Selasa, Oktober 23, 2007

Ancaman RUU RN bagi Kemerdekaan Pers

Draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) telah berhasil dirumuskan oleh Pemerintah, dan sekitar enam bulan lalu telah dikirimkan ke DPR. Kini, fraksi-fraksi di DPR sedang mempersiapkan draf sandingan yang dituangkan dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM). Jika ke-10 fraksi telah selesai menyusun DIM-nya, maka tahap selanjutnya adalah pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

Ada hal penting yang perlu diperhatikan sebelum agenda pembahasan tersebut dimulai, yakni adanya kemungkinan ancaman RUU RN terhadap kemerdekaan pers.

Kemerdekaan pers sendiri perlu diberikan perhatian khusus, karena dengannya publik menemukan makna demokrasi yang sesungguhnya. Kesejatian demokrasi diukur dari sejauhmana publik turut berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya penyelenggaraan negara. Perlu ditekankan bahwa partisipasi di dalam negara demokrasi bukan sekadar partisipasi pasif dalam bentuk pemberian suara saat pemilihan umum, pemilihan presiden, maupun pemilihan kepala-kepala daerah. Sebagai panduan dalam menyampaikan partisipasi, publik membutuhkan banyak informasi. Dan, pers mempunyai peran penting dan strategis dalam melayani kebutuhan informasi tersebut. Selain itu pers juga menyediakan ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya. Tepatlah kiranya jika pers mendapat julukan sebagai pilar keempat demokrasi selain legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dalam konteks itulah maka kemerdekaan pers perlu dijaga baik-baik. Memperhatikan RUU RN versi pemerintah, terdapat materi yang secara langsung akan menghambat kinerja jurnalistik sehingga pada akhirnya akan mengancam kemerdekaan pers. Ancaman terhadap kemerdekaan pers berarti ancaman juga terhadap demokrasi yang sedang kita bangun bersama.

Lalu apa saja materi dalam RUU RN yang diperkirakan dapat mengancam kemerdekaan pers?

Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditelusuri dari soal ketidakjelasan definisi rahasia negara itu sendiri. Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud rahasia negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Definisi ini sangat sumir, tidak menjelaskan sama sekali informasi, benda atau aktivitas apa saja yang termasuk sebagai rahasia negara. Menurut definisi ini, sesuatu dapat dikatakan sebagai rahasia negara jika telah ditetapkan secara resmi. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa pihak yang dapat menetapkan sesuatu sehingga dapat dikatakan sebagai rahasia negara?

Selanjutnya dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Kerahasiaan Negara, pada bagian tentang Pedoman Rahasia Negara dinyatakan terdapat dua pedoman dalam menentukan rahasia negara, yaitu pedoman umum dan pedoman teknis. Pedoman umum adalah pedoman tentang rahasia negara di tingkat pusat, yang disusun oleh lembaga persandian negara bersama-sama dengan instansi terkait. Tidak dijelaskan samasekali siapa saja yang termasuk sebagai instansi terkait itu. Namun dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan instansi terkait adalah semua instansi di lingkungan pemerintah, termasuk lembaga penyelenggara negara lainnya. Dari pedoman umum tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk pedoman teknis, yang dibuat oleh masing-masing pimpinan instansi.

Pedoman umum dan pedoman teknis di atas dimaksudkan untuk menjelaskan ruang lingkup rahasia negara yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: pertahanan dan keamanan negara, hubungan luar negeri, proses penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, persandian negara, intelijen negara dan pengamanan aset vital negara (Pasal 4). Tiap-tiap ruang lingkup yang masih luas tersebut akan dirumuskan oleh tiap-tiap instansi pemerintah. Jadi, secara eksplisit RUU ini memberikan amanat kepada tiap-tiap instansi pemerintah untuk menjadi penentu klaim rahasia negara.

Dengan memperhatikan rangkaian ketentuan tersebut di atas, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa birokrasi kita masih belum rela dengan kultur keterbukaan yang krannya mulai dibuka semenjak reformasi digulirkan. Klausul ini jelas akan sangat dimaanfaatkan oleh birokrat untuk menutupi segala kecurangan maupun manipulasi yang mereka lakukan. “Rahasia negara” akan menjadi mantra sakti untuk menolak setiap permintaan informasi dari wartawan. Tidak tertutup kemungkinan nanti, semua informasi yang dikuasai oleh instansi pemerintah akan menjadi informasi yang tertutup bagi media.

Padahal jika dicermati secara mendalam, ruang lingkup rahasia negara tersebut di atas tidak semuanya bisa dikatakan rahasia. Hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara misalnya, ada poin yang perlu diketahui oleh publik. Satu contoh yang bisa disebut adalah besaran biaya yang digunakan untuk membeli senjata dan perlengkapan tentara lainnya. Perlu diingat bahwa biaya tersebut berasal dari uang rakyat melalui skema APBN. Dalam konteks negara demokrasi, setiap penggunaan uang rakyat harus diumumkan secara terbuka agar dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

Ancaman tidak kalah mengerikan adalah pada materi yang mengatur tentang sanksi bagi pelanggar rahasia negara, yang dituangkan berturut-turut dalam pasal 35 hingga 37. Dalam ketiga pasal tersebut secara garis besar dinyatakan, bagi setiap orang yang menyebarluaskan informasi rahasia negara yang berklasifikasi rahasia dan sangat rahasia dikenakan tindakan pidana berupa penjara dari lima tahun hingga seumur hidup beserta denda dari Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) hingga Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sedangkan jika pelanggaran tersebut dilakukan pada masa perang bisa dikenakan sanksi hukuman mati.

Ketentuan sanksi serupa juga dikenakan bagi orang yang antara lain memotret dan merekam suatu benda dan aktivitas yang termasuk sebagai rahasia negara.

Subyek hukum yang terkandung dalam klausul tersebut adalah “orang”, dan tentu saja wartawan termasuk bagian dari subyek hukum tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa wartawanlah yang banyak mempunyai aktivitas penyebarluasan informasi, perekaman dan pemotretan. Sehingga jika RUU ini disahkan, yang akan sering terkena sanksi memberatkan tersebut adalah wartawan.

Jika RUU RN versi Pemerintah ini dipertahankan dan diberlakukan, niscaya klaim rahasia negara dimanfaatkan untuk memidanakan wartawan yang kreatif menggali informasi. Kondisi ini pada akhirnya akan mematikan kreativitas wartawan dalam mengembangkan jurnalisme investigasi. Jika demikian maka kebutuhan publik akan informasi tidak akan terpenuhi, partisipasi akan terhenti, dan bukan tidak mungkin demokrasi akan mati.*

Dimuat Media Indonesia, 1 November 2007

Tidak ada komentar: