Minggu, Desember 20, 2009

RPP Penyadapan Tak Perlu Dipaksakan

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang tata cara intersepsi atau penyadapan menuai kritik publik. Bahkan hakim konstitusi Akil Mochtar telah memperingatkan agar RPP tersebut dibatalkan. Namun tampaknya Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) bergeming. Pihaknya akan tetap membahas RPP tersebut dan mematok target pengesahan pada April tahun depan.

Kritik masyarakat, termasuk peringatan Akil amat beralasan. Pengesahan RPP tersebut akan berimplikasi pada melemahnya kewenangan KPK. Berdasar pada muatan materi yang terkandung di dalam RPP, nantinya KPK tidak lagi dibenarkan melakukan penyadapan. Kewenangan penyadapan untuk kepentingan penegakkan hukum sepenuhnya berada di tangan Pusat Intersepsi Nasional (PIN). KPK hanya boleh mengajukan permohonan izin penyadapan kepada PIN, dengan prasyarat bahwa penyadapan yang hendak dilakukan tersebut telah mendapatkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Tahapan langkah mulai dari pengajuan izin, penetapan pengadilan, hingga pelaksanaan penyadapan, merupakan suatu prosedur berjenjang, yang akan memakan waktu lumayan lama. Padahal penanganan tindak pidana korupsi meniscayakan suatu langkah yang sangat cepat, praktis dan tidak melalui birokrasi yang rumit.

Mencabut kewenangan penyadapan dari KPK, dapat diamsalkan dengan menanggalkan taring seekor macan. KPK nantinya hanya akan terdengar aumnya tetapi luput menerkam para penilap uang rakyat. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa penyadapan adalah faktor utama yang menentukan keberhasilan KPK dalam menindak para koruptor. Tanpa kewenangan penyadapan, akan sulit bagi KPK untuk menjalankan tugasnya memberantas korupsi.

RPP Penyadapan dan Dimensi Kebijakan Publik

Pada tataran wacana, sedikitnya dikenal tiga dimensi yang melingkupi suatu kebijakan publik (Bridgeman dan Davis, 1998). Ketiga dimensi dimaksud adalah bahwa kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang legal dan sah secara hukum (authoritative choice), kebijakan publik harus didasarkan pada hipotesis tertentu (hypothesis) dan kebijakan publik mesti memiliki tujuan yang jelas (objective). Dari sini dapat dimaknai juga bahwa suatu kebijakan publik harus memenuhi ketiga prasyarat tersebut. Kita akan mencermati, apakah kebijakan tentang penyusunan RPP penyadapan telah memenuhi ketiga prasyarat tadi.

Pada dimensi authoritative choice, sekilas tidak ada yang salah dengan tindakan Depkominfo. Sah-sah saja Depkominfo menyusun suatu kebijakan, karena lembaga ini mempunyai legitimasi dalam sistem pemerintahan yang sah pula. Namun jika authoritative choice dipahami sebagai tindakan yang mesti mengedepankan kerangka legal dalam suatu sistem ketatanegaraan yang berlaku, penyusunan RPP penyadapan ini kurang tepat. Tentu saja penyebabnya adalah karena ada pelanggaran terhadap pranata hukum yang levelnya lebih tinggi, yaitu UU No. 30/2002 tentang KPK. UU KPK sangat jelas memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum di bidang korupsi itu untuk melakukan penyadapan sebagai bagian dari tugasnya menjalankan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Di sisi lain, Depkominfo bisa saja berdalih bahwa penyusunan RPP penyadapan justru mandat dari UU. Sebagaimana tertuang dalam draf RPP bagian konsideran, RPP ini didasarkan pada Pasal 42 ayat (3) UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi kembali jika dicermati, dalih tersebut ternyata juga kurang relevans.

Pasal 42 ayat (3) UU Telekomunikasi menyatakan, “rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara bunyi klausul pada ayat (2) adalah: “untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a) permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b) permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.”

Mengacu pada Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi, memang benar bahwa terdapat mandat untuk menyusun PP. Namun jika mencermati ayat (2), akan tampak suatu makna bahwa PP yang dimaksud adalah PP untuk mengatur penyadapan yang dilakukan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi, berkaitan dengan permintaan dari penegak hukum. Yang menjadi objek dalam PP yang dimandatkan dalam Pasal 43 ayat (3) UU Telekomunikasi adalah penyelenggara jasa telekomunikasi, bukan lembaga penegak hukum. Dengan demikian PP ini tidak dibenarkan mengintervensi penegak hukum yang telah secara legal dibenarkan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan UU yang berlaku. Dari sini tampak ada kekeliruan dalam menerjemahkan Pasal 43 UU Telekomunikasi.

Kekeliruan kembali terjadi ketika RPP ini juga didasarkan Pada 31 ayat (4) UU ITE. Bunyi klausul pasal tersebut adalah: “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Sementara ketentuan pada ayat (3) berbunyi: “intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Klausul pada ayat (3) tersebut dengan sendirinya telah menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diperlukan lagi PP. Sebab, ketentuan tentang intersepsi yang dilakukan oleh penegak hukum ditetapkan berdasarkan UU.

Selanjutnya dimensi hypothesis dalam wacana kebijakan publik dimaknai bahwa otoritas pemerintahan semestinya mempunyai gambaran yang jelas tentang asumsi-asumsi yang muncul akibat pemberlakuan suatu kebijakan. Dalam dimensi ini otoritas pemerintah juga dituntut untuk peka terhadap penilaian yang berkembang dalam masyarakat mengenai dirinya. Sebelum melansir RPP penyadapan, semestinya Depkominfo menyadari bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah belum benar-benar pulih, pasca terjadinya upaya kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK. Munculnya RPP penyadapan pada akhirnya dianggap sebagai upaya lain untuk melemahkan KPK setelah upaya kriminalisasi gagal.

Pada dimensi objective, RPP ini juga belum mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan suatu produk kebijakan tidak cukup dilontarkan secara lisan oleh wakil dari otoritas pemerintahan. Namun sebagai produk hukum, tujuan harus dicantumkan secara eksplisit di dalamnya. Penyebutan ini selain memberikan kepastian, juga agar dapat menjadi acuan yang dapat dipertanggungjawabkan. UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan menyatakan, pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang salah satunya adalah kejelasan tujuan. Jadi berdasarkan UU ini, setiap peraturan perundangan-undangan harus mencantumkan tujuan dengan jelas. Ketidakjelasan tujuan akan memunculkan kebingungan, bahkan kecurigaan publik.

Setelah ditinjau berdasarkan dimensi-dimensi tersebut di atas, ternyata RPP penyadapan masih banyak mengandung kelemahan. Untuk itu Depkominfo perlu berpikir ulang untuk mengesahkannya. Jika akhirnya disahkan pun PP penyadapan ini kemungkinan besar akan kandas oleh judicial review. RPP yang kurang komprehensif ini juga menjadi taruhan bagi kredibilitas Depkominfo sendiri.***

Senin, Desember 07, 2009

Menimbang Kembali Urgensi UU Rahasia Negara

Sikap DPR RI yang tidak memprioritaskan RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional tahun 2010 patut mendapat apresiasi. DPR menilai masih ada resistensi dari masyarakat atas RUU tersebut. Sementara di sisi lain Departemen Pertahanan sebagai pihak yang menjadi leading sector pemerintah dalam pembahasan, menyatakan sudah siap mengajukan kembali RUU Rahasia Negara yang baru.
Sebagaimana diketahui, pada September lalu pemerintah menarik RUU Rahasia Negara dari pembahasan DPR periode 2004-2009. Penarikan dilakukan atas desakan berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk petisi penolakan oleh 70 tokoh. RUU Rahasia Negara dianggap berbenturan dengan agenda pemberantasan korupsi, penegakkan HAM, perwujudan tata pemerintahan yang baik, kebebasan pers dan keterbukaan informasi, serta kehidupan demokrasi secara umum. Selanjutnya Presiden menyarankan agar dilakukan konsolidasi secara sungguh-sungguh terhadap materi RUU Rahasia Negara sehingga bisa diterima oleh semua pihak. Selain itu Presiden juga menyarankan agar Departemen Pertahanan melibatkan kalangan kelompok masyarakat sipil dan 70 tokoh yang menandatangani petisi penolakan RUU Rahasia Negara.
Namun sampai saat ini tampaknya apa yang disarankan oleh Presiden tersebut belum sepenuhnya dijalankan oleh Departemen Pertahanan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan staf ahli Departemen Pertahanan bidang ideologi politik Agus Brotosusilo. Beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip media, Agus menyampaikan bahwa tidak ada perombakan total terhadap RUU Rahasia Negara versi sebelumnya. Padahal sudah pasti jika konsolidasi materi dilakukan secara sungguh-sungguh dan melibatkan kelompok masyarakat sipil sebagaimana direkomendasikan Presiden, pasti akan terjadi perubahan menyeluruh pada RUU Rahasia Negara yang baru. Perombakan total juga tentu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Beberapa hal yang selalu dijadikan dasar bagi Departemen Pertahanan untuk tetap mendorong disahkannya RUU Rahasia Negara adalah untuk mencegah terjadinya kebocoran informasi Negara yang kemudian menimbulkan anarki di masyarakat. Anarki diyakini akan membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI, terganggunya fungsi penyelenggaraan Negara dan pemerintahan, serta rusaknya ketertiban umum. Oleh karena itu dalam klausul-klausulnya RUU Rahasia Negara sangat ketat membatasi lembaga Negara maupun otoritas pemerintahan untuk mempublikasikan informasi yang dimilikinya, serta membatasi akses masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh negara/pemerintah. Secara tegas dinyatakan dalam RUU Rahasia Negara bahwa otoritas untuk membuka atau menutup informasi negara/pemerintah sepenuhnya ada di tangan Presiden.
Berdasar pada argumentasi Departemen Pertahanan tersebut di atas, dan mengacu pada dinamika sosial-politik yang berkembang belakangan ini dapat dikatakan bahwa UU Rahasia Negara sebetulnya masih belum benar-benar diperlukan. Paling tidak ada dua peristiwa mutakhir yang patut dijadikan refleksi untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara. Kedua peristiwa yang cukup menyedot perhatian tersebut adalah rekayasa kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK dan pengusutan kebijakan penggelontoran dana talangan (bailout) Bank Century.
Pada kasus pertama kita telah mendengar bersama dalam sidang Mahkamah Konstitusi rekaman hasil sadapan komunikasi telepon Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak dalam rangka melakukan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Rekaman sadapan tersebut, jika mengikut logika RUU Rahasia Negara, telah memenuhi prasyarat untuk dinyatakan sebagai rahasia negara. Pertama, dalam sadapan tersebut terekam percakapan yang menyebut-nyebut nama Presiden yang konon mendukung upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kedua, percakapan semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa mafia peradilan bukan hanya isapan jempol belaka. Dengan kata lain percakapan Anggodo dengan berbagai unsur -atau paling tidak melibatkan beberapa nama- dari Kepolisian dan Kejaksaan, secara tidak langsung telah membuka aib dan borok kedua lembaga penegak hukum tersebut. Ketiga, percakapan telepon Anggodo berpotensi menimbulkan konflik terbuka antara Kepolisian plus Kejaksaan versus KPK. Menurut logika RUU Rahasia Negara, ketiga hal tersebut di atas sudah cukup untuk memicu terjadinya gangguan terhadap fungsi penyelenggaraan negara/pemerintahan dan ketertiban umum. Jika kondisi ini terus dibiarkan dan berlangsung terus menerus akan membuka peluang hancurnya kewibawaan pemerintah. Pemerintahan yang lemah kemudian akan mudah dimanfaatkan oleh musuh sehingga kedaulatan dan keutuhan NKRI menjadi terancam.
Pada kasus kedua kita juga telah menyimak melalui media, paparan Ketua BPK atas hasil investigasi lembaga tersebut terhadap kebijakan penggelontoran dana bailout Bank Century. Dalam paparannya, Ketua BPK menyatakan diduga telah terjadi pelanggaran dalam proses merger dan pengawasan Bank Century oleh BI. Berdasarkan temuan BPK, BI dan KSSK tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapannya lebih berdasarkan pada judgment. Lagi-lagi, jika mengacu pada logika RUU Rahasia Negara, data yang disampaikan oleh Ketua BPK tersebut sudah sangat sah dan meyakinkan dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Laporan tersebut bisa juga dibilang sensitif karena ada memaparkan indikasi keterlibatan wakil presiden Boediono yang menyalahgunakan wewenang saat masih menjadi pimpinan BI.
Namun pada akhirnya kita juga bersama-sama menyaksikan, pasca pengungkapan rekaman sadapan KPK maupun pemaparan hasil audit BPK tidak timbul gejolak yang berarti. Demonstrasi yang muncul masih berupa ekspresi wajar dalam bingkai demokrasi. Pemerintahan juga masih berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi yang kondusif ini menunjukkan betapa publik sudah semakin cerdas dan arif dalam menyikapi persoalan di negeri ini. Kedewasaan masyarakat inilah mesti dijadikan pijakan Departemen Pertahanan untuk meninjau kembali urgensi UU Rahasia Negara.
Sesungguhnya Departemen Pertahanan dapat memanfaatkan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) untuk mencegah terjadinya anarki informasi. Sebab, selain mengatur keterbukaan informasi, UU ini juga memberikan batasan bagi otoritas Negara/pemerintahan dalam mempublikasikan informasi. Pembatasan yang diatur oleh UU KIP cukup fair karena melibatkan komisi independen yang bernama Komisi Informasi. Tetap memaksakan pengesahan UU Rahasia Negara, hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa pemerintah berkehendak mengembalikan rezim kerahasiaan.***