DPR melalui Komisi I akhirnya mengembalikan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) kepada Pemerintah akhir Mei lalu. Alasan kuat yang mendasari sikap DPR ini adalah karena RUU RN memberikan mandat yang begitu luas kepada instansi pemerintah/otoritas negara untuk melakukan klaim rahasia negara secara sepihak dan sewenang-wenang atas informasi dan benda yang dimilikinya, serta aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian RUU RN berpotensi mengembalikan rezim keterbukaan yang sedang kita perjuangkan bersama semenjak era reformasi, menuju rezim ketertutupan ala Orde Baru.
Dapat dinyatakan bahwa RUU RN mencerminkan paradigma pemerintahan Orde Baru yang cenderung tertutup dan otoriter. Pernyataan ini tidak berlebihan, sebab secara kronologis RUU RN memang mulai digodok pada saat pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Data dari Departemen Pertahanan menunjukkan bahwa penggodokan RUU RN mulai dilakukan pada tahun 1994. Setelah melalui berbagai kajian di internal Dephan, draft awal RUU RN kemudian terbit pada akhir tahun 1997. Belum lagi draft itu diserahkan ke DPR, konstelasi politik terlanjur berubah seiring tumbangnya kekuasaan Soeharto yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru. Maka semenjak itu perjalanan RUU RN pun terhenti dan mengalami kevakuman.
Namun setelah dua tahun perjalanan reformasi, tepatnya akhir tahun 2000, wacana RUU RN dimunculkan oleh Lembaga Sandi Negara (LSN) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR. Saat itu LSN meminta izin kepada Komisi I untuk kembali menggodok RUU RN. Komisi I tampaknya memberikan lampu hijau, karena LSN telah berkomitmen bahwa RUU RN akan disesuaikan dengan paradigma baru. Kemudian Pemerintah melalui Dephan bersama dengan LSN melakukan kajian terhadap RUU RN, termasuk kembali menyusun naskah akademik dan melakukan penelitian hukum. September 2006 draft RUU RN final dan diserahkan ke DPR melalui Surat Presiden. Namun demikian ternyata materi yang terkandung dalam draft RUU RN –yang katanya akan disesuaikan dengan paradigma baru itu- semangatnya masih sama dengan draft RUU RN yang dihasilkan pada tahun 1997.
Draft RUU RN versi Pemerintah sama sekali tidak reformis meskipun dalam salah satu konsiderannya mencantumkan Pasal 28F UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa pasal tersebut mengatur tentang hak publik untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan media apapun. Tetapi kenyataannya RUU RN justru menutup peluang bagi publik untuk melakukan aktivitas yang diamanatkan dalam Pasal 28F. Tampaknya pencantuman Pasal 28F sebagai konsideran dalam RUU RN hanya sekadar kamuflase belaka, untuk mengesankan bahwa RUU RN telah disesuaikan dengan paradigma reformasi.
Lalu bagaimanakah sebenarnya substansi yang terkandung dalam draft RUU RN? Untuk lebih menggambarkan secara sistematis bagaimana RUU RN memberikan mandat secara luas kepada instansi/otoritas negara untuk melakukan klaim rahasia negara, dapat dilihat mulai Bab I tentang Ketentuan Umum yang mendefinisikan rahasia negara. Pada pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Rahasia negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini ...”. Mekanisme penetapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud di atas selanjutnya diatur dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Kerahasiaan Negara.
Pada Pasal 12 Bab IV disebutkan bahwa pedoman rahasia negara meliputi pedoman umum dan pedoman teknis. Pedoman umum merupakan pedoman tentang rahasia negara di tingkat nasional yang disusun oleh lembaga non-departemen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang persandian bersama dengan instansi terkait. Sedangkan pedoman teknis adalah pedoman di tingkat instansi yang berisi rincian daftar rahasia negara milik instansi yang bersangkutan. Nah, di sinilah titik krusialnya. Pada bagian ini tidak ada bagian yang menjelaskan instansi mana saja yang dimaksud. Ketidakjelasan inilah yang akan membuka peluang bagi semua instansi pemerintah untuk menentukan kerahasiaan negara. Pada praktiknya nanti semua instansi pemerintahan dari lembaga kepresidenan hingga kelurahan dapat melakukan klaim rahasia negara.
Pedoman umum dan pedoman teknis tersebut di atas dimaksudkan untuk menguraikan jenis-jenis rahasia negara yang ruang lingkupnya telah disebutkan dalam pasal 4. Ruang lingkup rahasia negara dimaksud adalah pertahanan dan keamanan negara; hubungan luar negeri; proses penegakkan hukum; ketahanan ekonomi nasional; persandian negara; intelijen negara; dan pengamanan aset vital negara. Penentuan ruang lingkup ini juga membahayakan karena terlalu luas, tidak rinci.
Memang terdapat rumusan yang menjelaskan tiap-tiap poin tersebut. Misalnya, poin pertama dijelaskan bahwa yang dimaksud rahasia negara di bidang pertahanan dan keamanan negara antara lain: persenjataan, perbekalan, peralatan tempur dan penemuan teknologinya beserta riset pengembangan. Tetapi penjelasan tersebut masih membuka peluang multitafsir. Penyebutan frasa “antara lain” menunjukkan bahwa di luar hal yang disebutkan itu, terbuka kemungkinan akan dimasukkan hal-hal lain kedalam kategori rahasia negara. Ini artinya semua hal bisa saja dikategorikan sebagai rahasia negara.
Kini draft RUU RN kembali berada di tangan Pemerintah. DPR memberikan waktu tiga bulan kepada Departemen Pertahanan untuk memperbaikinya. Tidak terlalu jelas hal-hal apa saja yang mesti diperbaiki. Namun jika melihat rumusan materi yang terkandung di dalam draft RUU RN yang ada sekarang, tampaknya Dephan harus merombaknya secara total. Seiring dengan itu, Dephan juga harus membangun paradigma yang kuat untuk mendasari penyusunan draft yang baru. Durasi tiga bulan jelas tidak mencukupi untuk melakukan perbaikan secara mendasar.
Daripada memaksakan diri untuk tetap meloloskan RUU RN, lebih baik Pemerintah mengoptimalkan perangkat hukum yang ada, yang sudah cukup memadai bagi pengaturan tentang perahasiaan negara. Beberapa produk hukum yang dapat dimanfaatkan salah satunya adalah KUHP. Dalam KUHP Buku Kedua Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara kurang lebih terdapat 10 pasal yang mengatur tentang rahasia negara. Salah satunya adalah yang tercantum dalam Pasal 113 angka 1 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja, untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan, atau memberitahukan maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat-surat, peta-peta, rencana-rencana, gambar-gambar atau benda-benda yang bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau isinya, bentuknya atau susunannya benda-benda itu diketahui olehnya, diancam dengan pidana penjara...”.
Produk hukum lain yang dapat dimanfaatkan adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU No. 14/2008 yang baru disahkan April lalu itu telah sangat jelas dan tegas mengatur suatu informasi menjadi terbuka atau rahasia. Jadi sebenarnya di dalam UU KIP juga telah diatur tentang substansi rahasia negara. UU KIP jelas-jelas tidak dapat memberikan peluang kepada siapapun, termasuk instansi negara untuk melakukan klaim rahasia negara secara sepihak.
Alasan yang selalu dikemukakan dan dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk terus meloloskan RUU RN adalah karena menurutnya selama ini tidak ada produk hukum yang memadai yang mengatur tentang kerahasiaan negara. Alasan lain adalah, dengan adanya UU RN nantinya tidak ada lagi penyalahgunaan kewenangan dalam menentukan kerahasiaan negara. Dengan memperhatikan KUHP dan UU KIP seperti disebutkan di atas maka alasan-alasan tersebut menjadi tidak relevan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar