Selasa, Januari 01, 2008

Substansi RUU KIP yang Mengkhawatirkan

DPR kembali gagal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) pada masa sidang November-Desember 2007. Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran publik karena target pengesahan selalu tertunda. Padahal UU ini lama ditunggu kehadirannya sebagai perangkat untuk menjamin akses publik terhadap informasi yang dimiliki oleh badan publik. UU ini juga nantinya yang akan menjadi penekan bagi badan publik yang enggan melayani permintaan informasi.

Keterbukaan informasi sangat penting. Tidak dapat dipungkiri bahwa ketiadaan informasi merupakan pupuk bagi suburnya praktik-praktik korupsi dan pelanggaran HAM. Paling tidak, itulah yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru lalu. Dengan informasi yang dimiliki, publik nantinya dapat melakukan pengawasan terhadap proses penyelenggaraan negara. UU KIP dapat mewujudkan tatapemerintahan yang lebih akuntabel.

Namun di sisi lain, tertundanya pengesahan layak disyukuri. Pasalnya, dalam materi RUU KIP hasil kesepakatan terakhir antara Tim Perumus DPR dan Pemerintah, ditemukan substansi yang justru tidak selaras dengan semangat kebebasan informasi itu sendiri. Dengan demikian, masih ada waktu bagi publik untuk mengingatkan Tim Perumus agar substansi tersebut dapat dicermati, dan dibahas lagi pada sidang yang akan digelar awal tahun ini.

Dua substansi yang mengkhawatirkan tersebut adalah pertama, soal ketentuan sanksi.. RUU KIP mengatur tentang sanksi bagi publik yang dianggap menyalahgunakan informasi publik dan/atau penyimpangan pemanfaatan informasi. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 49 tersebut berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan informasi publik dan/atau melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana ....” Pada pasal 5 ayat (1) dinyatakan: “Pengguna informasi publik wajib menggunakan Informasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sanksi ini terasa janggal, karena suatu informasi yang sudah terbuka tidak mungkin disalahgunakan. Penyalahgunaan hanya mungkin terjadi pada informasi rahasia yang sifatnya tertutup. Informasi yang tertutup bisa saja dimanfaatkan oleh orang untuk melakukan pemerasan, penipuan, dan berbagai tindak pidana lainnya.

Ketentuan sanksi ini hanya akan menimbulkan ketakutan bagi peminta informasi. Katakanlah misalnya seseorang telah meminta dan mendapatkan informasi, kemudian informasi tersebut tersebar luas. Di kemudian hari, ternyata ada pihak yang merasa tidak suka dengan informasi tersebut, maka peminta informasi dapat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan informasi publik. Sudah pasti publik menjadi enggan dan takut melakukan permintaan informasi.

Selain mengancam hakikat keterbukaan informasi itu sendiri, ketentuan sanksi semacam ini juga tidak konstitusional. Pasal 28 F UUD 1945 menjamin rangkaian hak setiap orang atas informasi mulai dari mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah sampai dengan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jadi, menyampaikan informasi dilindungi oleh konstitusi, sehingga akan tidak wajar jika kemudian aktivitas ini diancam dengan sanksi. Apabila ketentuan ini masih dipertahankan, UU KIP nantinya akan sangat mudah digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Norma yang dirujuk oleh ketentuan sanksi dalam Pasal 49 tersebut adalah Pasal 5 ayat (1). Memperhatikan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) di atas, sanksi atas penggunaan informasi semestinya melekat pada peraturan perundang-undangan tersebut, bukan RUU KIP ini. Menempatkan sanksi atas penyalahgunaan informasi dalam RUU KIP merupakan tindakan yang kontraproduktif.

Substansi kedua adalah tentang ketidakmandirian Komisi Informasi (KI). Pada Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dinyatakan bahwa KI adalah lembaga yang dibentuk sebagai badan mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan pedoman teknis pelayanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi.

Namun dalam ketentuan selanjutnya, justru terkandung materi yang justru menggambarkan ketidakmandirian KI. Pertama, komposisi anggota KI mencerminkan wakil Pemerintah selain wakil masyarakat (Pasal 24). Sebagai lembaga yang berfungsi menyelesaikan sengketa, tak lazim jika ada perwakilan Pemerintah di sana. Sebab, dalam praktiknya nanti yang terlibat dalam persengketaan adalah badan publik Pemerintah. Dengan komposisi keanggotaan semacam itu akan sangat sukar mendapatkan keputusan KI yang objektif. Lagipula, anggota KI dari unsur Pemerintah ini tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR. Dalam Pasal 28 Ayat (2) dinyatakan bahwa rekrutmen calon anggota KI dari unsur masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka, fair dan objektif. Selanjutnya dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan bahwa calon anggota KI Pusat hasil rekruitmen sebagaimana dimaksudkan pada pasal 28 ayat (2) diajukan kepada DPR oleh Presiden sejumlah 21 orang calon. Tidak ada satupun klausul yang menyatakan bahwa calon anggota KI dari unsur Pemerintah diajukan kepada DPR. Dominasi Pemerintah atas KI akan menyebabkan segala implementasi tentang UU ini tergantung pada kebijakan Pemerintah. KI hanya akan membela kepentingan badan publik untuk tidak membuka peluang bagi publik untuk mendapatkan akses informasi.

Kalaupun mau mensyaratkan unsur, lebih baik jika didasarkan pada profesionalisme, misalnya unsur praktisi hukum, praktisi komunikasi dan informasi, hakim, dan sebagainya.

Hal kedua yang mencerminkan ketidakmandirian KI adalah berkaitan dengan dukungan administratif, keuangan dan tatakelola. Keseluruhan dukungan tersebut dilaksanakan oleh Sekretariat, sementara kesekretariatan sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah (Pasal 27). Sekretaris KI ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang Komunikasi dan Informatika.

Ketiga, peraturan pelaksanaan KI harus dibawah Peraturan Pemerintah (Pasal 24 huruf (c)/Keputusan Rapat Kerja tanggal 20 Februari 2007). Keputusan ini seperti mengada-ada, karena pada pembahasan terakhir disepakati bahwa Peraturan Pemerintah hanya akan mengatur tentang batas waktu informasi yang dikecualikan dan tentang pengaturan ganti rugi bagi badan publik yang terkena sanksi. (Keputusan Rapat Tim Perumus tanggal 15 September 2007).

Keberadaan Peraturan Pemerintah, selain mereduksi kemandirian KI, juga dikhawatirkan akan memangkas kewenangan KI yang lebih luas. Preseden semacam ini telah terjadi pada Komisi Penyiaran. Seharusnya, semua mandat tentang petunjuk kerja KI langsung dirumuskan dalam RUU.

Substansi yang mengkhawatirkan ini mudah-mudahan dapat ditinjau kembali baik oleh DPR maupun Pemerintah, untuk kemudian dapat diubah, diselaraskan dengan semangat keterbukaan informasi. Sehingga, harapan publik akan keterbukaan informasi akan benar-benar terwujud.***