Para jurnalis dan berbagai pihak yang concern terhadap kemerdekaan pers menempatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai salah satu produk hukum yang akan mengancam kehidupan media.
Paling tidak ada dua klausul yang menjadi dasar atas pandangan tersebut. Pertama, klausul yang mengatur soal pengecualian informasi. UU KIP, selain mengatur soal kategori dan jenis informasi yang wajib dibuka kepada publik, juga membatasi publik untuk mengakses informasi tertentu. Lebih lanjut, beberapa kategori yang tidak sembarangan dibuka diatur dalam Pasal 17. Ada 10 kategori informasi yang tidak termasuk sebagai informasi publik, yakni: 1) informasi yang dapat menghambat proses penegakkan hukum; 2) informasi yang dapat mengganggu perlindungan kepentingan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan persaingan usaha yang tidak sehat; 3) informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; 4) informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam Indonesia; 5) informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; 6) informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; 7) informasi yang dapat mengungkap isi akta otentik yang bersifat pribadi dan wasiat pribadi seseorang; 8) informasi yang dapat mengungkap rahasia pribadi; 9) memorandum atau surat-surat antar badan publik; dan 10) informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-undang.
Dalam workshop yang diikuti oleh beberapa jurnalis dari berbagai media yang diselenggarakan Yayasan SET pada 26-27 Februari 2009 terungkap, jurnalis merasa terbelenggu gerak aktivitasnya dengan adanya pembatasan yang diatur dalam Pasal 17 tersebut. Dengan adanya ketentuan bahwa informasi tentang kekayaan alam tidak bisa dibuka misalnya, maka akses jurnalis yang hendak memberitakan potensi kekayaan alam di Indonesia akan terhambat. Padahal bisa jadi informasi semacam itu sangat dibutuhkan oleh publik berkaitan dengan kepentingan bisnis maupun investasi. Ironisnya, justru perusahaan tambang asing dengan sangat mudah mendapatkan informasi tersebut sehingga dengan mudah pula mereka melakukan eksploitasi. Jika jurnalis tetap memaksakan diri memperoleh informasi tersebut, lalu menguasai dan mempublikasikannya, jerat sanksi akan menunggu di depan mata.
Sanksi tentang pembocoran informasi yang dikecualikan ini diatur dalam pasal 54. Sanksinya mulai dari pidana penjara 2-3 tahun hingga denda senilai Rp 10 juta – Rp 20 juta. Subjek hukum yang diterapkan dalam ketentuan sanksi itu adalah “setiap orang”. Jadi kalau suatu media mempublikasikan informasi yang dianggap rahasia, yang akan terkena sanksi adalah jurnalisnya.
Persoalan kedua adalah adanya ketentuan sanksi bagi setiap orang yang menyalahgunakan informasi. Pada pasal 51 dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum akan dikenai pidana penjara selama setahun dan denda sebanyak Rp 5 juta. Lagi-lagi, sanksi ini pasti akan menjerat jurnalis. Mengingat, jurnalislah yang paling banyak memanfaatkan informasi publik dimaksud. Jika di kemudian hari ada pihak yang tidak suka dengan pemberitaan suatu media, maka dia dapat menuntut jurnalis yang menulis dengan dalih telah menggunakan informasi secara melawan hukum. Ketentuan sanksi ini akan semakin memperpanjang daftar nama jurnalis yang diseret ke meja hijau karena aktivitas jurnalistiknya. Asumsi ini tidak berlebihan, karena para penegak hukum masih banyak yang cenderung menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP ketimbang berdasar pada UU No. 40/1999 tentang Pers.
Maka, para peserta workshop merekomendasikan untuk mengajukan judicial review atas pasal-pasal bermasalah tersebut. Namun ada catatan yang mengiringinya. Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah, pengajuan JR harus dilakukan secara cermat dan hati-hati serta harus dilengkapi dengan materi yang mendukung argumentasi sehingga dapat meyakinkan hakim konstitusi. Sebab jika itu diabaikan, khawatir JR akan dimentahkan.
Lepas dari agenda JR, sebenarnya ada beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang cukup progresif, yang mengatur lebih lanjut ketentuan yang tertuang dalam pasal 17. Pada pasal 19 misalnya, secara implisit dinyatakan di sana bahwa badan publik tidak boleh semena-mena mengecualikan suatu informasi. Badan publik harus melakukan uji konsekuensi terhadap suatu informasi sebelum mengatakan bahwa informasi tersebut rahasia. Yang kemudian perlu didorong adalah bagaimana badan-badan publik tersebut dapat melakukan uji konsekuensi secara terbuka, sehingga proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Di sinilah peran jurnalis sangat diperlukan. Lalu pada pasal 20 dinyatakan bahwa pengecualian informasi tidak bersifat permanen, tetapi sementara.
Kemudian jika ditinjau secara lebih jeli terhadap ketentuan sanksi pada Pasal 54, sebenarnya di situ dapat ditafsirkan bahwa, yang terkena sanksi adalah setiap orang yang “tanpa hak” melakukan akses terhadap informasi yang dikecualikan. Padahal menurut UU Pers, jurnalis diberikan hak untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, termasuk informasi yang dikecualikan, selama pers menjalankan fungsi kontrol sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pers. Dengan demikian ketentuan sanksi pada Pasal 54 tidak berlaku bagi jurnalis selama mereka menjalankan profesi jurnalistiknya dengan benar.
Setali tiga uang, jurnalis juga dapat mengelak dari tuduhan sanksi dalam Pasal 51 UU KIP. Pada pasal tersebut, sanksi hanya diberikan kepada setiap orang yang sengaja menggunakan informasi publik “secara melawan hukum”. Informasi publik yang dikuasai oleh jurnalis semata-mata “digunakan” untuk publikasi. Jadi, selama tidak “melawan hukum” dalam mempublikasikan informasi tersebut, tidak layak dikenakan sanksi kepada jurnalis. Lalu hukum apa yang dimaksud? Tentu saja hukum yang mengatur aktivitas jurnalistik adalah UU Pers. Sehingga, selama dalam mempublikasikan informasi tersebut masih selaras dengan UU Pers, jurnalis tidak dapat dikenakan sanksi ini.
Celah-calah tadi sedikit menepis kegalauan yang selama ini dirasakan oleh para jurnalis.***