang lolos seleksi administrasi, Pansel tidak sekaligus menyertakan latarbelakang para kandidat tersebut. Background juga tidak disertakan pada saat Pansel mengumumkan 63 kandidat yang lolos uji psikologi dan tes tertulis. Alasan Pansel, pihaknya tidak punya cukup biaya untuk membayar space iklan di media. Penyertaan background kandidat menurut Pansel akan berkonsekuensi pada bertambahnya space dimaksud. Alasan ini masuk akal, tetapi sebenarnya hal ini dapat disiasati. Misalnya, Pansel tidak perlu mencantumkan secara lengkap, tetapi cukup mencantumkan background dasar seperti aktivitas atau profesi. Untuk mempersempit space, bisa saja Pansel menyiasatinya dengan memperkecil lagi ukuran font. Dengan penyiasatan semacam ini, penyertaan background tidak akan berpengaruh secara drastis terhadap penambahan biaya iklan.


Mengapa penyebutan latarbelakang penting? Hal ini sangat berguna untuk memandu publik dalam turut memberikan input atau catatan tertentu terhadap para kandidat. Peran serta publik semacam ini harus benar-benar diakomodir karena secara eksplisit terdapat klausul dalam UU KIP yang memberikan jaminan kepada publik untuk ikut memberikan masukan terhadap proses seleksi KI. Dalam Pasal 30 ayat (4) dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggot KI dengan disertai alasan. Persoalannya bagaimana publik dapat berpartisipasi jika mereka tidak mengetahui secara pasti informasi para kandidat? Ketidakjelasan informasi semacam itu justru akan menimbulkan spekulasi, yang bisa jadi kontraproduktif bagi proses seleksi KI itu sendiri. Tindakan Pansel ini dapat dikategorikan sebagai pembatasan terhadap hak publik untuk berpartisipasi dalam proses seleksi KI.


Partisipasi publik juga tidak optimal, karena proses ujian dilakukan secara tertutup. Paling tidak pada tahap uji makalah dan wawancara, seharusnya publik dapat melakukan pemantauan. Dari hasil pantauan tersebut publik dapat menilai secara objektif, apakah seorang kandidat layak untuk menjadi anggota KI atau tidak. Usulan untuk membuka ruang bagi publik dalam tahapan ini juga ditolak oleh Pansel. Alasan teknisnya, Pansel tidak dapat menyediakan ruangan lebih luas yang dapat menampung masyarakat yang diperkirakan hadir. Alasan yang lebih ideologis, Pansel tidak ingin mempermalukan kandidat di muka umum, karena mungkin saja banyak pertanyaan yang bersifat personal, berkaitan dengan konfirmasi tentang integritas pribadi.


Namun demikian di lain sisi Pansel cukup akomodatif terhadap pihak yang proaktif untuk berpartisipasi. Beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Informasi diakomodasi untuk memberikan masukan terhadap 63 kandidat. Pansel bahkan memberikan data riwayat hidup ke-63 kandidat tersebut. Namun apakah kepentingan publik sudah dapat direpresentasikan oleh Koalisi? Yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa publik secara luaslah akan yang merasakan dampak dari kebijakan atau apapun yang dihasilkan oleh KI nantinya.

Minimnya informasi proses seleksi KI sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat Pemerintah juga mempunyai kepentingan di dalamnya. Sebagaimana diketahui bahwa keanggotaan KI mensyaratkan adanya unsur Pemerintah. Bisa jadi Pemerintah mempunyai kehendak lain selain yang dikehendaki oleh Pansel. Barangkali Pemerintah telah mengantungi sejumlah calonnya yang kemudian secara diam-diam dimasukkan ke dalam daftar yang akan diajukan ke DPR? Jika demikian yang terjadi, maka ini suatu pertanda bahwa KI berada di bawah kontrol Pemerintah.


Tanda-tanda adanya kendali Pemerintah atas KI sebenarnya sudah tampak semenjak UU ini masih dalam pembahasan. Pada awalnya Pemerintah tidak sepakat dengan keberadaan KI. Menurut Pemerintah, KI hanya akan memboroskan uang negara. Alasan ini didasarkan pada asumsi bahwa saat ini banyak lembaga negara independen yang kurang maksimal kinerjanya. Terlepas dari alasan teknis ini, sebenarnya Pamerintah agak khawatir KI akan menjadi lembaga superbody yang dapat mengontrol secara penuh badan-badan publik, yang notabene adalah Pemerintah itu sendiri. Sementara itu di sisi lain DPR tetap bergeming dengan usulannya bahwa KI harus ada. Pada akhirnya terjadi kompromi: dibentuk KI dengan syarat ada unsur Pemerintah dalam keanggotaannya.


Tapi kita tunggu saja. Apakah dengan ketentuan semacam itu, dan proses seleksi yang cenderung tertutup, KI yang terbentuk akan benar-benar berkualitas sehingga dapat menjamin optimalnya implementasi UU KIP? Patut disayangkan, proses seleksi KI, yang merupakan mandat UU KIP justru minim informasi. Rupanya keterbukaan informasi belum benar-benar menjadi semangat penyelenggara negara kita. Jika demikian, sangat mungkin nantinya UU KIP hanya akan menjadi sekadar deretan aturan norma di atas kertas tanpa makna.***