Senin, Oktober 22, 2007

Ketertutupan Informasi Proyek “Busway”

Hari pertama masuk kerja setelah libur lebaran, warga Jakarta kembali diliputi kekesalan luar biasa karena kemacetan hebat seperti yang terjadi pada sepanjang Ramadan kemarin. Hal ini karena belum rampungnya pembangunan jalur busway baru, sebagai penambahan jalur-jalur yang sudah ada.

Penambahan tiga jalur busway, yakni koridor 8 (Lebak Bulus-Harmoni), koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit) dan koridor 10 (Cililitan-Tanjung Priok) merupakan upaya yang patut dihargai. Proyek tersebut tidak lain sebagai tindak lanjutan Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan sistem transportasi massal yang manusiawi, lancar, aman dan nyaman. Suatu sistem yang juga diidamkan publik.

Jika dicermati, kondisi moda transportasi yang beroperasi di Jakarta memang bisa dibilang mengenaskan. Banyak biskota tidak dilengkapi dengan pendingin udara, tempat duduk alakadarnya, belum lagi kondisi mesin yang kurang prima yang seringkali menyebabkan keluaran asap dari knalpotnya hitam legam bercampur jelaga.

Perkiraan rasio antara jumlah penumpang dengan banyaknya armada juga tidak jelas. Pada suatu trayek tertentu jumlah armada terkadang jauh lebih sedikit dibanding penumpangnya. Tak ayal hal ini menyebabkan berjubelnya penumpang dalam satu biskota. Sementara pada trayek lain, dijumpai jumlah penumpang yang lebih besar ketimbang armadanya. Kondisi ini yang akhirnya memaksa sopir biskota memperlambat kendaraannya, bahkan berhenti di sembarang tempat guna mencari penumpang agar dapat memenuhi target setoran. Sudah pasti hal ini menyebabkan kemacetan. Gambaran yang sama juga terjadi pada moda transportasi seperti metromini, kopaja, mikrolet, dan angkutan kota lainnya.

Ketiadaan Informasi

Namun sayangnya, tekad Pemerintah yang hendak “memanusiawikan” warga Jakarta dalam ber-transportasi tidak diiringi dengan penyebaran informasi yang memadai kepada publik. Bahkan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pun tidak mendapatkan informasi apa-apa tentang pelaksanaan proyek. (Media Indonesia, 8 Oktober 2007). Bagi Polda, tentu saja informasi soal titik-titik mana yang sedang maupun akan dikerjakan merupakan hal penting sebagai acuan untuk mengatur arus lalu lintas di lokasi tersebut. Bagaimana bisa, Polda sebagai stakeholder utama pelayanan publik dalam hal lalu lintas tidak diberi informasi tentang pembangunan infrastruktur lalu lintas itu sendiri?

Bagi publik, informasi dimaksud penting sebagai panduan sebelum atau selama menempuh perjalanan. Lebih penting dari itu, sesungguhnya informasi tentang rencana proyek pembangunan busway secara keseluruhan dapat dijadikan sebagai referensi untuk ikut menyampaikan pendapat agar proyek tersebut tidak dilakukan secara serentak, tetapi bertahap dari satu titik ke titik tertentu. Barangkali dengan pola pembangunan semacam itu akan mengurangi kemacetan.

Mekanisme penyampaian gagasan tentu saja bisa melalui media massa atau langsung melalui hotline pengaduan pada instansi tertentu yang berwenang mengelola proyek ini. Meskipun pendapat publik belum tentu dijadikan sebagai acuan dalam membuat/mengubah kebijakan, tapi paling tidak komunikasi antara pemerintah dengan publik semacam itu penting untuk terus dibangun. Hal ini diperlukan untuk mengikis kultur ketertutupan yang masih saja kental di lingkungan birokrasi kita secara umum, bukan hanya birokrasi Pemerintah DKI.

Kultur ketertutupan dalam birokrasi masih terus dipertahankan karena barangkali para birokrat masih memegang paradigma usang tentang tatakelola pemerintahan, yakni bahwa praktik pemerintahan harus dijalankan secara tertutup, penentuan kebijakan dilakukan secara sepihak, karena publik adalah entitas luaran yang tidak perlu dilibatkan. Pemerintah menganggap dirinya sebagai pihak yang paling benar. Kita telah merasakan betapa paradigma demikian telah membawa negeri ini pada jurang krisis yang paling dalam. Ketertutupan telah menyuburkan praktik korupsi, sementara penyusunan kebijakan tanpa pelibatan publik seringkali merugikan publik itu sendiri.

Kini paradigmanya telah berubah. Paradigma baru tentang tatakelola pemerintahan adalah penerapan prinsip-prinsip transparansi, sehingga muncul partisipasi publik. Dengan demikian akuntabilitas praktik pemerintahan akan terwujud. Tiga pilar tadi - transparansi, partisipasi dan akuntabilitas- telah lama direkomendasikan oleh lembaga-lembaga internasional termasuk badan-badan di bawah naungan PBB. Tiga pilar ini seakan juga telah menjadi semacam konvensi yang digunakan secara universal dalam mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).

Tiga pilar tersebut adalah juga parameter utama dari kesejatian demokrasi. Sebagaimana diketahui, konsep dasar demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Ini artinya, rakyat juga memegang mandat untuk ikut menjalankan pemerintahan. Dengan demikian harus ada komunikasi yang simetris antara pemerintah dengan rakyat. Demokrasi bukan sekadar diwujudkan dalam bentuk pemungutan suara saat pemilu atau pemilihan kepala daerah saja. Jadi, demokrasi sudah bisa dikatakan ideal jika ada keterbukaan informasi dari pemerintah, munculnya partisipasi publik dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Begitu pentingnya demokrasi sehingga Amartya Sen dianugerahi penghargaan Nobel bidang ekonomi pada tahun 1998 berkat risetnya di beberapa negara Asia Selatan dan Sub Sahara, yang menyimpulkan bahwa demokrasi merupakan perangkat penting untuk mengatasi bencana kemiskinan dan kelaparan. Dalam penelitiannya Sen menemukan fakta, kemiskinan timbul bukan semata-mata karena kurangnya bahan makanan, tetapi karena sumber-sumber makanan telah dikuasai oleh penguasa yang otoriter dan tertutup. Kelaparan diakibatkan oleh ketiadaan demokrasi.

Jakarta masih diakui sebagai barometer bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan, Jakarta juga masih menjadi cerminan dunia internasional dalam memandang Indonesia. Berdasar pada kenyataan itu semestinya Jakarta dapat memelopori pelaksanaan hakikat demokrasi, yang bukan saja telah menjadi tekad bangsa ini tetapi juga telah menjadi tuntutan masyarakat global. Penerapannya dapat dilakukan dengan mengambil momentum pengembangan dan pengelolaan tatakota, seperti proyek pembangunan busway ini.


Pelembagaan Keterbukaan Informasi

Kultur ketertutupan dalam birokrasi pemerintahan DKI mudah-mudahan dapat benar-benar terkikis seiring dengan pernyataan Fauzi Bowo sesaat setelah dilantik menjadi gubernur. Fauzi menyatakan bahwa dirinya akan bertekad mewujudkan pemerintahan yang transparan. Pernyataan tersebut layak diapresiasi. Namun tekad untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan tidak cukup hanya melalui pernyataan pejabat publik, tetapi sudah saatnya dilembagakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Beruntung, kini di tingkat pemerintah pusat, sedang digodok Rancangan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP). Dalam rancangan tersebut diatur tentang kewajiban badan publik (instansi pemerintah) untuk menyediakan dan memberikan informasi kepada publik tentang kebijakan yang dibuat beserta dokumen pendukungnya. Pembahasan RUU tersebut sudah hampir selesai.

Jika UU KIP nanti diberlakukan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menyebarkan informasi tentang kebijakan yang diambil. Termasuk pemerintah DKI juga wajib menyebarkan informasi tentang kebijakan pembangunan busway atau proyek-proyek lainnya. UU ini akan bersifat menekan karena ada ketentuan sanksi bagi badan publik yang tidak menyediakan informasi. UU ini juga diharapkan dapat mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. ***

*Telah dimuat di Suara Pembaruan, 5 November 2007

Tidak ada komentar: