Senin, Oktober 22, 2007

Bencana dan Kebutuhan Informasi


Bencana datang beruntun menimpa negeri ini. Belum selesai program rehabilitasi akibat tsunami di Aceh dan Nias, datang lagi tsunami di Pantai Pangandaran. Gempa juga memorakporandakan sebagian Jogja dan Jateng. Tahun ini, gempa dahsyat kembali terjadi di belahan Sumatera Barat. Banjir ikut menenggelamkan bagian besar wilayah di Jakarta. Itu hanya bagian kecil yang bisa disebutkan, dan itu baru bencana yang disebabkan oleh fenomena alam.


Belum lagi bencana-bencana lain yang diakibatkan ketidakcermatan manusia dalam memanfaatkan teknologi. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah semburan lumpur gas di Sidoarjo, raibnya pesawat Adam Air, tenggelamnya kapal Senopati, serta terbakarnya kapal Levina dan pesawat Garuda. Apapun penyebabnya, bencana selalu menelan banyak korban.


Seluruh fenomena yang tidak kita harapkan itu dapat tampil dengan mudah begitu saja di hadapan kita. Itu semua karena peranan media massa: cetak, audiovisual maupun internet. Seluruh informasi yang disampaikan media bisa menjelaskan kronologi kejadian, kerusakan yang ditimbulkan, hingga jumlah korban luka-luka maupun meninggal. Informasi tersebut menjadi berguna, utamanya bagi mereka yang ingin mengetahui kondisi sanak famili yang kebetulan tertimpa. Berarti juga bagi semua orang yang sekadar ingin tahu sampai mereka yang hendak menyampaikan simpati. Hingga kemudian kita dapat merasakan efek ‘dahsyat’ pemberitaan bencana yakni lahirnya rasa solidaritas. Kita masih ingat betapa banyak bantuan yang mengalir saat media mulai banyak memberitakan tsunami Aceh.


Mengingat begitu pentingnya peran media, maka kredibilitasnya mesti terjaga. Kuncinya adalah media harus dapat menjamin bahwa informasi yang disampaikan itu berasal dari data yang akurat. Di sinilah kemudian kebutuhan akan informasi bagi wartawan menjadi penting.


Fact is Sacre, Comment is Real


Keyakinan yang dimiliki oleh media selama ini adalah bahwa fakta itu sakral dan komentar itu nyata. Artinya, fakta-fakta yang ditampilkan tidak boleh diubah seenaknya sendiri karena dia sakral. Demikian juga komentar yang disajikan tidak boleh direkayasa karena dia nyata. Fakta bisa diperoleh langsung oleh wartawan melalui observasi. Sementara komentar merupakan pendukung dari fakta yang disaksikan oleh wartawan, atau jika wartawan luput melihat fakta bisa diwakili oleh komentar para saksi dan para pihak yang berkompeten dan berwenang. Itu semua bisa menjadi berita asalkan komentar-komentar itu ditampilkan apa adanya.


Pada kasus pemberitaan penemuan pesawat Adam Air di pedalaman Sulawesi Barat lengkap dengan data korban, sepenuhnya bukan kesalahan media. Sebab, media mengutip komentar Hatta Radjasa yang memang posisinya Menteri Perhubungan. Dalam jabatannya itu Hatta punya wewenang untuk berkomentar. Bahwa kemudian ternyata berita itu salah adalah karena Menteri Perhubungan tidak melakukan pengecekan secara akurat sebelum menyatakan komentarnya. Beritanya kemudian menjadi simpang siur hingga para keluarga korban merasa dipermainkan oleh Pemerintah.


Kebutuhan informasi yang begitu mendesak membuat wartawan mengambil langkah cepat dengan mewawancari narasumber. Namun demikian, di lain sisi wartawan juga mesti aktif menggali informasi bukan sekadar mengutip pernyataan.


Informasi Publik


Di luar informasi melalui media, sebenarnya ada kebutuhan akan informasi yang lebih penting, yakni informasi publik. Informasi publik merupakan informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan-badan publik atau lembaga pemerintah yang menyangkut kepentingan warganegara. Dalam konteks bencana, tanpa melalui media pun sebenarnya masyarakat bisa langsung mendapatkan informasi dari instansi yang berwenang.


Informasi bencana penting bukan saja sekadar untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat soal bencana itu sendiri, tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan potensi-potensi bencana yang mungkin bakal terjadi. Dengan ini diharapkan publik dapat melakukan antisipasi sehingga dapat meminimalkan jumlah korban.


Dalam kasus bencana alam, Pemerintah harus memberikan informasi tentang kondisi struktur tanah di suatu daerah yang berpotensi gempa, prakiraan cuaca, antisipasi yang mesti dilakukan hingga informasi tentang upaya mengatasi dampak yang ditimbulkan. Informasi-informasi tersebut harus disebarkan tanpa adanya permintaan dari masyarakat, atau media massa.


Demikian juga dengan bencana-bencana teknis, instansi pemerintah yang berkaitan harus menyampaikan kepada masyarakat tentang kondisi teknologi. Pada kasus kegagalan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Pemerintah hendaknya menginformasikan kepada masyarakat tentang kondisi-kondisi teknis yang dimiliki oleh Lapindo, dengan demikian masyarakat tahu sejauhmana kelayakannya. Selain itu Pemerintah hendaknya menyampaikan informasi soal hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebelum proses eksplorasi. Jika masyarakat tahu bahwa teknologi yang digunakan ternyata tidak layak dan hasil Amdal ternyata tidak memenuhi persyaratan maka mereka dapat mencegah proses pengeboran sehingga tragedi “kuala lumpur” dapat dihindarkan.


Saat semuanya sudah terlanjur seperti sekarang ini, masyarakat tidak dapat melakukan apa-apa selain menuntut ganti rugi, dan itupun banyak kendala di lapangan. Proses penanggulangan semestinya juga dilakukan secara transparan. Tim Nasional Penanggulangan bentukan Pemerintah mesti membuka seluas-luasnya informasi tentang proses dan kemungkinan-kemungkinan keberhasilannya. Nyatanya, masyarakat kini tidak tahu kapan lumpur itu akan berhenti menyembur.


Demikian juga dalam hal pengelolaan informasi soal teknologi transportasi. Pemerintah mestinya membuka informasi seluas-luasnya tentang kondisi alat-alat transportasi yang dioperasikan. Dengan informasi itu masyarakat dapat menentukan pilihan. Dalam kondisi ketertutupan seperti sekarang ini masyarakat tidak tahu apakah alat transportasi yang digunakan berpotensi celaka atau tidak. Masyarakat tidak tahu bahwa alat transportasi tersebut sejatinya adalah “peti mati” bagi jenazah mereka sendiri.


Setelah kecelakaan terjadi pihak yang berwenang pun tidak mampu menjawab apa penyebabnya. Dalam banyak kasus kecelakaan transportasi, jawaban Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hampir tidak memuaskan.


Begitu pentingnya informasi tentang bencana bagi kehidupan masyarakat, maka desakan terhadap badan publik untuk menyampaikan informasi mesti dilakukan. Sampai pada titik ini keberadaan Undang Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) menjadi penting. Dalam draft RUU-nya, yang kini tengah dibahas DPR, salah satunya mengatur tentang kewajiban badan-badan publik untuk menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi baik diminta atau tidak. UU KMIP juga mengharuskan badan publik untuk menyampaikan informasi secara akurat, sebab jika tidak pejabat badan publik yang bersangkutan akan dikenai sanksi.


Jika UU KMIP berlaku, maka tidak ada alasan bagi badan publik untuk mengelak tidak menyampaikan informasi tentang bencana, juga tidak ada kesimpangsiuran berita seperti pada kasus Adam Air. Dengan demikian kerugian yang diakibatkan tidak terlalu besar, bahkan bisa saja bencana itu sendiri dapat dicegah ***


*Seperti dimuat Harian Jurnal Nasional, 27 Maret 2007

Tidak ada komentar: