Senin, Desember 07, 2009

Menimbang Kembali Urgensi UU Rahasia Negara

Sikap DPR RI yang tidak memprioritaskan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional tahun 2010 patut mendapat apresiasi. DPR menilai masih ada resistensi dari masyarakat atas RUU tersebut. Sementara di sisi lain Departemen Pertahanan sebagai pihak yang menjadi leading sector pemerintah dalam pembahasan, menyatakan sudah siap mengajukan kembali RUU Rahasia Negara yang baru.
Sebagaimana diketahui, pada September lalu pemerintah menarik RUU Rahasia Negara dari pembahasan DPR periode 2004-2009. Penarikan dilakukan atas desakan berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk petisi penolakan oleh 70 tokoh. RUU Rahasia Negara dianggap berbenturan dengan agenda pemberantasan korupsi, penegakkan HAM, perwujudan tata pemerintahan yang baik, kebebasan pers dan keterbukaan informasi, serta kehidupan demokrasi secara umum. Selanjutnya Presiden menyarankan agar dilakukan konsolidasi secara sungguh-sungguh terhadap materi RUU Rahasia Negara sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Selain itu Presiden juga menyarankan agar Departemen Pertahanan melibatkan kalangan kelompok masyarakat sipil dan 70 tokoh yang menandatangani petisi penolakan RUU Rahasia Negara.
Namun sampai saat ini tampaknya apa yang disarankan oleh Presiden tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh Departemen Pertahanan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan staf ahli Departemen Pertahanan bidang ideologi politik Agus Brotosusilo. Beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip media, Agus menyampaikan bahwa tidak ada perombakan total terhadap RUU Rahasia Negara versi sebelumnya. Padahal sudah pasti jika konsolidasi materi dilakukan secara sungguh-sungguh dan melibatkan kelompok masyarakat sipil sebagaimana direkomendasikan Presiden, pasti akan terjadi perubahan menyeluruh pada RUU Rahasia Negara yang baru. Perombakan total juga tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Beberapa hal yang selalu dijadikan dasar bagi Departemen Pertahanan untuk tetap mendorong disahkannya RUU Rahasia Negara adalah untuk mencegah terjadinya kebocoran informasi Negara yang kemudian menimbulkan anarki di masyarakat. Anarki diyakini akan membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI, terganggunya fungsi penyelenggaraan Negara dan pemerintahan, serta rusaknya ketertiban umum. Oleh karena itu dalam klausul-klausulnya RUU Rahasia Negara sangat ketat membatasi lembaga Negara maupun otoritas pemerintahan untuk mempublikasikan informasi yang dimilikinya, serta membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh negara/pemerintah. Secara tegas dinyatakan dalam RUU Rahasia Negara bahwa otoritas untuk membuka atau menutup informasi negara/pemerintah sepenuhnya ada di tangan Presiden.
Berdasar pada argumentasi Departemen Pertahanan tersebut di atas, dan mengacu pada dinamika sosial-politik yang berkembang belakangan ini dapat dikatakan bahwa UU Rahasia Negara sebetulnya masih belum benar-benar diperlukan. Paling tidak ada dua peristiwa mutakhir yang patut dijadikan refleksi untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara. Kedua peristiwa yang cukup menyedot perhatian tersebut adalah rekayasa kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dan pengusutan kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) Bank Century.
Pada kasus pertama kita telah mendengar bersama dalam sidang Mahkamah Konstitusi rekaman hasil sadapan komunikasi telepon Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam rangka melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Rekaman sadapan tersebut, jika mengikut logika RUU Rahasia Negara, telah memenuhi prasyarat untuk dinyatakan sebagai rahasia negara. Pertama, dalam sadapan tersebut terekam percakapan yang menyebut-nyebut nama Presiden yang konon mendukung upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kedua, percakapan semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa mafia peradilan bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan kata lain percakapan Anggodo dengan berbagai unsur -atau paling tidak melibatkan beberapa nama- dari Kepolisian dan Kejaksaan, secara tidak langsung telah membuka aib dan borok kedua lembaga penegak hukum tersebut. Ketiga, percakapan telepon Anggodo berpotensi menimbulkan konflik terbuka antara Kepolisian plus Kejaksaan versus KPK. Menurut logika RUU Rahasia Negara, ketiga hal tersebut di atas sudah cukup untuk memicu terjadinya gangguan terhadap fungsi penyelenggaraan negara/pemerintahan dan ketertiban umum. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan berlangsung terus menerus akan membuka peluang hancurnya kewibawaan pemerintah. Pemerintahan yang lemah kemudian akan mudah dimanfaatkan oleh musuh sehingga kedaulatan dan keutuhan NKRI menjadi terancam.
Pada kasus kedua kita juga telah menyimak melalui media, paparan Ketua BPK atas hasil investigasi lembaga tersebut terhadap kebijakan penggelontoran dana bailout Bank Century. Dalam paparannya, Ketua BPK menyatakan diduga telah terjadi pelanggaran dalam proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Berdasarkan temuan BPK, BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapannya lebih berdasarkan pada judgment. Lagi-lagi, jika mengacu pada logika RUU Rahasia Negara, data yang disampaikan oleh Ketua BPK tersebut sudah sangat sah dan meyakinkan dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Laporan tersebut bisa juga dibilang sensitif karena ada memaparkan indikasi keterlibatan wakil presiden Boediono yang menyalahgunakan wewenang saat masih menjadi pimpinan BI.
Namun pada akhirnya kita juga bersama-sama menyaksikan, pasca pengungkapan rekaman sadapan KPK maupun pemaparan hasil audit BPK tidak timbul gejolak yang berarti. Demonstrasi yang muncul masih berupa ekspresi wajar dalam bingkai demokrasi. Pemerintahan juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi yang kondusif ini menunjukkan betapa publik sudah semakin cerdas dan arif dalam menyikapi persoalan di negeri ini. Kedewasaan masyarakat inilah mesti dijadikan pijakan Departemen Pertahanan untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara.
Sesungguhnya Departemen Pertahanan dapat memanfaatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) untuk mencegah terjadinya anarki informasi. Sebab, selain mengatur keterbukaan informasi, UU ini juga memberikan batasan bagi otoritas Negara/pemerintahan dalam mempublikasikan informasi. Pembatasan yang diatur oleh UU KIP cukup fair karena melibatkan komisi independen yang bernama Komisi Informasi. Tetap memaksakan pengesahan UU Rahasia Negara, hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah berkehendak mengembalikan rezim kerahasiaan.***

Tidak ada komentar: