Kamis, November 29, 2007

Wajah Baru Televisi Kita

Akhir Desember ini merupakan batas akhir bagi stasiun televisi swasta melakukan siaran secara nasional melalui sistem relainya. Agar terus dapat bersiaran secara nasional mereka harus mendirikan stasiun televisi lokal, atau berjaringan dengan televisi lokal yang sudah ada. Ketentuan ini merupakan amanat UU No. 32/2002 atau UU Penyiaran.

Secara eksplisit ketentuan tersebut dinyatakan dalam pasal 6 ayat 3: ”Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal”. Mengacu pada ketentuan ini, ke depan tidak lagi dikenal istilah televisi swasta nasional, yang ada adalah stasiun televisi lokal atau stasiun televisi induk yang berjaringan dengan stasiun televisi lokal. Stasiun televisi nasional yang ada saat ini, menurut pasal 60 UU Penyiaran harus menyesuaikan diri selama lima tahun. Karena UU ini diberlakukan pada 28 Desember 2002 maka sistem penyiaran berjaringan efektif sudah harus diberlakukan pada 29 Desember 2007.

Dalam sistem siaran berjaringan, stasiun relai yang selama ini hanya dijadikan sebagai stasiun transmisi, harus diubah menjadi stasiun lokal yang juga dapat memproduksi program sendiri. Namun demikian program stasiun induk masih dapat dinikmati di daerah tertentu melalui stasiun lokalnya. Porsi program dari stasiun induk tentu saja dibatasi, bagian porsi lainnya diberikan kepada stasiun lokal untuk memproduksi program-programnya sendiri. Program-program produksi stasiun lokal ini nantinya harus bersandar pada budaya dan karakter sosial masyarakat sekitar. Dengan demikian keutuhan akar budaya bangsa ini secara keseluruhan akan terjaga.

Lahirnya ketentuan ini didasari pada semangat untuk mewujudkan dunia penyiaran yang demokratis, memberikan kesempatan kepada publik untuk mendapatkan produk penyiaran yang beragam, sejalan dengan tata nilai, tradisi, serta kebudayaan setempat. Dunia penyiaran ke depan diarahkan untuk menjunjung keberagaman serta penghargaan terhadap kearifan lokal demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selama ini televisi nasional swasta bersiaran secara terpusat. Produk-produk siaran dipancarkan dari stasiunnya yang berbasis di Jakarta. Sumber daya manusia dipenuhi oleh sebagian besar orang Jakarta. Maka wajar jika program-program yang ditayangkan pun lebih banyak menonjolkan citarasa Jakarta. Program bercitarasa Jakarta ini kemudian dinikmati oleh masyarakat di seluruh Tanah Air. Sistem penyiaran semacam inilah yang diyakini berpengaruh terhadap proses penyeragaman, bukan saja budaya tetapi juga pola pikir dan orientasi hidup masyarakat.

Ke depan, kita akan menyaksikan betapa televisi akan benar-benar penuh warna. Itulah harapan yang diidamkan publik.

Gairah Ekonomi Lokal

Harapan lain atas diselenggarakannya sistem penyiaran berjaringan adalah bergeliatnya gairah ekonomi di tingkat lokal. Para pelaku usaha maupun investor di tingkat lokal mempunyai kesempatan untuk memasarkan produk-produknya melalui televisi. Sebetulnya dengan sistem siaran nasional yang selama ini dipraktikan, pelaku usaha di tingkat lokal juga bisa memasang iklan mereka di televisi. Namun hal ini tidak efektif. Produk-produk hasil usaha di tingkat daerah biasanya tidak terlalu massif, hanya untuk memenuhi kebutuhan di tingkat lokal. Tayangan iklan yang disiarkan secara nasional justru membidik pasar yang tidak jelas. Sementara, untuk memasang iklan di televisi nasional dibutuhkan ongkos yang mahal. Dengan maraknya televisi lokal, akan tersedia sarana pemasaran yang efektif.

Menggeliatnya perekonomian lokal akan menyerap banyak tenaga kerja. Kesempatan masyarakat lokal mendapatkan pekerjaan semakin terbuka lebar. Keberadaan televisi-televisi lokal juga secara langsung akan membuka kesempatan masyarakat lokal terserap ke dalam industri broadcasting. Perlu diingat bahwa stasiun televisi lokal harus memproduksi program-program bercitarasa lokal pula. SDM lokal mutlak dibutuhkan, karena SDM setempatlah yang tahu persis tentang budaya maupun karakter daerahnya.

Jika industri broadcasting boleh disebut sebagai industri “inti”, maka industri-industri “plasma”-nya seperti rumah produksi, agensi iklan, agensi aktor/aktris, sekolah akting, sekolah musik, dsb juga akan berkembang di tingkat lokal. Masyarakat lokal tidak perlu tertarik oleh magnet urbanisasi.

Kontrol Publik

Pemberlakuan sistem penyiaran televisi berjaringan ini juga dapat menjadi jawaban atas kritik masyarakat terhadap isi siaran televisi yang rendah kualitas dan tidak mendidik. Tayangan-tayangan sinetron menampilkan tema yang tidak jauh dari intrik perebutan harta, persaingan perebutan pasangan, maupun tema-tema lain yang tidak sesuai dengan logika dan akal sehat. Adegan caci maki dan saling hardik serta kata-kata sarkastik pun seakan berparade di layar kaca.

Begitu pula program hiburan lain seperti komedi. Acara lawakan kita dipenuhi dengan bahasa-bahasa verbal maupun gestur tubuh yang slapstik, cenderung melecehkan orang lain yang biasanya memiliki kekurangan secara fisik. Parahnya, program-program semacam ini diberikan porsi yang besar oleh stasiun televisi. Mengapa? Karena stasiun televisi berpatokan pada hasil riset lembaga rating komersial. Pengelola stasiun televisi seakan tidak peduli apakah program yang ditayangkan punya potensi negatif atau tidak, asalkan lembaga rating menetapkan bahwa share audience-nya tinggi, maka program tersebut tetap dipertahankan.

Karena itu juga, kritik masyarakat diabaikan. Apalagi lokasi yang berjarak antara publik dengan basis stasiun televisi. Kontrol publik atas televisi tidak pernah efektif karena tidak pernah mendapatkan respons. Kritik masyarakat tak lebih layaknya teriakan lantang di hamparan padang pasir.

Dengan sistem penyiaran berjaringan yang berbasis pada televisi lokal, kontrol publik atas isi siaran televisi akan dapat dilakukan dengan mudah. Publik dapat menyampaikan kritik maupun keberatan-keberatannya secara langsung ke stasiun pengelola, maupun ke KPID sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi isi siaran di tingkat lokal.

Namun jika kritik-kritik tersebut juga tidak direspons, publik dapat melakukan kritik yang lebih cerdas, misalnya dengan melakukan rating publik. Rating publik dapat dilakukan dengan mengumpulkan para tokoh masyarakat yang berpengaruh dalam berbagai bidang. Kemudian para tokoh ini memberikan penilaian terhadap program-program yang ditayangkan. Hasilnya lalu dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Dengan demikian akan terbentuk penilaian publik atas program tertentu. Desakan publik tingkat lokal membuat pengelola televisi tidak dapat menghindar. Desakan ini yang menyebabkan pengelola televisi mudah berubah sikapnya. Lalu bagaimana dengan pemasang iklan? Pemasang iklan sebagai bagian dari publik lokal tentu saja akan mengikuti kehendak publik tersebut.

Kontrol publik yang semakin efektif akan membuka harapan lebih besar, yakni adanya kedaulatan publik atas program-program televisi. Namun harapan-harapan ini hanya akan menjadi mimpi di siang bolong jika tidak ada itikad yang kuat baik dari KPI maupun Pemerintah.

Selasa, Oktober 23, 2007

Ancaman RUU RN bagi Kemerdekaan Pers

Draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) telah berhasil dirumuskan oleh Pemerintah, dan sekitar enam bulan lalu telah dikirimkan ke DPR. Kini, fraksi-fraksi di DPR sedang mempersiapkan draf sandingan yang dituangkan dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM). Jika ke-10 fraksi telah selesai menyusun DIM-nya, maka tahap selanjutnya adalah pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

Ada hal penting yang perlu diperhatikan sebelum agenda pembahasan tersebut dimulai, yakni adanya kemungkinan ancaman RUU RN terhadap kemerdekaan pers.

Kemerdekaan pers sendiri perlu diberikan perhatian khusus, karena dengannya publik menemukan makna demokrasi yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi diukur dari sejauhmana publik turut berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya penyelenggaraan negara. Perlu ditekankan bahwa partisipasi di dalam negara demokrasi bukan sekadar partisipasi pasif dalam bentuk pemberian suara saat pemilihan umum, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala-kepala daerah. Sebagai panduan dalam menyampaikan partisipasi, publik membutuhkan banyak informasi. Dan, pers mempunyai peran penting dan strategis dalam melayani kebutuhan informasi tersebut. Selain itu pers juga menyediakan ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya. Tepatlah kiranya jika pers mendapat julukan sebagai pilar keempat demokrasi selain legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dalam konteks itulah maka kemerdekaan pers perlu dijaga baik-baik. Memperhatikan RUU RN versi pemerintah, terdapat materi yang secara langsung akan menghambat kinerja jurnalistik sehingga pada akhirnya akan mengancam kemerdekaan pers. Ancaman terhadap kemerdekaan pers berarti ancaman juga terhadap demokrasi yang sedang kita bangun bersama.

Lalu apa saja materi dalam RUU RN yang diperkirakan dapat mengancam kemerdekaan pers?

Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditelusuri dari soal ketidakjelasan definisi rahasia negara itu sendiri. Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud rahasia negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Definisi ini sangat sumir, tidak menjelaskan sama sekali informasi, benda atau aktivitas apa saja yang termasuk sebagai rahasia negara. Menurut definisi ini, sesuatu dapat dikatakan sebagai rahasia negara jika telah ditetapkan secara resmi. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa pihak yang dapat menetapkan sesuatu sehingga dapat dikatakan sebagai rahasia negara?

Selanjutnya dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Kerahasiaan Negara, pada bagian tentang Pedoman Rahasia Negara dinyatakan terdapat dua pedoman dalam menentukan rahasia negara, yaitu pedoman umum dan pedoman teknis. Pedoman umum adalah pedoman tentang rahasia negara di tingkat pusat, yang disusun oleh lembaga persandian negara bersama-sama dengan instansi terkait. Tidak dijelaskan samasekali siapa saja yang termasuk sebagai instansi terkait itu. Namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan instansi terkait adalah semua instansi di lingkungan pemerintah, termasuk lembaga penyelenggara negara lainnya. Dari pedoman umum tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk pedoman teknis, yang dibuat oleh masing-masing pimpinan instansi.

Pedoman umum dan pedoman teknis di atas dimaksudkan untuk menjelaskan ruang lingkup rahasia negara yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: pertahanan dan keamanan negara, hubungan luar negeri, proses penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, persandian negara, intelijen negara dan pengamanan aset vital negara (Pasal 4). Tiap-tiap ruang lingkup yang masih luas tersebut akan dirumuskan oleh tiap-tiap instansi pemerintah. Jadi, secara eksplisit RUU ini memberikan amanat kepada tiap-tiap instansi pemerintah untuk menjadi penentu klaim rahasia negara.

Dengan memperhatikan rangkaian ketentuan tersebut di atas, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa birokrasi kita masih belum rela dengan kultur keterbukaan yang krannya mulai dibuka semenjak reformasi digulirkan. Klausul ini jelas akan sangat dimaanfaatkan oleh birokrat untuk menutupi segala kecurangan maupun manipulasi yang mereka lakukan. “Rahasia negara” akan menjadi mantra sakti untuk menolak setiap permintaan informasi dari wartawan. Tidak tertutup kemungkinan nanti, semua informasi yang dikuasai oleh instansi pemerintah akan menjadi informasi yang tertutup bagi media.

Padahal jika dicermati secara mendalam, ruang lingkup rahasia negara tersebut di atas tidak semuanya bisa dikatakan rahasia. Hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara misalnya, ada poin yang perlu diketahui oleh publik. Satu contoh yang bisa disebut adalah besaran biaya yang digunakan untuk membeli senjata dan perlengkapan tentara lainnya. Perlu diingat bahwa biaya tersebut berasal dari uang rakyat melalui skema APBN. Dalam konteks negara demokrasi, setiap penggunaan uang rakyat harus diumumkan secara terbuka agar dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

Ancaman tidak kalah mengerikan adalah pada materi yang mengatur tentang sanksi bagi pelanggar rahasia negara, yang dituangkan berturut-turut dalam pasal 35 hingga 37. Dalam ketiga pasal tersebut secara garis besar dinyatakan, bagi setiap orang yang menyebarluaskan informasi rahasia negara yang berklasifikasi rahasia dan sangat rahasia dikenakan tindakan pidana berupa penjara dari lima tahun hingga seumur hidup beserta denda dari Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sedangkan jika pelanggaran tersebut dilakukan pada masa perang bisa dikenakan sanksi hukuman mati.

Ketentuan sanksi serupa juga dikenakan bagi orang yang antara lain memotret dan merekam suatu benda dan aktivitas yang termasuk sebagai rahasia negara.

Subyek hukum yang terkandung dalam klausul tersebut adalah “orang”, dan tentu saja wartawan termasuk bagian dari subyek hukum tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa wartawanlah yang banyak mempunyai aktivitas penyebarluasan informasi, perekaman dan pemotretan. Sehingga jika RUU ini disahkan, yang akan sering terkena sanksi memberatkan tersebut adalah wartawan.

Jika RUU RN versi Pemerintah ini dipertahankan dan diberlakukan, niscaya klaim rahasia negara dimanfaatkan untuk memidanakan wartawan yang kreatif menggali informasi. Kondisi ini pada akhirnya akan mematikan kreativitas wartawan dalam mengembangkan jurnalisme investigasi. Jika demikian maka kebutuhan publik akan informasi tidak akan terpenuhi, partisipasi akan terhenti, dan bukan tidak mungkin demokrasi akan mati.*

Dimuat Media Indonesia, 1 November 2007

Senin, Oktober 22, 2007

Ketertutupan Informasi Proyek “Busway”

Hari pertama masuk kerja setelah libur lebaran, warga Jakarta kembali diliputi kekesalan luar biasa karena kemacetan hebat seperti yang terjadi pada sepanjang Ramadan kemarin. Hal ini karena belum rampungnya pembangunan jalur busway baru, sebagai penambahan jalur-jalur yang sudah ada.

Penambahan tiga jalur busway, yakni koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni), koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) dan koridor 10 (Cililitan-Tanjung Priok) merupakan upaya yang patut dihargai. Proyek tersebut tidak lain sebagai tindak lanjutan Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan sistem transportasi massal yang manusiawi, lancar, aman dan nyaman. Suatu sistem yang juga diidamkan publik.

Jika dicermati, kondisi moda transportasi yang beroperasi di Jakarta memang bisa dibilang mengenaskan. Banyak biskota tidak dilengkapi dengan pendingin udara, tempat duduk alakadarnya, belum lagi kondisi mesin yang kurang prima yang seringkali menyebabkan keluaran asap dari knalpotnya hitam legam bercampur jelaga.

Perkiraan rasio antara jumlah penumpang dengan banyaknya armada juga tidak jelas. Pada suatu trayek tertentu jumlah armada terkadang jauh lebih sedikit dibanding penumpangnya. Tak ayal hal ini menyebabkan berjubelnya penumpang dalam satu biskota. Sementara pada trayek lain, dijumpai jumlah penumpang yang lebih besar ketimbang armadanya. Kondisi ini yang akhirnya memaksa sopir biskota memperlambat kendaraannya, bahkan berhenti di sembarang tempat guna mencari penumpang agar dapat memenuhi target setoran. Sudah pasti hal ini menyebabkan kemacetan. Gambaran yang sama juga terjadi pada moda transportasi seperti metromini, kopaja, mikrolet, dan angkutan kota lainnya.

Ketiadaan Informasi

Namun sayangnya, tekad Pemerintah yang hendak “memanusiawikan” warga Jakarta dalam ber-transportasi tidak diiringi dengan penyebaran informasi yang memadai kepada publik. Bahkan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pun tidak mendapatkan informasi apa-apa tentang pelaksanaan proyek. (Media Indonesia, 8 Oktober 2007). Bagi Polda, tentu saja informasi soal titik-titik mana yang sedang maupun akan dikerjakan merupakan hal penting sebagai acuan untuk mengatur arus lalu lintas di lokasi tersebut. Bagaimana bisa, Polda sebagai stakeholder utama pelayanan publik dalam hal lalu lintas tidak diberi informasi tentang pembangunan infrastruktur lalu lintas itu sendiri?

Bagi publik, informasi dimaksud penting sebagai panduan sebelum atau selama menempuh perjalanan. Lebih penting dari itu, sesungguhnya informasi tentang rencana proyek pembangunan busway secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai referensi untuk ikut menyampaikan pendapat agar proyek tersebut tidak dilakukan secara serentak, tetapi bertahap dari satu titik ke titik tertentu. Barangkali dengan pola pembangunan semacam itu akan mengurangi kemacetan.

Mekanisme penyampaian gagasan tentu saja bisa melalui media massa atau langsung melalui hotline pengaduan pada instansi tertentu yang berwenang mengelola proyek ini. Meskipun pendapat publik belum tentu dijadikan sebagai acuan dalam membuat/mengubah kebijakan, tapi paling tidak komunikasi antara pemerintah dengan publik semacam itu penting untuk terus dibangun. Hal ini diperlukan untuk mengikis kultur ketertutupan yang masih saja kental di lingkungan birokrasi kita secara umum, bukan hanya birokrasi Pemerintah DKI.

Kultur ketertutupan dalam birokrasi masih terus dipertahankan karena barangkali para birokrat masih memegang paradigma usang tentang tatakelola pemerintahan, yakni bahwa praktik pemerintahan harus dijalankan secara tertutup, penentuan kebijakan dilakukan secara sepihak, karena publik adalah entitas luaran yang tidak perlu dilibatkan. Pemerintah menganggap dirinya sebagai pihak yang paling benar. Kita telah merasakan betapa paradigma demikian telah membawa negeri ini pada jurang krisis yang paling dalam. Ketertutupan telah menyuburkan praktik korupsi, sementara penyusunan kebijakan tanpa pelibatan publik seringkali merugikan publik itu sendiri.

Kini paradigmanya telah berubah. Paradigma baru tentang tatakelola pemerintahan adalah penerapan prinsip-prinsip transparansi, sehingga muncul partisipasi publik. Dengan demikian akuntabilitas praktik pemerintahan akan terwujud. Tiga pilar tadi - transparansi, partisipasi dan akuntabilitas- telah lama direkomendasikan oleh lembaga-lembaga internasional termasuk badan-badan di bawah naungan PBB. Tiga pilar ini seakan juga telah menjadi semacam konvensi yang digunakan secara universal dalam mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tiga pilar tersebut adalah juga parameter utama dari kesejatian demokrasi. Sebagaimana diketahui, konsep dasar demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Ini artinya, rakyat juga memegang mandat untuk ikut menjalankan pemerintahan. Dengan demikian harus ada komunikasi yang simetris antara pemerintah dengan rakyat. Demokrasi bukan sekadar diwujudkan dalam bentuk pemungutan suara saat pemilu atau pemilihan kepala daerah saja. Jadi, demokrasi sudah bisa dikatakan ideal jika ada keterbukaan informasi dari pemerintah, munculnya partisipasi publik dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Begitu pentingnya demokrasi sehingga Amartya Sen dianugerahi penghargaan Nobel bidang ekonomi pada tahun 1998 berkat risetnya di beberapa negara Asia Selatan dan Sub Sahara, yang menyimpulkan bahwa demokrasi merupakan perangkat penting untuk mengatasi bencana kemiskinan dan kelaparan. Dalam penelitiannya Sen menemukan fakta, kemiskinan timbul bukan semata-mata karena kurangnya bahan makanan, tetapi karena sumber-sumber makanan telah dikuasai oleh penguasa yang otoriter dan tertutup. Kelaparan diakibatkan oleh ketiadaan demokrasi.

Jakarta masih diakui sebagai barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, Jakarta juga masih menjadi cerminan dunia internasional dalam memandang Indonesia. Berdasar pada kenyataan itu semestinya Jakarta dapat memelopori pelaksanaan hakikat demokrasi, yang bukan saja telah menjadi tekad bangsa ini tetapi juga telah menjadi tuntutan masyarakat global. Penerapannya dapat dilakukan dengan mengambil momentum pengembangan dan pengelolaan tatakota, seperti proyek pembangunan busway ini.


Pelembagaan Keterbukaan Informasi

Kultur ketertutupan dalam birokrasi pemerintahan DKI mudah-mudahan dapat benar-benar terkikis seiring dengan pernyataan Fauzi Bowo sesaat setelah dilantik menjadi gubernur. Fauzi menyatakan bahwa dirinya akan bertekad mewujudkan pemerintahan yang transparan. Pernyataan tersebut layak diapresiasi. Namun tekad untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan tidak cukup hanya melalui pernyataan pejabat publik, tetapi sudah saatnya dilembagakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Beruntung, kini di tingkat pemerintah pusat, sedang digodok Rancangan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Dalam rancangan tersebut diatur tentang kewajiban badan publik (instansi pemerintah) untuk menyediakan dan memberikan informasi kepada publik tentang kebijakan yang dibuat beserta dokumen pendukungnya. Pembahasan RUU tersebut sudah hampir selesai.

Jika UU KIP nanti diberlakukan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menyebarkan informasi tentang kebijakan yang diambil. Termasuk pemerintah DKI juga wajib menyebarkan informasi tentang kebijakan pembangunan busway atau proyek-proyek lainnya. UU ini akan bersifat menekan karena ada ketentuan sanksi bagi badan publik yang tidak menyediakan informasi. UU ini juga diharapkan dapat mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. ***

*Telah dimuat di Suara Pembaruan, 5 November 2007

Blunder BUMN dalam RUU KIP

Dalam Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) yang disusun DPR, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) –termasuk juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)- dimasukkan dalam ranah Badan Publik. Dengan demikian, menurut RUU ini nantinya BUMN mempunyai kewajiban-kewajiban untuk mengelola, menyimpan dan melayani informasi publik. Informasi publik di sini adalah informasi yang berkaitan dengan kegiatan, kinerja, termasuk laporan keuangan, hingga kebijakan-kebijakan yang diambil beserta dokumen pendukungnya.

Namun di sisi lain, Pemerintah menolaknya. Pemerintah menginginkan BUMN dikeluarkan dari ranah Badan Publik. Alasan utama yang disampaikan adalah bahwa BUMN merupakan badan usaha yang menjalankan aktivitas bisnis. Jika informasinya terbuka kepada publik, dikawatirkan akan mengganggu kegiatan bisnisnya dan merugikan persaingan usaha tidak sehat (competitiveness). Selain itu, BUMN akan direpotkan dengan kegiatan pelayanan informasi sehingga akan mengganggu aktivitas usahanya.

Dalam pandangan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi, apa yang diusulkan DPR sudah tepat. Mengingat, secara filosofis RUU ini adalah berdasar pada niat untuk mewujudkan hakikat good governance beberapa saat setelah Indonesia memasuki era reformasi. RUU KIP mulai dibahas pada tahun 2001. Dari dasar ini jelas bahwa demi mewujudkan kehendak tersebut maka lembaga atau institusi yang bertanggungjawab atau berkaitan langsung dengan penyelenggaraan negara harus terbuka. Dasar ini sebagai hasil evaluasi terhadap berjalannya Pemerintahan di masa lalu yang cenderung tertutup sehingga membuka peluang terjadinya praktik-praktik korupsi. Jika praktik-praktik korupsi diibaratkan sebagai aliran sungai, maka UU KIP hendak menghentikan praktik ini dari hulunya.

Filosofis ini diperkuat dengan tujuan RUU KIP yang tercantum di dalam pasal 3, yang berbunyi: Undang-undang ini bertujuan untuk: (a) Menjamin terwujudnya akuntabilitas publik dalam proses pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (b) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c) meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik; (d) mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien; (e) mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (g) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Jika dicermati, secara umum UU KIP bertujuan membentuk tatakelola pemerintahan yang bersih dan terbuka (clean and open governance) yang pada akhirnya akan mewujudkan pengelolaan negara yang baik (good governance)

Tidak dapat disangkal bahwa BUMN merupakan institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Fakta ini didasarkan pada UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Bab II Pasal 2 ayat 7 UU ini yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara negara salah satunya meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal tersebut tersirat jelas bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi antara lain Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Fakta yang tidak bisa diingkari juga adalah bahwa di dalam BUMN terdapat sumber keuangan negara yang berasal dari APBN. Dalam konsideran UU No. 19/2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN mempunyai kaitan erat dengan Keuangan Negara. Dari sini sesungguhnya BUMN telah benar-benar menyadari bahwa dirinya mengemban amanat untuk mengelola keuangan negara, yang dalam pelaksanaannya perlu ada kontrol publik agar tidak terjadi penyimpangan. Penggunaan keuangan negara jelas harus dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

Sebenarnya kekawatiran Pemerintah tidak beralasan, karena dalam RUU KIP inipun mengatur soal informasi yang dikecualikan, yakni informasi yang tidak dapat diakses begitu saja oleh publik. Dalam salah satu klausul yang mengatur tentang pengecualian informasi, dinyatakan bahwa termasuk informasi yang dikecualikan adalah informasi yang berkaitan dengan informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Dari suratan klausul ini jelas terpatri tafsir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan persaingan bisnis dilindungi informasinya. Tentu saja, ini termasuk juga persaingan bisnis dalam BUMN. Klausul ini pastinya melindungi competitiveness BUMN dalam menjalankan bisnisnya.

Hingga saat ini tampaknya baik DPR maupun Pemerintah tetap bersikukuh pada pendiriannya masing-masing, sehingga pembahasan tentang hal ini masih deadlock. Dalam kondisi tersebut, isu ini perlu digulirkan ke publik. Sebab, bagaimanapun juga publik jugalah nantinya yang akan terimbas dari diberlakukannya UU ini. Guliran isu ini juga diharapkan dapat menjaring banyak masukan yang dapat dijadikan bahan dalam proses pembahasan. Dengan adanya bahan pertimbangan dari publik ini maka keputusan yang diambil nantinya dapat diterima akal sehat, bukan keputusan yang berdasar pada ego sektoral semata.

Blunder tentang BUMN seharusnya juga tidak perlu terjadi jika dari awal, Komisi I DPR –yang bertanggungjawab membahas RUU KIP- berkoordinasi dengan Komisi VI yang antara lain membidangi BUMN. Koordinasi ini boleh saja dilakukan karena bagaimanapun juga DPR adalah sebuah entitas tersendiri. Kepala Tim Inter-departemen Pemerintah RUU KIP Ahmad Ramli pernah mengatakan bahwa sikap Pemerintah yang ingin mengeluarkan BUMN dari badan publik adalah kesepakatan lintas departemen. Jika Pemerintah begitu kompak, mengapa hal ini tidak terjadi di DPR dengan membuat kesepakatan lintas Komisi, untuk tetap memasukkan BUMN sebagai badan publik?

*Seperti dimuat Media Indonesia, 2 Oktober 2007

Perlu Kepastian dalam Pengembangan Batam

Dari dulu Pulau Batam diberlakukan secara khusus. Perlakuan ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara geografis Batam berada dalam posisi yang strategis. Batam berada dalam lintasan Selat Singapura, salah satu jalur penting perdagangan internasional. Batam juga berbatasan langsung dengan Singapura, sebuah negara niaga yang diperhitungkan dunia. Perlakuan ini nantinya mengarah pada perwujudan Batam sebagai kawasan frontline, yang diyakini dapat menyangga perekonomian nasional.

Perlakuan khusus yang dimaksud adalah pemberlakuan Batam sebagai kawasan berikat (bonded zone), dimana tidak ada pengenaan bea masuk dan pembebasan pajak bagi barang-barang ekspor yang masuk ke wilayah tersebut. Kebijakan ini tak urung berakibat pada semakin maraknya aktivitas investasi serta membanjirnya barang-barang berharga murah. Badan Otorita Batam lalu dibentuk sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam mengelola perizininan serta membangun sarana dan prasarana berkaitan dengan aktivitas investasi.

Secara ekonomis, penerapan Batam sebagai kawasan berikat telah berhasil meningkatkan pendapatan secara signifikan. Dari data Investment Guiedelines Batam Indonesia yang dilansir tim peneliti The Habibie Center menunjukkan bahwa pemasukan devisa meningkat dari tahun ke tahun. Untuk memperlihatkan gambaran besarannya, bisa dilihat pemasukan selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 1992 devisa hasil aktivitas investasi di Batam mencatat nilai 564,5 juta dolar AS, tahun 1997 senilai 4.885,1 juta dolar AS, dan pada tahun 2002 mencapai 5.000 juta dolar AS.

Demikian juga dengan nilai ekspor nonmigas. Jika dibandingkan Provinsi Riau, penerimaan pendapatan dari hasil ekspor nonmigas jauh lebih besar. Lihat saja misalnya nilai ekspor nonmigas tahun 1993, Provinsi Riau hanya mencatat nilai 615 juta dolar AS sementara nilai ekspor Batam mencapai 930 juta dolar AS. Tahun 1997, Provinsi Riau memperoleh nilai 2.312 juta dolar AS, Batam mencapai hingga 4.800 juta dolar AS.

Problematika

Namun demikian bukan berarti kebijakan tersebut tidak menimbulkan masalah. Paling tidak ada dua problem mendasar yang dihadapi. Pertama, pembebasan bea bagi barang masuk telah menimbulkan kekacauan tersendiri. Sebagaimana telah disinggung di depan, pembebasan bea bagi barang yang masuk ke kawasan tersebut hanyalah barang-barang yang dipersiapkan untuk diekspor. Nyatanya, dalam beberapa kasus banyak barang-barang non ekspor juga tidak dikenakan biaya, misalnya saja kendaraan bermotor. Banyak mobil dari luar yang masuk ke Batam dibebaskan dari biaya, padahal mobil-mobil tersebut digunakan untuk operasional perusahaan-perusahaan. Kondisi inilah yang seringkali memunculkan kritik bahwa pemberlakuan kawasan berikat Batam telah kebablasan.

Problem ini berusaha diatasi dengan membuat kebijakan baru. Pada tahun 2003, Pemerintah Pusat mencabut putusan bebas pajak dan bea masuk bagi empat jenis produk: rokok, minuman beralkohol, kendaraan bermotor dan produk elektronik. Kebijakan ini juga diharapkan akan menghindarkan perasaan iri bagi daerah lain.

Problem kedua adalah ketidakjelasan pemasukan yang diterima dari hasil investasi sebagai pendapatan asli bagi daerah Batam sendiri. Terkadang problem inilah yang memunculkan perasaan tidak adil bagi masyarakat Batam. Problem ini berusaha diatasi dengan membuat perangkat hukum baru. Desakan pembentukan Batam sebagai kota yang mempunyai otonomi penuh -bukan kota administratif yang selama ini berjalan- direspons oleh Pemerintah Pusat dengan menerbitkan UU No. 53/1999. Semenjak diberlakukannya UU itu Batam memiliki Pemerintahan Kota yang kedudukannya setara dengan pemerintahan kabupaten/kota di daerah lain. Pemko Batam mempunyai kewenangan untuk mengelola urusan investasi dan industri. Pemko Batam mulai memberlakukan pungutan-pungutan, mulai dari parkir hingga pajak penerangan jalan.

Upaya-upaya mengatasi problem tersebut justru menimbulkan masalah baru, yakni sepinya Batam dari aktivitas investasi karena banyak investor yang hengkang.

Ketidakpastian Hukum

Di tengah kondisi seperti itu, Pemerintah Indonesia menandatangani kerjasama dengan Singapura untuk menjadikan Batam sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus/ Special Economic Zones (KEK/SEZ) selain Pulau Bintan dan Karimun, pada Juni 2006. Untuk melaksanakan perjanjian KEK maka dibentuklah Tim KEK Indonesia di bawah pimpinan Menteri Koordinasi bidang Perekonomian Boediono.

Menurut Sekretaris Tim KEK Bambang Susantono, KEK merupakan suatu kawasan yang diperlakukan khusus namun tetap dalam daerah kepabeanan. Di dalam KEK bisa saja ada kawasan berikat, kawasan industri, serta free trade zone (FTZ). Sedangkan FTZ merupakan kawasan di luar area kepabeanan yang tidak dikenakan bea masuk maupun pajak bagi barang-barang yang keluar masuk di sana. (Tabloid Kontan, Edisi No. 40 Juli 2007)

Saat ini Tim KEK tengah menyusun UU Kawasan Ekonomi Khusus sebagai amanat UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Di sisi lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat terbatas memutuskan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ). Ini artinya, Batam akan menjadi area yang berhubungan dengan ekspor dan dianggap terpisah dari daerah kepabeanan. Barang yang keluar masuk di wilayah itu tidak akan terkena pajak dan bea masuk. Persoalannya kemudian adalah UU Nomor 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas menyatakan bahwa penentuan suatu kawasan FTZ harus melalui Undang-undang. Untuk menyiasatinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1/2007. Namun nyatanya, Perpu itu sendiri tidak otomatis berlaku karena DPR menolak untuk menyetujuinya.

Praktis, kini tidak ada payung hukum yang mengatur tentang pola investasi di Batam. Kondisi ini menyebabkan kegamangan di kalangan investor.


Perlu Kepastian Informasi

Yang tidak kalah penting adalah soal kepastian informasi tentang kondisi-kondisi yang berkembang saat ini. Informasi tentang ketidakpastian hukum itu sendiri bagaimanapun juga perlu diinformasikan kepada publik, utamanya masyarakat Batam sendiri. Informasi diperlukan agar publik dapat melakukan berbagai persiapan berkaitan dengan penetapan Batam sebagai KEK ataupun FTZ. Dengan informasi yang memadai pula, publik bahkan bisa memberikan usulan materi sebagai bahan masukan dalam penyusunan RUU tentang KEK maupun FTZ.

Lalu siapakah pihak yang seharusnya proaktif menyebarkan dan melakukan up date terhadap informasi tersebut? Dalam hal ini kiranya Pemerintahan Kota Batam sendirilah yang mesti giat menyebarkan informasi tentang hal ini. Sebab bagaimanapun juga, Pemko Batamlah yang pada akhirnya akan menanggung berbagai risiko atas pemberlakuan Batam sebagai KEK/FTZ. Dengan aktif menyebarkan informasi, kepercayaan masyarakat Batam terhadap pemerintahannya akan meningkat, sehingga semangat otonomi daerah benar-benar muncul dalam bentuk yang sesungguhnya.

*Dimuat di Suara Pembaruan, 18 September 2007

Pengecualian Informasi dalam RUU KIP

Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi -sekarang RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)- telah membuka harapan bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang dimiliki oleh badan-badan publik, yakni lembaga di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga negara lainnya. Jaminan akses informasi publik ini diyakini akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan beserta kontrolnya sehingga praktik-praktik pemerintahan yang manipulatif dan korup dapat diminimalisir bahkan dihindari.

Dalam RUU KIP secara komprehensif diatur tentang kewajiban badan publik untuk menyediakan informasi tentang segala aktivitasnya, termasuk di dalamnya seluruh kebijakan yang diambil, rencana dan prosedur kerja, serta perjanjian-perjanjian kerja dengan pihak lain. Badan publik wajib memberikan informasi-informasi tersebut jika ada masyarakat yang memintanya. Selain itu badan publik juga wajib mengumumkan secara berkala informasi tentang laporan hasil kinerja badan publik termasuk laporan keuangannya. Jaminan akses informasi publik semakin kukuh karena RUU KIP juga memberikan hak kepada warganegara untuk mengajukan tuntutan kepada Komisi Informasi, bahkan ke pengadilan jika ada badan publik yang menghalang-halangi permintaan informasi. Jika kemudian terbukti bahwa ada pelanggaran semacam itu, badan publik yang bersangkutan dikenakan sanksi denda sebesar 100 juta rupiah.

Pengecualian Informasi

Dalam RUU itu juga diatur tentang pengecualian informasi. Dalam rumusan yang disusun oleh DPR, beberapa informasi yang dikecualikan -sehingga tidak bisa diakses oleh publik- adalah informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat menghambat proses penegakan hukum; dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; dapat merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional; dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional dan kepentingan hubungan luar negeri; dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; dan/atau dapat mengungkap kerahasiaan pribadi.

Masing-masing poin tersebut dijabarkan lagi sehingga menjadi jelas dan lengkap. Informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum misalnya, jabarannya adalah informasi-informasi yang akan menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, akan mengungkap identitas pelapor, saksi, korban dsb, dan informasi yang dapat membahayakan kehidupan penegak hukum beserta keluarganya. Intinya, substansi rumusan tentang pengecualian informasi dalam RUU yang diusulkan DPR sudah cukup komprehensif dan jelas sehingga tidak membuka peluang banyak tafsir di kemudian hari.

Dasar yang dipakai DPR dalam merumuskan klausul tersebut mengacu pada prinsip yang sudah berlaku secara universal, yaitu prinsip konsekuensial (consequential harm principal). Maksudnya adalah suatu informasi dikategorikan rahasia hanya jika di kemudian hari diperkirakan informasi tersebut akan menimbulkan konsekuensi membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Antara satu negara dengan negara lain yang telah memiliki undang-undang semacam KIP tentu saja mempunyai pertimbangan kepentingan yang berbeda. Namun pada umumnya kepentingan-kepentingan yang dilindungi adalah hal-hal yang berkaitan dengan apa yang sudah dirumuskan oleh DPR di atas.

Ketertutupan Informasi

Namun tampaknya harapan masyarakat untuk dapat mengakses informasi publik akan menemui kendala. Pasalnya, Pemerintah memasukkan banyak klausul baru tentang jenis-jenis informasi yang tidak boleh diakses. Klausul tambahan tersebut adalah memorandum atau surat-surat antar instansi atau intra instansi yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain instansi yang sedang melakukan hubungan dengan instansi tersebut; informasi yang terkait dengan rahasia jabatan berdasarkan peraturan internal badan publik; informasi yang sifatnya dirahasiakan berdasarkan peraturan internal badan publik sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya; informasi yang berkait dengan data lembaga keuangan; informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Jika diperhatikan, dalam klausul tambahan tersebut pada umumnya Pemerintah berkeinginan menjadikan peraturan internal badan publik bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu informasi termasuk kategori rahasia atau bukan. Parahnya lagi, Pemerintah juga berharap rahasia jabatan bisa dijadikan sebagai dasar legitimasi seorang pejabat publik untuk menutup informasi. Sudah dapat diduga, akibat yang timbul jika klausul ini lolos adalah seluruh badan publik secara massif akan membuat peraturan-peraturan internal untuk menyatakan bahwa informasi yang dimilikinya tidak bisa diakses oleh publik.

Merasa masih belum cukup, Pemerintah juga menambahkan satu ayat lagi dalam pasal ini yang berbunyi: kewajiban badan publik membuka akses bagi setiap pengguna informasi publik untuk mendapatkan informasi publik dan kekecualiannya serta klasifikasi bentuk, macam dan pengelolaan informasi dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ayat ini adalah cek kosong bagi Pemerintah untuk menerbitkan PP yang akan mengatur suatu informasi dikategorikan rahasia atau terbuka.

Paparan singkat ini ingin menunjukkan betapa Pemerintah masih belum punya itikad serius untuk menjalankan tata pemerintahan yang baik, sebagai salah satu amanat reformasi delapan tahun lalu. Kuasa publik atas penyelenggaraan negara sebagai perwujudan demokrasi yang hakiki pun ingin dihianati. Pemerintah justru sepertinya secara sistematis ingin mengembalikan paradigma keterbukaan menjadi ketertutupan. Dugaan ini tidaklah berlebihan jika dikaitkan dengan kehendak Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Meskipun revisi tersebut telah dibantah sendiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh, namun nyatanya UU Pers hasil revisi Pemerintah –yang penuh dengan nuansa kekangan terhadap pers- telah beradar luas ke publik. Nyatanya juga, Departemen Komunikasi dan Informatika pernah membuka kesempatan kepada publik untuk mengikuti lelang tentang kajian hukum dalam rangka revisi Undang-Undang Pers. Pengumuman lelang tertanggal 16 April 2007 tersebut salah satunya termuat dalam harian Suara Pembaruan edisi 20 April 2007.

Dugaan bahwa Pemerintah menghendaki ketertutupan diperkuat dengan disusunnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Dalam draft yang disusun oleh Departemen Pertahanan itu samasekali tidak memaparkan secara tegas apa yang dimaksud dengan rahasia negara. Semua instansi pemerintah, menurut RUU tersebut, dapat menentukan sendiri informasi yang termasuk sebagai rahasia negara.

Bagian tentang pasal pengecualian informasi RUU KIP, saat ini tengah dibahas oleh Panitia Kerja –gabungan dari separuh anggota Komisi I DPR dan Pemerintah yang diwakili antara lain oleh unsur-unsur dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pertahanan, dan Badan Intelijen Negara. RUU Rahasia Negara telah lama dikirimkan ke DPR, dan saat ini tiap-tiap fraksi telah membuat daftar inventarisasi masalah (DIM). Artinya, dalam waktu dekat RUU Rahasia Negara kemungkinan akan segera dibahas. Dalam proses-proses legislasi tersebut perlu pemantauan dan tekanan publik agar era ketertutupan tak terulang kembali.***

*Seperti dimuat di Harian Suara Pembaruan, 26 Juli 2007

Bencana dan Kebutuhan Informasi


Bencana datang beruntun menimpa negeri ini. Belum selesai program rehabilitasi akibat tsunami di Aceh dan Nias, datang lagi tsunami di Pantai Pangandaran. Gempa juga memorakporandakan sebagian Jogja dan Jateng. Tahun ini, gempa dahsyat kembali terjadi di belahan Sumatera Barat. Banjir ikut menenggelamkan bagian besar wilayah di Jakarta. Itu hanya bagian kecil yang bisa disebutkan, dan itu baru bencana yang disebabkan oleh fenomena alam.


Belum lagi bencana-bencana lain yang diakibatkan ketidakcermatan manusia dalam memanfaatkan teknologi. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah semburan lumpur gas di Sidoarjo, raibnya pesawat Adam Air, tenggelamnya kapal Senopati, serta terbakarnya kapal Levina dan pesawat Garuda. Apapun penyebabnya, bencana selalu menelan banyak korban.


Seluruh fenomena yang tidak kita harapkan itu dapat tampil dengan mudah begitu saja di hadapan kita. Itu semua karena peranan media massa: cetak, audiovisual maupun internet. Seluruh informasi yang disampaikan media bisa menjelaskan kronologi kejadian, kerusakan yang ditimbulkan, hingga jumlah korban luka-luka maupun meninggal. Informasi tersebut menjadi berguna, utamanya bagi mereka yang ingin mengetahui kondisi sanak famili yang kebetulan tertimpa. Berarti juga bagi semua orang yang sekadar ingin tahu sampai mereka yang hendak menyampaikan simpati. Hingga kemudian kita dapat merasakan efek ‘dahsyat’ pemberitaan bencana yakni lahirnya rasa solidaritas. Kita masih ingat betapa banyak bantuan yang mengalir saat media mulai banyak memberitakan tsunami Aceh.


Mengingat begitu pentingnya peran media, maka kredibilitasnya mesti terjaga. Kuncinya adalah media harus dapat menjamin bahwa informasi yang disampaikan itu berasal dari data yang akurat. Di sinilah kemudian kebutuhan akan informasi bagi wartawan menjadi penting.


Fact is Sacre, Comment is Real


Keyakinan yang dimiliki oleh media selama ini adalah bahwa fakta itu sakral dan komentar itu nyata. Artinya, fakta-fakta yang ditampilkan tidak boleh diubah seenaknya sendiri karena dia sakral. Demikian juga komentar yang disajikan tidak boleh direkayasa karena dia nyata. Fakta bisa diperoleh langsung oleh wartawan melalui observasi. Sementara komentar merupakan pendukung dari fakta yang disaksikan oleh wartawan, atau jika wartawan luput melihat fakta bisa diwakili oleh komentar para saksi dan para pihak yang berkompeten dan berwenang. Itu semua bisa menjadi berita asalkan komentar-komentar itu ditampilkan apa adanya.


Pada kasus pemberitaan penemuan pesawat Adam Air di pedalaman Sulawesi Barat lengkap dengan data korban, sepenuhnya bukan kesalahan media. Sebab, media mengutip komentar Hatta Radjasa yang memang posisinya Menteri Perhubungan. Dalam jabatannya itu Hatta punya wewenang untuk berkomentar. Bahwa kemudian ternyata berita itu salah adalah karena Menteri Perhubungan tidak melakukan pengecekan secara akurat sebelum menyatakan komentarnya. Beritanya kemudian menjadi simpang siur hingga para keluarga korban merasa dipermainkan oleh Pemerintah.


Kebutuhan informasi yang begitu mendesak membuat wartawan mengambil langkah cepat dengan mewawancari narasumber. Namun demikian, di lain sisi wartawan juga mesti aktif menggali informasi bukan sekadar mengutip pernyataan.


Informasi Publik


Di luar informasi melalui media, sebenarnya ada kebutuhan akan informasi yang lebih penting, yakni informasi publik. Informasi publik merupakan informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan-badan publik atau lembaga pemerintah yang menyangkut kepentingan warganegara. Dalam konteks bencana, tanpa melalui media pun sebenarnya masyarakat bisa langsung mendapatkan informasi dari instansi yang berwenang.


Informasi bencana penting bukan saja sekadar untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat soal bencana itu sendiri, tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan potensi-potensi bencana yang mungkin bakal terjadi. Dengan ini diharapkan publik dapat melakukan antisipasi sehingga dapat meminimalkan jumlah korban.


Dalam kasus bencana alam, Pemerintah harus memberikan informasi tentang kondisi struktur tanah di suatu daerah yang berpotensi gempa, prakiraan cuaca, antisipasi yang mesti dilakukan hingga informasi tentang upaya mengatasi dampak yang ditimbulkan. Informasi-informasi tersebut harus disebarkan tanpa adanya permintaan dari masyarakat, atau media massa.


Demikian juga dengan bencana-bencana teknis, instansi pemerintah yang berkaitan harus menyampaikan kepada masyarakat tentang kondisi teknologi. Pada kasus kegagalan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Pemerintah hendaknya menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi-kondisi teknis yang dimiliki oleh Lapindo, dengan demikian masyarakat tahu sejauhmana kelayakannya. Selain itu Pemerintah hendaknya menyampaikan informasi soal hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebelum proses eksplorasi. Jika masyarakat tahu bahwa teknologi yang digunakan ternyata tidak layak dan hasil Amdal ternyata tidak memenuhi persyaratan maka mereka dapat mencegah proses pengeboran sehingga tragedi “kuala lumpur” dapat dihindarkan.


Saat semuanya sudah terlanjur seperti sekarang ini, masyarakat tidak dapat melakukan apa-apa selain menuntut ganti rugi, dan itupun banyak kendala di lapangan. Proses penanggulangan semestinya juga dilakukan secara transparan. Tim Nasional Penanggulangan bentukan Pemerintah mesti membuka seluas-luasnya informasi tentang proses dan kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya. Nyatanya, masyarakat kini tidak tahu kapan lumpur itu akan berhenti menyembur.


Demikian juga dalam hal pengelolaan informasi soal teknologi transportasi. Pemerintah mestinya membuka informasi seluas-luasnya tentang kondisi alat-alat transportasi yang dioperasikan. Dengan informasi itu masyarakat dapat menentukan pilihan. Dalam kondisi ketertutupan seperti sekarang ini masyarakat tidak tahu apakah alat transportasi yang digunakan berpotensi celaka atau tidak. Masyarakat tidak tahu bahwa alat transportasi tersebut sejatinya adalah “peti mati” bagi jenazah mereka sendiri.


Setelah kecelakaan terjadi pihak yang berwenang pun tidak mampu menjawab apa penyebabnya. Dalam banyak kasus kecelakaan transportasi, jawaban Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hampir tidak memuaskan.


Begitu pentingnya informasi tentang bencana bagi kehidupan masyarakat, maka desakan terhadap badan publik untuk menyampaikan informasi mesti dilakukan. Sampai pada titik ini keberadaan Undang Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) menjadi penting. Dalam draft RUU-nya, yang kini tengah dibahas DPR, salah satunya mengatur tentang kewajiban badan-badan publik untuk menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik diminta atau tidak. UU KMIP juga mengharuskan badan publik untuk menyampaikan informasi secara akurat, sebab jika tidak pejabat badan publik yang bersangkutan akan dikenai sanksi.


Jika UU KMIP berlaku, maka tidak ada alasan bagi badan publik untuk mengelak tidak menyampaikan informasi tentang bencana, juga tidak ada kesimpangsiuran berita seperti pada kasus Adam Air. Dengan demikian kerugian yang diakibatkan tidak terlalu besar, bahkan bisa saja bencana itu sendiri dapat dicegah ***


*Seperti dimuat Harian Jurnal Nasional, 27 Maret 2007

Aceh dalam Belitan Dilema Bantuan

Sebuah Refleksi

Gempa dan tsunami yang melanda Aceh begitu dahsyat sehingga menghancurkan hampir setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Bantuan dari berbagai penjuru dunia berdatangan dan dirasa sangat membantu mengembalikan mereka dari keterpurukan. Namun di sisi lain, setelah 2 tahun lebih berjalan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, bantuan tersebut menimbulkan dilema tersendiri.

Paling tidak ada beberapa masalah berdasarkan pengamatan yang saya lakukan. Pertama, bantuan dari pemerintah melalui BRR, NGO lokal/asing, lembaga PBB maupun lembaga donor lainnya telah menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat korban. Kecemburuan sosial ini muncul terutama dalam soal bantuan perumahan. Rumah yang dibangun di suatu desa/kampung ternyata tidak seragam, karena lembaga donornya pun berbeda-beda. Perlu diketahui bahwa tiap-tiap lembaga donor mempunyai kebijakan dan dana yang beragam pula.

Rasa cemburu yang begitu besar dimiliki terutama oleh masyarakat yang menerima bantuan saat awal-awal rekonstruksi. Pada saat itu memang masyarakat korban sangat membutuhkan rumah, ketimbang berlama-lama tinggal di barak maupun tempat pengungsian lainnya. Oleh karena itu, mereka sangat senang ketika ada lembaga donor yang akan memberikan bantuan rumah. Namun bantuan saat itu terbatas. Artinya, lembaga donor tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah seluruh kepala keluarga. Paling-paling lembaga donor hanya membangun separuh, bahkan sepertiga dari jumlah kepala keluarga yang ada. Rumah yang disediakan pun amat sederhana, ada yang hanya terbuat dari kayu dan semipermanen dengan material alakadarnya.

Seiring berjalannya waktu, masuk lembaga donor lain ke desa tersebut untuk melengkapi sisanya. Biasanya, lembaga donor yang masuk belakangan mempunyai dana yang lebih besar sehingga rumah yang dibangun pun lebih bagus dari rumah yang didirikan oleh lembaga donor sebelumnya. Demikian seterusnya... Rasa cemburu yang terus berlarut tentu akan mengganggu kehidupan mereka sendiri dalam bermasyarakat di komunitasnya!

Kedua, muncul fenomena “korupsi berjamaah” di tingkat masyarakat dalam bentuk rekayasa data. Seperti diakui sendiri oleh seorang warga di Meuraxa, Banda Aceh, dia sebagai lajang mendapat bantuan rumah dari BRR, demikian juga dengan seorang adiknya yang masih lajang pula. Sementara, orangtuanya telah mendapatkan rumah terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena mereka yang masih lajang melakukan rekayasa Kartu Keluarga dengan mengubah statusnya menjadi Kepala Keluarga. Warga tadi menyadari bahwa rekayasa yang dilakukannya salah, tetapi hal itu menurutnya sudah lumrah di Banda Aceh. Parahnya, perilaku manipulatif ini telah menyebar ke tempat-tempat lain. Semestinya jika bicara soal skala prioritas, bantuan rumah hendaknya diberikan hanya kepada kepala keluarga, bukan mereka yang masih lajang yang sebelum tsunami tinggal bersama orang tua mereka.

Rekayasa juga dilakukan oleh warga luar desa. Mereka bisa memperoleh bantuan rumah hanya karena mereka memiliki tanah di desa tersebut. Dengan merekayasa Kartu Keluarga mereka mendapatkan rumah di atas tanah milik mereka itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa rekayasa data itu dengan mudah bisa dilakukan? Banyak pihak menyatakan, itu terjadi karena perekayasa tadi dekat dengan kekuasaan, dalam hal ini adalah Kepala Desa (Keuchik). Kedekatan dalam arti masih ada hubungan kekerabatan, kedekatan juga dibangung dengan cara melakukan suap. Meskipun kebenaran pernyataan ini perlu dicek lagi, tapi nyata bahwa yang punya wewenang mengurusi administrasi warga –termasuk Kartu Keluarga- adalah Keuchik.

Akhirnya rekayasa itu kembali memunculkan rasa cemburu bagi warga korban yang belum mendapatkan bantuan rumah hanya karena mereka tidak punya akses leluasa kepada Keuchik.

Ketiga, persoalan lain yang muncul akibat banyaknya bantuan adalah terbentuknya sikap mental masyarakat menjadi mudah “menengadahkan tangan”. Ini bisa dirasakan ketika ada orang luar yang masuk ke suatu desa, warga menganggap mereka akan memberi bantuan. Ini saya alami sendiri ketika saya bersama beberapa teman memasuki beberapa desa di Banda Aceh, Pidie dan Bireuen. Jelas-jelas, ini telah mengubah sifat asli masyarakat Aceh yang pada dasarnya suka berderma, seperti dinyatakan oleh Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh saat wawancara dengan saya. Sifat ini dapat kita lihat secara nyata saat awal-awal kemerdekaan, dimana masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang kemudian kita kenal sebagai cikal bakal penerbangan niaga kita.

Solusi

Jika persoalan-persoalan tersebut tidak segera diatasi, masyarakat Aceh yang baru saja mentas dari bencana besar dan konflik berkepanjangan akan kembali terjerembab dalam kubangan masalah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebelum kubangan itu menjadi lebih dalam. Pertama, BRR sebagai pemegang mandat Pemerintah Pusat mesti tegas dalam mengkoordinir lembaga-lembaga donor yang beroperasi di Aceh. BRR semestinya memberikan acuan yang jelas dan tegas soal standar rumah yang dibangun. Memang, sikap tegas ini pasti akan ditentang oleh lembaga-lembaga donor itu sendiri. Sebab bagaimanapun juga, mereka punya keinginan untuk mempertahankan reputasi dengan memberikan bantuan rumah yang bagus. Dengan demikian standar BRR tentu akan dianggap mengganggu reputasi, yang otomatis juga akan mengganggu eksistensi mereka sendiri.

Rebutan eksistensi lembaga-lembaga donor sudah menjadi rahasia umum di Aceh. Lembaga-lembaga donor bersaing satu sama lain untuk memberikan bantuan sebagus-bagusnya, sementara efek-efek negatif seperti kecemburuan sosial tadi tidak mereka perhatikan. Padahal jika mereka serius membantu seharusnya bukan dalam bentuk fisik semata, tetapi persoalan-persoalan sosial yang muncul mesti diperhatikan pula. BRR diuji untuk menertibkan eksistensi-eksistensi yang tidak perlu itu.

Kedua, BRR harus kembali merekonstruksi rumah-rumah yang dibangun saat awal-awal rekonstruksi sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Ketiga, Pemerintah Aceh harus berani memberikan sanksi bagi aparat desa yang terbukti melakukan rekayasa dan manipulasi data. Demikian juga saat akan memberikan bantuan, BRR harus benar-benar ketat dalam verifikasinya sehingga tidak salah sasaran.

Keempat, yang paling penting adalah Pemerintah Aceh harus tegas memberikan batas waktu bagi lembaga-lembaga donor untuk tidak lagi beroperasi. Pemerintah Aceh sudah harus yakin dengan kemampuannya sendiri untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Jika tidak maka masyarakat Aceh akan terus menggantungkan harapan mereka pada pihak-pihak lain, bukan pada pundak mereka sendiri.***

*Berdasarkan riset untuk pembuatan film dokumenter "Bulan Setengah di Atas Aceh" kerjasama Yayasan SET dengan Transparansi Internasional-Indonesia, Februari 2007.