Problem mendasar yang terjadi dalam tatapemerintahan Orde Baru adalah ketertutupan, dan faktor inilah yang diyakini sebagai penyebab terjadinya praktik korupsi, dan praktik-praktik manipulatif lainnya. Oleh karenanya agenda utama yang diusung bangsa ini begitu Orde Baru tumbang adalah mewujudkan keterbukaan. Berbagai kerangka regulasi kemudian disiapkan untuk mendukung agenda tersebut, salah satunya adalah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
UU KIP akhirnya disahkan pada April 2008 setelah melewati masa pembahasan selama kurang lebih delapan tahun. UU ini baru diberlakukan pada Mei tahun ini. Jeda waktu dua tahun sengaja disediakan agar ada kesempatan badan publik untuk mempersiapkan diri dalam mengimplementasikannya. Badan publik sendiri menurut UU KIP antara lain adalah seluruh lembaga negara dan pemerintahan, dari tingkat pusat hingga daerah tanpa kecuali. UU KIP memberikan mandat kepada badan publik untuk memberikan pelayanan informasi publik, yakni seluruh informasi yang berkaitan dengan kondisi internal dan aktivitas badan publik, kebijakan-kebijakan publik, termasuk anggarannya. Gagasan idealnya, UU KIP memberikan ruang kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi publik sehingga masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan, serta aktif melakukan kontrol dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut. Proses checks and balances ini diasumsikan efektif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik kotor dalam pengelolaan negara.
Kesiapan Badan Publik
Namun kurun waktu dua tahun tampaknya kurang dimanfaatkan dengan baik oleh badan publik. Terbukti hingga kini sebagian besar badan publik masih belum menyiapkan sistem dan perangkat untuk melayani informasi publik. Fakta ini tergambar saat berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia mencoba melakukan permintaan informasi.
Hampir seluruh permintaan informasi yang diajukan tidak direspon dengan baik. Banyak dari pejabat di badan publik tidak dapat menunjukkan kemana semestinya surat permintaan ditujukan. Ini mengakibatkan peminta informasi seringkali di-pingpong dari satu meja ke meja lainnya. Pada akhirnya surat permintaan biasanya bermuara di bagian tata usaha atau Humas. Persoalan tidak berhenti sampai di sana. Meskipun surat permintaan sudah masuk, namun tidak diketahui apakah ditindaklanjuti atau tidak. Ketika peminta informasi kembali menanyakan status suratnya satu hingga dua minggu kemudian, jawaban yang diberikan hampir selalu tidak memuaskan. Bermacam-macam alasan yang diberikan, namun pada intinya, informasi yang diminta pada akhirnya tidak juga diberikan.
Lalu bagaimana dengan badan publik di tingkat nasional? Ternyata kondisinya juga tidak jauh berbeda. Menurut data yang dilansir Komisi Informasi tingkat Pusat, dari ratusan badan publik yang ada, baru tujuh lembaga yang sudah siap. Siap dalam pengertian lembaga-lembaga ini telah menyusun standar perosedur operasional pelayanan informasi, menyediakan sumber daya manusia, serta mengalokasikan anggaran untuk mendukung pelayanan informasi. Komisi Informasi adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan mandat UU KIP, yang mempunyai kewenangan melakukan penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi antara peminta informasi dengan badan publik.
Di sisi lain, sepertinya masih ada keengganan dan kurangnya iktikad serius. Bahkan badan publik terkesan menerapkan standar ganda dalam mengimplementasikan UU KIP. Pernyataan ini tidak berlebihan jika kita perhatikan beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini. Lihat misalnya, pada saat menyikapi rekening mencurigakan beberapa perwira tinggi polisi, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang menyatakan bahwa kondisi rekening sebagaimana dimaksud merupakan informasi yang dikecualikan menurut UU KIP. Padahal sesungguhnya menurut UU tersebut, kondisi keuangan pribadi seseorang dikategorikan sebagai informasi publik sepanjang yang bersangkutan menempati posisi jabatan publik.
Tidak berselang lama, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, yang tengah tersandung kasus Sisminbankum, menemui Ketua DPR Marzuki Alie untuk meminta dokumen tentang pembahasan UU Kejaksaan. Marzuki menyandarkan diri pada UU KIP sebagai alasan untuk memberikan dokumen yang diminta Yusril. Sampai di sini sepertinya tidak ada masalah. Namun sebenarnya ada problem tersendiri ketika pertemuan mereka dilakukan secara tertutup. Problem selanjutnya, jika DPR secara kelembagaan benar-benar hendak mengimplementasikan UU KIP, mengapa banyak anggota DPR yang bereaksi keras terhadap pengumuman daftar nama pembolos rapat. Bahkan ada yang menuduh Sekretaris Jenderal telah melakukan pembunuhan karakter. Bukankah jika mengacu UU KIP informasi semacam itu justru wajib diumumkan secara reguler?
Kondisi ini tentu saja akan menyebabkan implementasi UU KIP berjalan tersendat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka gagasan ideal UU KIP sebagaimana disebutkan di atas tidak akan tercapai.
Dari segi waktu sesungguhnya tidak ada alasan bagi badan publik untuk tidak mempersiapkan diri. Penentuan masa jeda dua tahun oleh DPR pada saat pengesahan UU KIP dahulu tentu saja telah dipertimbangkan secara matang. Waktu dua tahun sudah lebih dari cukup bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi. Begitu juga dari sisi anggaran, waktu dua tahun juga sangat cukup bagi pemerintah untuk menyusun rencana pembiayaan dan nomenklatur.
Alternatif Solusi
Tidak mudah untuk menemukan solusi atas problem tersebut. Namun beberapa hal mungkin dapat dilakukan dalam rangka mendorong akselerasi implementasi UU KIP. Langkah pertama adalah membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan permintaan informasi secara massif. Upaya ini dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil. Pengalaman dari negara lain yang telah memiliki UU KIP lebih dulu seperti Thailand dan India, menunjukkan bahwa permintaan informasi secara massif secara signifikan dapat mendorong badan publik untuk lebih maksimal melayani permintaan informasi. Tidak muluk-muluk, masyarakat di sana justru melakukan permintaan informasi yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Kedua, melakukan penguatan Komisi Informasi. Penguatan ini penting karena bisa jadi permintaan informasi masyarakat yang dilakukan secara massif menemui jalan buntu, akibat tidak ditanggapi secara serius oleh badan publik. Kendala semacam ini dapat diadukan kepada Komisi Informasi. Dengan Komisi Informasi yang kuat, dalam pengertian responsif terhadap pengaduan yang masuk, serta memahami secara komprehensif prinsip-prinsip penyelesaian sengketa, maka sengketa dapat diselesaikan secara maksimal. Hasil penyelesaiannya pun memuaskan dan adil, serta berpihak pada semangat keterbukaan informasi.
Ketiga, tentu saja media harus terus memainkan perannya dalam mengusung isu-isu keterbukaan informasi. Tanpa kepedulian media mustahil wacana keterbukaan informasi akan mengemuka. Perhatian media terhadap isu-isu keterbukaan informasi diharapkan juga akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa informasi merupakan hak mutlak yang tidak bisa diabaikan.
Ketiga langkah ini tidak boleh dipisahkan satu dengan lainnya, namun harus dilakukan secara sinergis. ***