Dalam Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) yang disusun DPR, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) –termasuk juga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)- dimasukkan dalam ranah Badan Publik. Dengan demikian, menurut RUU ini nantinya BUMN mempunyai kewajiban-kewajiban untuk mengelola, menyimpan dan melayani informasi publik. Informasi publik di sini adalah informasi yang berkaitan dengan kegiatan, kinerja, termasuk laporan keuangan, hingga kebijakan-kebijakan yang diambil beserta dokumen pendukungnya.
Namun di sisi lain, Pemerintah menolaknya. Pemerintah menginginkan BUMN dikeluarkan dari ranah Badan Publik. Alasan utama yang disampaikan adalah bahwa BUMN merupakan badan usaha yang menjalankan aktivitas bisnis. Jika informasinya terbuka kepada publik, dikawatirkan akan mengganggu kegiatan bisnisnya dan merugikan persaingan usaha tidak sehat (competitiveness). Selain itu, BUMN akan direpotkan dengan kegiatan pelayanan informasi sehingga akan mengganggu aktivitas usahanya.
Dalam pandangan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi, apa yang diusulkan DPR sudah tepat. Mengingat, secara filosofis RUU ini adalah berdasar pada niat untuk mewujudkan hakikat good governance beberapa saat setelah Indonesia memasuki era reformasi. RUU KIP mulai dibahas pada tahun 2001. Dari dasar ini jelas bahwa demi mewujudkan kehendak tersebut maka lembaga atau institusi yang bertanggungjawab atau berkaitan langsung dengan penyelenggaraan negara harus terbuka. Dasar ini sebagai hasil evaluasi terhadap berjalannya Pemerintahan di masa lalu yang cenderung tertutup sehingga membuka peluang terjadinya praktik-praktik korupsi. Jika praktik-praktik korupsi diibaratkan sebagai aliran sungai, maka UU KIP hendak menghentikan praktik ini dari hulunya.
Filosofis ini diperkuat dengan tujuan RUU KIP yang tercantum di dalam pasal 3, yang berbunyi: Undang-undang ini bertujuan untuk: (a) Menjamin terwujudnya akuntabilitas publik dalam proses pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (b) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c) meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik; (d) mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien; (e) mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (g) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Jika dicermati, secara umum UU KIP bertujuan membentuk tatakelola pemerintahan yang bersih dan terbuka (clean and open governance) yang pada akhirnya akan mewujudkan pengelolaan negara yang baik (good governance)
Tidak dapat disangkal bahwa BUMN merupakan institusi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Fakta ini didasarkan pada UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Bab II Pasal 2 ayat 7 UU ini yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelenggara negara salah satunya meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan pasal tersebut tersirat jelas bahwa yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi antara lain Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Fakta yang tidak bisa diingkari juga adalah bahwa di dalam BUMN terdapat sumber keuangan negara yang berasal dari APBN. Dalam konsideran UU No. 19/2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN mempunyai kaitan erat dengan Keuangan Negara. Dari sini sesungguhnya BUMN telah benar-benar menyadari bahwa dirinya mengemban amanat untuk mengelola keuangan negara, yang dalam pelaksanaannya perlu ada kontrol publik agar tidak terjadi penyimpangan. Penggunaan keuangan negara jelas harus dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.
Sebenarnya kekawatiran Pemerintah tidak beralasan, karena dalam RUU KIP inipun mengatur soal informasi yang dikecualikan, yakni informasi yang tidak dapat diakses begitu saja oleh publik. Dalam salah satu klausul yang mengatur tentang pengecualian informasi, dinyatakan bahwa termasuk informasi yang dikecualikan adalah informasi yang berkaitan dengan informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual, rahasia dagang, dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Dari suratan klausul ini jelas terpatri tafsir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan persaingan bisnis dilindungi informasinya. Tentu saja, ini termasuk juga persaingan bisnis dalam BUMN. Klausul ini pastinya melindungi competitiveness BUMN dalam menjalankan bisnisnya.
Hingga saat ini tampaknya baik DPR maupun Pemerintah tetap bersikukuh pada pendiriannya masing-masing, sehingga pembahasan tentang hal ini masih deadlock. Dalam kondisi tersebut, isu ini perlu digulirkan ke publik. Sebab, bagaimanapun juga publik jugalah nantinya yang akan terimbas dari diberlakukannya UU ini. Guliran isu ini juga diharapkan dapat menjaring banyak masukan yang dapat dijadikan bahan dalam proses pembahasan. Dengan adanya bahan pertimbangan dari publik ini maka keputusan yang diambil nantinya dapat diterima akal sehat, bukan keputusan yang berdasar pada ego sektoral semata.
Blunder tentang BUMN seharusnya juga tidak perlu terjadi jika dari awal, Komisi I DPR –yang bertanggungjawab membahas RUU KIP- berkoordinasi dengan Komisi VI yang antara lain membidangi BUMN. Koordinasi ini boleh saja dilakukan karena bagaimanapun juga DPR adalah sebuah entitas tersendiri. Kepala Tim Inter-departemen Pemerintah RUU KIP Ahmad Ramli pernah mengatakan bahwa sikap Pemerintah yang ingin mengeluarkan BUMN dari badan publik adalah kesepakatan lintas departemen. Jika Pemerintah begitu kompak, mengapa hal ini tidak terjadi di DPR dengan membuat kesepakatan lintas Komisi, untuk tetap memasukkan BUMN sebagai badan publik?
*Seperti dimuat Media Indonesia, 2 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar